Bab 4 - Pekerjaan yang Tak Pernah Usai

Mentari baru saja menanjak ke langit ketika Luna berdiri di ruang tengah dengan gaunnya yang mewah. Wajahnya terpulas tipis make-up pagi, wangi parfum berkelas menebar ke seluruh ruangan. Di hadapannya, Senja berdiri dengan kepala menunduk. Gadis itu baru saja selesai menata meja sarapan yang tidak sempat disentuh tuannya karena tergesa pergi.

“Dengar baik-baik, Senja.” Suara Luna terdengar dingin, nyaris menusuk gendang telinga. “Hari ini aku mau kau selesaikan semua pekerjaan rumah. Mulai dari lantai, dapur, kamar tamu, halaman, semuanya harus beres sebelum aku pulang.”

Senja menelan ludah. Tangannya yang halus sudah mulai memerah akibat pekerjaan sebelumnya, tapi ia hanya mengangguk pelan. “Iya, Kak.”

Belum cukup, Luna menyeringai, bibirnya melengkung penuh kesengajaan. “Dan jangan coba-coba makan sebelum semuanya selesai. Kau hanya boleh minum air putih. Mengerti?”

Senja mendongak, matanya melebar. “Tapi...”

Suara langkah cepat memotong. Bi Ipah, asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja pada keluarga Samudra, melangkah maju. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat bagaimana Senja diperlakukan. “Nyonya, maafkan saya. Tapi anak ini baru saja datang, dia belum terbiasa dengan pekerjaan berat. Bukankah lebih baik kalau saya yang bantu?”

Luna mendengus, wajahnya berubah garang. “Bi Ipah!” suaranya meninggi, membuat udara seketika menegang. “Apa kau sedang menentang ku?”

“Tidak, Nyonya. Saya hanya...”

“Kau berani membela dia?” Luna menunjuk Senja dengan telunjuknya yang terlapis kuteks merah menyala. “Dia itu bukan siapa-siapa! Jangan sekali-sekali kau pikir dia lebih penting daripada aku!”

Bi Ipah menunduk cepat-cepat. “Ampun, Nyonya… saya tidak bermaksud begitu.” Suaranya bergetar, tubuhnya sedikit gemetar.

Luna melipat tangan di dada, senyum tipisnya dingin. “Ingat, Bi. Kau masih butuh pekerjaan ini, bukan? Kalau aku dengar sekali lagi kau membantu dia, jangan salahkan aku kalau besok kau harus angkat koper. Kau mengerti?”

Bi Ipah menelan ludah, keringat dingin menetes di pelipisnya. “Saya mengerti, Nyonya.”

“Bagus.” Luna menoleh pada Senja yang diam seperti patung. “Dan kau, Senja, pastikan semua selesai. Aku tidak mau lihat ada satu sudut pun yang berdebu.”

Luna mengambil tas mewahnya lalu melangkah pergi dengan hak tinggi mengetuk lantai marmer. Pintu rumah tertutup keras, menyisakan keheningan penuh tekanan.

Bi Ipah mendekati Senja perlahan. “Nak…” suaranya pelan, sarat dengan iba. “Maafkan Bibi, ya. Bukan karena Bibi nggak mau bantu, tapi Nyonya Luna… dia benar-benar bisa kejam kalau marah. Bibi nggak berani.”

Senja menatap wajah tua itu, senyum tipis terpaksa terlukis. “Tidak apa-apa, Bi. Aku mengerti. Aku juga tidak mau Bibi kena masalah gara-gara aku.”

Wanita itu menarik napas panjang, lalu duduk di kursi dekat meja makan. “Nak Senja… kau harus hati-hati di rumah ini. Nyonya Luna memang terlihat manis kalau di depan Tuan Samudra. Lembut, sopan, penuh perhatian. Tapi di belakangnya… kau sudah lihat sendiri.”

Senja mengangguk pelan. “Aku kira… hanya aku yang dia benci. Ternyata semua orang.”

Bi Ipah mendekat, suaranya diturunkan seolah takut dinding bisa mendengar. “Dulu, ada yang berani mengadu ke Tuan Samudra tentang perlakuan Nyonya. Tapi tahu apa yang terjadi? Nyonya sangat pintar memutar balikkan fakta. Orang itu difitnah, dipermalukan, dan langsung dipecat. Keesokan harinya… dia ditemukan babak belur di kamar kosnya. Entah siapa pelakunya.”

Senja bergidik, bulu kuduknya berdiri. “Ya Tuhan…”

“Makanya, Nak,” Bi Ipah menatap mata Senja dalam-dalam, “jangan coba-coba melawan. Jangan berani buka mulut di depan Tuan Samudra. Semua akan berbalik padamu.”

Senja menunduk, jari-jarinya meremas ujung rok sederhana yang ia kenakan. Ia tidak pernah menyangka kakak tirinya bisa sekejam itu.

Pekerjaan pun dimulai. Senja membersihkan ruang tamu yang luas dengan marmer mengilap. Sapu dan pel yang ia gunakan terasa lebih berat dari biasanya. Lalu berlanjut ke ruang makan, kamar-kamar tamu, dapur yang penuh perabot, hingga halaman yang begitu luas.

Jam demi jam berlalu. Matahari kian terik, tubuh Senja mulai basah oleh keringat. Rambutnya menempel di kening, tangannya pegal, pinggangnya nyeri. Namun ia tetap bergerak. Kata-kata Luna terus terngiang di telinga, jangan makan sebelum selesai.

Perutnya sudah melilit sejak tengah hari. Hanya beberapa gelas air putih yang menahan kerongkongan agar tidak kering. Senja ingin sekali menyentuh sepotong roti di dapur, tapi ia menahan diri.

“Senja…” suara Bi Ipah memanggil pelan dari pintu dapur. “Makanlah sedikit. Nyonya tidak akan tahu. Di rumah ini tidak ada CCTV.”

Senja menoleh dengan lelah, senyumnya getir. “Aku tidak mau, Bi. Kalau sampai ketahuan, Bibi bisa kena masalah. Aku nggak mau itu terjadi.”

Bi Ipah menghela napas berat. “Kau keras kepala, Nak.”

“Bukan keras kepala…” Senja menggeleng. “Aku hanya tidak ingin Ayahku ikut menderita. Luna sudah berjanji akan membiayai pengobatannya. Kalau aku melanggar perintahnya, bagaimana kalau dia berubah pikiran?”

Bi Ipah terdiam. Kata-kata itu benar-benar menusuk. Ia hanya bisa mengangguk dan kembali ke pekerjaannya sendiri, sementara Senja meneruskan dengan tubuh yang kian melemah.

---

Sore menjelang, cahaya jingga mulai menembus kaca besar ruang tamu. Senja sudah hampir selesai membersihkan ruang terakhir, ruang kerja Samudra. Debu di rak buku, kaca jendela yang tinggi, semua ia lap dengan tenaga sisa.

Tangannya bergetar, pandangan matanya mulai berkunang-kunang. Perutnya sudah kosong sejak pagi, hanya diisi air.

Saat ia hendak meletakkan kain lap, tubuhnya limbung.

“Aaaaah,"

Bruuuuk!

Senja jatuh pingsan tepat di sisi meja kerja.

---

Pintu rumah terbuka. Samudra baru saja tiba dari kantor dengan wajah lelah, jasnya masih rapi. Ia melangkah masuk, berniat langsung menuju ruang kerja untuk meletakkan dokumen. Namun langkahnya terhenti ketika melihat sosok di lantai.

“Senja!”

Samudra buru-buru berlari, berjongkok di sisi tubuh lemah itu. Wajah Senja pucat, napasnya tersengal, keringat dingin membasahi dahi.

“Ya Tuhan… apa yang terjadi?” Samudra mengguncang pelan bahunya. “Senja, bangun!”

Bi Ipah yang mendengar suara teriakan segera datang. “Tuan!” jeritnya. “Astagfirullah… Nak Senja!”

“Kenapa dia bisa sampai begini?” Samudra menatap Bi Ipah dengan wajah penuh tanya sekaligus amarah.

Bi Ipah terdiam, jantungnya berdetak kencang. Ia tidak tahu harus menjawab apa.

Samudra mengangkat tubuh Senja dengan hati-hati ke pelukannya. Gadis itu begitu ringan, seolah kehilangan banyak tenaga. “Panggil dokter sekarang juga!” katanya tegas.

Bi Ipah mengangguk panik. “Baik, Tuan! Saya telepon dokter langganan sekarang juga!”

Samudra menatap wajah pucat Senja di pelukannya. Ada rasa asing yang menusuk dadanya, semacam perasaan marah sekaligus iba. “Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini?” bisiknya lirih.

Dengan langkah besar, ia membawa Senja menuju kamarnya sendiri.

Terpopuler

Comments

Ariany Sudjana

Ariany Sudjana

samudra jangan percaya begitu saja sama Luna, senja sampai pingsan karena ulah Luna, si nenek lampir

2025-09-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!