Bab 2 - Sangat Pahit

Ning Xuan terdiam beberapa saat, tubuhnya kaku bak patung tanpa nyawa.

Sesaat kemudian, ia merasakan jantungnya seperti diremas dengan keras.

Untunglah, ia pernah mengalami penyeberangan dunia, sehingga dalam benaknya cepat melintas beberapa kemungkinan seperti “mimpi dalam mimpi”, atau “bertemu hantu”.

Telapak tangan dan kakinya dingin, tetapi pikirannya mulai bergerak cepat.

“Kalau semua ini mengulang seperti sebelumnya, berarti si beruang iblis itu baru akan muncul menjelang fajar. Kalau begitu, aku harus segera turun gunung malam ini juga. Tapi… kalau ternyata tidak terulang, atau justru karena aku sembunyi tidak rapi, lalu beruang itu menemukanku lebih awal…”

Ingatan tentang tubuhnya yang dicabik-cabik dan dimakan hidup-hidup kembali menyergap.

Rasa sakit yang dialami saat tubuhnya dikunyah dari kaki ke atas, itu benar-benar tak terbayangkan. Siapa pun yang belum pernah merasakannya, mustahil bisa mengerti penderitaan yang membuat seseorang hampir gila itu.

“Kenapa bisa ada iblis? Kenapa bisa ada makhluk semacam itu?!”

Ning Xuan memegangi kepalanya dengan putus asa.

Ia benar-benar ingin menangis.

Enam belas tahun ia hidup di Kabupaten Xinghe, sejak menyeberang ke dunia ini. Ia sudah mencari ilmu bela diri, bahkan pernah mendekati jalan para pertapa. Namun selama ini ia tak pernah menemukan tanda-tanda adanya hal gaib. Apalagi mendengar tentang iblis atau siluman, sama sekali tidak.

Dan rasa sakit seperti dimakan hidup-hidup itu, adalah sesuatu yang benar-benar tidak ingin ia alami lagi.

“Tenang… harus tenang. Kalau ini sudah terjadi, aku harus pikirkan cara menghadapinya.”

Ia memaksa dirinya untuk tetap waras, menolak dikuasai ketakutan.

Ia harus memilih jalan selamat yang lebih masuk akal.

Ning Xuan mulai mengingat kembali bentuk villa gunung itu.

Di bagian depan villa, ada sebuah lapangan batu yang luas. Dari sana, ada dua jalur turun gunung: sebelah kiri berupa jalan setapak lebar yang dipasang tangga batu, cukup nyaman; sementara sebelah kanan hanyalah jalur kecil yang dipangkas seadanya dari semak belukar dan pepohonan, agak sempit.

Namun, di kedua sisi jalan itu terbentang hutan lebat yang gelap gulita. Jika benar ada binatang buas yang bersembunyi di dalamnya, turun gunung sembarangan sama saja dengan mencari mati.

Di belakang villa, langsung berbatasan dengan jurang. Kamar tidurnya bahkan dibangun menjorok di tepi tebing itu. Setiap kali jendela dibuka, pemandangan gunung-gemunung dan lautan awan yang terbentang selalu memanjakan mata.

Ning Xuan berpikir sejenak, lalu mendadak mendapat ide.

Dengan langkah hati-hati, ia menjelajahi bagian dalam villa. Setelah memastikan tidak ada bahaya, ia masuk ke gudang, mengambil tali rami yang tebal, sebuah tong kayu besar, lalu menggertakkan giginya dan menghabiskan banyak waktu untuk merakit sebuah keranjang gantung sederhana.

Setelah menguji kekuatannya, ia segera membasuh tubuh, mengganti pakaian dengan yang bersih tanpa bau. Sedangkan baju lamanya yang penuh keringat, ia buang di jalan setapak kiri dan kanan, masing-masing dua potong. Sepasang sepatu berbau keringat ia lempar jauh ke jalan gunung.

Usai itu, ia kembali ke belakang villa, menutupi tubuhnya dengan tanah dan dedaunan untuk menghilangkan bau. Ia juga mengambil sebilah belati dari pos penjaga villa, lalu menebang beberapa ranting hijau rimbun.

Setelah persiapan matang, ia menuju tebing belakang. Di sana ia menemukan pohon tua yang kokoh, mengikat tali keranjangnya, lalu menurunkannya perlahan. Ia tidak menurunkannya terlalu jauh, agar masih mungkin memanjat naik bila diperlukan.

Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya ia masuk ke dalam keranjang, lalu menutupi tubuhnya dengan ranting hijau, bahkan menekankannya ke atas kepala.

Itulah cara terbaik yang bisa ia pikirkan.

Ia tidak perlu kabur jauh-jauh.

Yang ia butuhkan hanyalah bertahan hidup sampai fajar.

Huff… huff…

Angin malam menembus tulang, menusuk dingin.

Dalam keranjang gantung itu, Ning Xuan tidak bergerak sedikitpun, menahan napas, menunggu dengan hati was-was.

Perlahan, langit mulai terang.

Dari celah awan, ia bisa melihat matahari terbit di balik barisan gunung.

Namun sinarnya… putih.

Putih pucat seperti sepasang mata raksasa yang mengerikan, sedang perlahan terbuka, menatapnya dari kejauhan.

Ning Xuan menahan nafasnya, menekan degup jantung, berusaha mengalihkan rasa takut dengan memikirkan Xiao Jie mengingat kaki putih mulusnya, dada seindah gunung salju, dan tubuh hangatnya.

Matahari terus naik.

Kabut di sekitar jurang semakin terang.

Rasa tenang sempat mengalir ke dalam hatinya.

Namun tiba-tiba, setetes cairan jatuh dari atas.

Plak.

Tetes itu mengenai sisi hidungnya, lalu mengalir turun.

Sekejap, hidungnya menangkap baunya.

Anyir!

Amat sangat anyir!

Bau darah!

Dengan gemetar, ia mendongak perlahan.

Dan disanalah seekor beruang hitam raksasa, sebesar rumah kecil, tengah bertengger di tepi jurang, menatapnya lurus.

Tatapan mereka bertemu.

Beruang itu menyeringai. Senyumannya mengerikan, penuh ejekan. Lalu perlahan-lahan, ia mengulurkan cakar besarnya, menggenggam tali rami yang menopang keranjang Ning Xuan.

Mata Ning Xuan langsung dipenuhi dengan keputusasaan yang tak terlukiskan.

Detik berikutnya, ia menggertakkan gigi, mencengkeram belati erat-erat.

Belati itu, yang sebelumnya ia gunakan untuk menebang ranting kini ditujukan ke arah tali rami.

Sekali tebas.

Sekali sayat.

Kemudian dengan panik, ia terus mengirisnya tanpa henti.

Pisau belati itu sangat tajam.

Tali rami hampir seketika saja terputus.

Bersama keranjang gantung itu, ia jatuh ke bawah tebing. Anehnya, ia justru merasakan semacam kelegaan. Asal… asal tidak dimakan hidup-hidup oleh beruang siluman itu, meski mati terhempas pun tidak apa-apa!

Dengan mata terbuka lebar, ia menatap dinding tebing yang melintas cepat di sisinya, juga sosok beruang raksasa yang masih tampak di atas tebing.

Bumm!

Ning Xuan merasakan seolah ia menembus sesuatu.

Dan kemudian, ia mendarat.

Namun, rasa sakit yang ia bayangkan tidak datang. Karena… ia kembali berada di dalam vila.

Saat ia melewati suatu batas, tubuhnya secara otomatis dipindahkan kembali ke villa, persis di ranjangnya, bahkan bersama keranjang gantung itu, seakan-akan terperangkap dalam lingkaran setan yang tak berujung.

Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara “dong, dong, dong!”, cepat, makin cepat, makin keras. Awalnya seperti tabuhan genderang di kejauhan, lalu berubah jadi gelegar guntur di dekat telinga, menghantam gendang telinganya sampai hampir robek.

Dengan ngeri ia menoleh, dan melihat asap debu membumbung tinggi. Suara bangunan yang roboh bergemuruh. Baru saja ia hendak bangkit, dinding kamarnya sudah dihantam hingga jebol oleh sosok besar yang mengerikan.

Suara napas kasar, bau amis busuk menusuk hidung, dan bayangan raksasa setinggi hampir dua zhang kembali muncul di hadapannya.

“Sudah lama aku tidak makan manusia…” Beruang siluman itu menyeringai buas.

Ning Xuan menelan ludah. Ia bangkit dengan gemetar, menggenggam erat pisau belati, lalu sambil menangis meraung, ia menerjang ke depan.

“Mati kau!!!”

Bumm!

Ia ditampar hingga terlempar.

Beruang siluman itu tampaknya sangat menikmati mangsa yang penuh perlawanan. Ia bahkan tidak merebut pisau Ning Xuan, membiarkannya menusuk-nusuk tak berdaya ke tubuhnya yang sekeras baja. Sementara itu, ia mulai makan dengan lambat, “elegan”, seakan menyiksa dengan sengaja.

“Uuuuuhhh!!”

“AAAHHH!!!”

“Sakit!!!”

“Amat sakit!!!”

Air mata dan ingus bercampur di wajah Ning Xuan. Tubuhnya menegang, melengkung, lalu kejang sekali, sebelum kembali menghantam ranjang.

Bumm!

Papan ranjang berderak keras.

Ia terengah-engah, nyaris tak bisa bernapas. Butuh waktu lama hingga ia perlahan tenang kembali.

Kelambu tergantung sunyi. Selimutnya sudah basah kuyup oleh tangis. Cahaya bulan menyorot samar pada dinding, sementara suara desiran pepohonan di luar jendela begitu tenang.

“Xiao Jie…” panggilnya serak. Namun tentu saja, gadis cantik itu tidak muncul. Karena pada kenyataannya, ia sama sekali tidak berada di sini.

Apakah ia… terjebak dalam lingkaran mimpi buruk? Atau semacam neraka tanpa akhir yang tak terbayangkan?

Kematian sebelumnya sebenarnya telah memberinya beberapa petunjuk.

Misalnya, ia benar-benar tidak bisa keluar dari vila ini.

“Mungkin… mungkin ada pengecualian? Bisa jadi aku hanya salah mencari jalan keluar.”

Ning Xuan tiba-tiba bangkit. Dengan napas terburu, ia memakai sepatu, lalu bergegas ke ruang penjaga, mengambil belati, bahkan kali ini menambah sebuah pedang panjang.

Ia berlari sekencangnya menuju halaman depan villa.

Ia menuruni jalur batu di sisi kiri gunung.

Namun baru belasan langkah, tubuhnya seakan membentur sesuatu. Dalam sekejap, pemandangan berubah, ia sudah kembali ke kamar tidurnya.

Ia segera lari lagi, kali ini ke jalur tanah di sisi kanan gunung.

Hasilnya sama. Baru belasan langkah, pemandangan berputar, ia kembali berada di kamar.

Ia mencoba berulang kali, menembus celah pepohonan, melompat dari berbagai sisi tebing.

Lebih dari seratus kali ia berusaha, namun tanpa terkecuali, setiap kali ia meninggalkan area vila sedikit saja, ia langsung dipaksa kembali, seperti terjebak dalam lingkaran setan yang kejam.

Sampai akhirnya

Hari kembali terang.

Matahari terbit, memancarkan cahaya putih pucat yang menekan villa yang sunyi bagai kuburan.

Pemuda itu berdiri di tengah halaman, rambutnya acak-acakan, tangan kirinya menggenggam belati, tangan kanannya mencengkeram pedang panjang. Tubuhnya tegak sendiri, diterpa cahaya matahari.

Kepalanya tertunduk, matanya menyipit, namun tatapannya bukan lagi milik seorang pemuda manja kaya raya, melainkan penuh darah, kegilaan, dan putus asa.

Mendadak, ia mendengar hembusan angin.

Angin itu datang dari belakangnya.

Ia segera berbalik, mengangkat belati dan pedang panjang, meraung, menebas dengan sekuat tenaga ke arah beruang siluman itu!

Bumm!

Ia terhantam lagi, tubuhnya beterbangan.

Beruang siluman itu menindihnya dari atas.

Lalu, dengan tenang, ia mulai menggigiti kakinya.

Ning Xuan menebas dan menusuk punggung makhluk itu dengan putus asa. Namun serangannya hanya membuat beruang itu semakin bersemangat.

Rasa sakit yang mustahil dibayangkan kembali datang, ombak demi ombak, melumat kewarasannya.

“Amat pahit…”

Terpopuler

Comments

iza

iza

Ceritanya bikin keterusan, semangat terus author!

2025-09-10

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!