Bar Vault 33 itu tidak terlalu ramai seperti saat malam pertunjukan. Orang-orang di dalamnya hanya wajah yang sudah familiar karena memang tidak boleh ada yang asing masuk ke sini. Cahaya lampu gantung temaram dan alunan musik RnB pelan mengisi ruangan.
Baskara atau yang juga dikenal sebagai Leonhard saat di bar, duduk di kursi tinggi, kemejanya sudah berantakan—kedua kancing atas tidak dikaitkan, lengan kemeja digulung sampai siku yang memperlihatkan tato pedangnya dengan jelas
Prima, COO sekaligus tangan kanannya duduk di samping kirinya, matanya fokus pada laptop yang sudah terbuka. “Jadi, soal supprier siang tadi…” kalimatnya dijeda sebentar, tangannya lihai memilah-milah dokumen dalam laptop. “… udah ada supplier baru dari luar negeri yang ngirim draft. Mereka mau masukin merk premium, tapi lisensinya agak tricky. Misalnya disetujui, harus ada backchannel buat perizinan.”
Leonhard menyesap Wishkey-nya, matanya tajam menatap laporan di laptop. “Backchannel kita masih aman?”
Prima mengangguk pelan. “Selama nama lo nggak muncul, sih… aman ya. Tapi kita perlu orang ketiga untuk nutupin jejak. Kalau nggak… resiko gampang dilacak.
Leonhard berpikir sejenak, dia harus memikirkan langkahnya matang-matang. “Gua sebenrnya gak mau repot di bagian legal. Kalau proses dokumennya lama, bisa jadi boomerang juga buat kita,” ujarnya serius.
Sebagai bos, Leonhard harus menjaga bisnisnya agar tetap berdiri. Terlebih, dia sangat sadar kalau bar ini jauh dari kata bersih. Tiap langkah yang dia ambil, kalau tidak berhati-hati, yang sudah dibangun bisa runtuh habis dengan sia-sia. Jangankan pemilihan orang dalam yang ikut serta menjalani bisnis ini, tamunya juga selalu dicek untuk memastikan mereka bukan penyusup yang berpotensi membahayakan.
Prima terkekeh pelan. “As always… straight to the point, ya bos. Tapi gua setuju, better main aman.”
Leonhard menhangkat alisnya sambil mengangguk pelan. “Coba follow up lagi sama tim legal. Kalau mereka bilang terlalu banyak grey area, kita batalin. Tetep pegang supplier lama, jangan sampe produksi berhenti,” pungkah Leonhard, suaranya semakin serius layaknya bos yang bekerja.
“Noted,” jawab Prima sambil meminum cocktail yang belum sempat disentuh, kemudian tangannya sibuk mengetik catatan yang bakal jadi informasi lanjutan bagi tim yang lain.
“Inget, gua buka tempat ini bukan cuma gaya. Ini base untuk kita berekspresi dari cara yang beda,” imbuh Leonhard, kini nadanya terdengar lebih santai tapi ada sedikit hint intimidasi.
Leonhard tidak terlalu peduli dengan ide bahwa bisnis ini bisa dibilang ilegal, selama dia main bersih… semuanya bersih.
Prima tertawa, cukup keras. “Gua kenal lo udah 20 tahun, tanpa lo ingetin juga udah tertanam di otak gua,” ujarnya sambil menunjuk-nunjuk kepala.
Leonhard tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. “Baguslah. Gua gak perlu repot-repot ngingetin.”
Leonhard baru saja mengisi ulang gelasnya yang kosong, seketika suara teriakan keras terdengar dari sisi ruangan. Seorang pria dengan jaket kulit hitam setengah terbuka, rambut acak tapi karismatik, berjalan santai menghampiri mereka. Ditangannya, kunci motor sport digelantungi seperti aksesoris yang diputar-putar.
“What’s up!” sapanya berdiri di tengah-tengah Leonhard dan prima, kedua tangannya merangkul. Leonhard langsung menepis lengannya.
Pria itu membaca ruangan, melirik ke arah laptop yang masih menampilkan catatan khusus. “Ngomongin uang lagi?” tanyanya santai sambil menarik kursi tinggi itu ke tengah tempat Leonhard dan Prima duduk.
“Kenapa harus geret kursi, sih? Tinggal duduk di tempatnya, susah kah?” protes Prima, menatap pria itu sinis.
Pria itu hanya terkekeh, sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan sinis Prima. “Santai… gua cuma pengen nguping obrolan berat kalian.”
“Raghav, daripada lo ribut di sini… mending lo balik ke arena deh. Biarin orang lain yang taruhan sama lo,” tukas Prima sedikit jengkel.
Prima dan Raghav memang bagaikan kucing dan tikus, tapi percayalah aslinya mereka saling peduli. Hanya saja kepribadian mereka yang sama-sama keras—susah untuk menunjukkan perasaan. Bahkan Leonhard yang terkenal dingin saja lebih bisa menunjukkan perasaannya dengan orang tercinta.
Sebelum Raghav bisa membalas, Leonhard langsung mengambil alih percakapan mereka. “Ada update buat lo. Pertunjukan makin besar, taruhan juga makin banyak. Gua butuh lo buat handle di arena.”
Raghav memetik jarinya dengan bibirnya terangkat sedikit. “Tenang aja. Gua pegang anak-anak. Crowd juga makin loyal. Tapi kalau masalah lain dari arena… jangan bawa nama gua. Di sini gua cuma bikin hype, bukan nutup dokumen,” ujarnya dengan tenang.
Leonhard mengangguk sambil tersenyum tipis. “Nice. Lo bikin keributan. Prima nutupin jejak. Gua pastiin semuanya seimbang. Tiga kepala, satu permainan.”
Leonhard sangat paham, dunia yang dia pilih tidak benar-benar aman. Itulah mengapa dia selalu jaga jarak. Di luar, orang mungkin melihat dia tenang, ramah, bahkan mudah didekati. Tapi dibalik sikapnya itu, ada perhitungan di setiap langkahnya.
Yang kenal jauh lebih dalam tentang Leonhard, pasti sangat menghirmatinya. Bukan karena takut di tonjok, tapi karena mereka percaya dengan dia yang selalu adil—uang taruhan, jalannya pertunjukan balap, bahkan masalah kecil antar pembalap—semuanya dia atur dengan kepala dingin dan backingan yang kuat juga terjamin.
Untuk sebagian orang, Leonhard adah pemilikbar sekaligus mastermind dari arena balap liar yang paling diburu. Aslinya, dia hanya suka berada di keramaian dan bermain di balik layar untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
“By the way, pastiin arena kosong untuk minggu depan. Ada yang ngajak taruhan,” ucap Raghav sangat percaya diri. Jelas saja, dia satu-satunya ‘raja lintasan’ dari bar ini.
“Who?” tanya Leonhard, memastikan bukan sembarang orang.
“Just a guy from the other day, dia bikin ribut di bar waktu lo gak ada,” jelas Raghav. Tangannya mengambil gelas milik Leonhard, sedangkan sang pemilik hanya memutar kedua bola matanya karena sudah terbiasa.
Dia mengangguk. “Usahakan taruhannya besar,” cetus Leonhard tanpa ekspresi dan nada datar—artinya dia serius.
“Bener, bagus banget buat cash flow. Awas aja kalo sampe bocor—” Prima melirik ke arah Raghav yang sedang nyantai sambil meminum Whiskey milik Leonhard. “—titik masuk harus aman. Gua serahin itu ke lo,” imbuhnya sedikit mengancam.
“Understood, ma’am.”
Seketika hening, hanya terdengar obrolan-obrolan ringan dari pengunjung bar dan suara musik RnB yang semakin jelas. Tak lama dari itu, keributan dari lorong masuk mengalihkan fokus beberapa orang dalam bar itu.
“Gua udah pernah ke sini!”
“T-tapi harus ada izin—”
Seorang gadis dan salah satu staff mereka sedang beragumen mulut. Staff itu tampak kewalahan mencegat sang gadis masuk. Ada beberapa orang yang bersiul karena jarang sekali melihat gadis yang berani masuk tanpa jalur orang dalam.
Staff mencengkrang lengan gadis itu lebih kencang. “Saya mohon. Tempat ini bukan—” ucapnya terpotong.
“Gua kenal Leonhard!” suara gadis itu lantang. Ruangan yang tadinya ramai dengan beberapa suara tawa, dan bunyi gelas beradu, mendadak hening—menyisakan musik yang terdengar semakin jelas.
Leonhard yang merasa namanya terpanggil, langsung menengok ke arah sumber suara.
Selina.
Leonhard berdiri pelan, menaru gelas barunya di meja bar. Tatapannya langsung diningin dan tajam.
“Lepas,” ujar Leonhard datar pada staff yang masih menahan Selina. Cengkraman itu akhirnya dilepas, wajah staff masih tegang. Leonhard mengisyaratkan dirinya untuk balik jaga di luar.
Selina melangkah masuk dengan percaya diri. Kali ini pakaian yang dikenakan semakin terbuka dari terakhir kali dia melihatnya—sebuah mini dress berwarna merah maroon berbahan satin dengan rambutnya yang diikat kebelakang, menunjukkan garis lehernya. Leonhard menelan ludah.
“Kenal saya?” suara Leonhard pelan tapi tegas, membuat riuh bar mendadak mereda.
Selina mengangkat kedua alisnya dan mengangguk. Senyumnya terpampang jelas di wajah manis itu. “Kurasa, kita udah berbincang cukup lama untuk saling mengenal,” bual Selina.
Leonhard tidak bergeming, rahangnya mengeras. Dadanya naik-turun, seperti sedang menahan emosinya. Sudah cukup baginya mengetahui bahwa Selina adalah salah satu dari mahasiswinya. Jika diteruskan, semua rahasinya akan terbongkar.
“Dua pekan lalu,” ujar Selina, mengambil langkah maju mendekati Leonhard. “Mister… Leonhard,” bisiknya. Suaranya seperti desiran angin yang menerpa telinga sang wira.
Leonhard terlihat sedang menahan dirinya saat dua kata itu terlintas dari mulut gadis itu. Dagunya di angkat ke atas sebagai bentuk pertahanan diri.
“Kamu sudah melanggar peraturan—menerobos masuk tanpa…”
Selina membuang nafas dramatis memotong ucapan Leonhard. “Peraturan? Mana? Aku gak liat ada peraturan di sini,” ujarnya dengan sarkastik.
Buntu.
Selina bukanlah oponen yang cocok untuk Leonhard. Dia terlalu keras kepala, sedangkan Leonhard harus menjaga identitasnya sehingga tidak bisa berbuat banyak untuk ‘menghukum’ gadis itu. Dia yakin bibir indah miliknya tidak bisa diam tanpa membocorkan sedikit fakta tentang apa yang telah dia dapatkan dari sini kepada kedua kerucilnya di kampus.
Leonhard membuang nafas pelan. “Apa yang kamu butuhkan?” tanyanya datar.
Gadis itu berjalan menuju meja bar. Matanya melirik ke setiap sudut ruangan, untuk mengecek suasana yang sedikit berbeda dari pertama kali dia menginjak tempat ini. Bedanya, ada beberapa pengunjung yang sedang menikmati minuman mereka dan bercengkerama.
Dia tersenyum. “Punya pengunjung juga ternyata. Kukira… cuma base… something illegal,” celetuknya, badannya memutar kembali menatap Leonhard—mengecek reaksi pria berotot yang sama sekali tidak menujukan ekspresi panik.
“Hati-hati kalau bicara,” jawab Leonhard, mendekati gadis itu. Wajahnya tidak menunjukkan rasa takut, tapi rasa penasarannya sangat jelas.
Di depan mereka, Prima dan Raghav hanya menonton dan memperhatikan gerak-gerik mereka dengan tenang.
“Interesting,” bisik Raghav pada Prima. Bibirnya menyeringai, duduk dengan tangan bersandar di kepalanya. “The story is gonna have a big twist.”
Selina melanjutkan jalannya menuju meja bar tanpa menggubris Leonhard tadi. Duduk berjarak satu kursi dari Raghav. Dia mengetukkan jarinya ke meja, matanya melirik sekilas ke arah Raghav, lalu kembali menatap Leonhard yang masih berdiri di belakangnya.
“You don’t have bartender here?” tanyanya bingung. “Or… kamu sendiri yang turun?” tambahnya.
Tanpa sepatah kata, Leonhard berjalan menuju meja bartender untuk membuat minuman untuk Selina. Kebetulan dia ingat, Selina adalah mahasiswa semester lima, artinya dia baru menginjak dua puluh tahun—belum legal untuk minum alkohol. Tangannya mengambil botol jus apel baru, seperti dua minggu lalu.
Selina mengernyit. “Didn’t I tell you that I’m old enough for alcohol?”
Leonhard tetap tidak menggubris, menuangkan jus itu ke dalam gelas, lalu menaruhnya di depan Selina.
“I said I’m—” ucapannya terpotong.
“Tunjukkan KTP kalau kamu memang sudah legal,” tukas Leonhard datar, menatap matanya tajam.
Selina menyilangkan tangannya di depan dada, bibirnya manyun sedikit. “Serius? Don’t I look old enough?”
“Your look has nothing to do with your age,” pungkas Leonhard dingin, mendorong gelas itu lebih dekat ke arah Selina.
Selina menghela nafas dan berdecak lidah seolah ingin protes. “Gak seru…” gerutunya pelan. Tatapan Leonhard semakin tajam menembus kornea matanya membuat keras kepala gadis itu runtuh. Dia merogoh tas kecilnya, menarik dompet, lalu menyodorkan KTP dengan gerakan malas.
Leonhard mengambil KTP, matanya melirik tanggal lahir gadis itu. Benar saja dia baru dua puluh tahun. “Not old enough,” ujarnya singkat sambil mengembalikan barangnya.
Selina sudah tahu Leonhard pasti mengatakan itu, jadi dia hanya bisa menerima kenyataan. “Why is he so strict for?” gumamnya sendiri. Tapi didengar oleh Raghav yang kemudian tertawa.
“Iya kan? He’s too strict,” ucapnya dari samping. Selina menoleh, matanya menyipit, badannya di dekatkam ke arah Raghav.
“Strict, but hot,” balasnya dengan nada yang sengaja dipertegas suapaya Leonhard dengar.
Raghav tertawa lagi. “I like this girl,” ujarnya sambil menatap Leonhard yang sudah bosan melihat mereka. “Dia berani.”
Selina bisa melihat rahangnya mengeras, hal ini semakin membuatnya ingin mengusik Leonhard. “Come on,” ujarnya. Tatapan genit itu muncul lagi. Leonhard masih tidak bergeming. “Kasih aku satu kesempatan to prove I can handle more than apple juice.”
Prima tersenyum tipis melihat Leonhard dipojokkan oleh gadis kuliahan semester lima itu. Adegan seperti ini jarang terjadi di hidup Leomhard. Rasanya dia ingin mengabadikan momen itu. Di sampingnya, Raghav tidak berhenti menyeringai, menikmati drama di depannya.
“Take it or leave it,” akhirnya Leonhard membuka mulutnya. Selina hanya tersenyum simpul sambil menyeruput jus apel itu. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Leonhard.
“Kamu butuh bartender?” Selina tiba-tiba menanyakan hal yang sangat diluar dugaan. Leonhard mengernyit dahi. “Aku bisa jadi bartender di sini. Kebetulan juga aku lagi nyari part time job,” jelasnya lagi dengan percaya diri.
Leonhard melirik ke arah Prima, meminta bantuan. Prima hanya mengangkat bahunya, menyerahkan semuanya kepada dia.
“Punya pengalaman jadi bartender?” tanga Leonhard, nadanya sudah lebih tenang dan terasa seperti seorang bos yang sedang mewawancarai kandidat pekerja.
Selina diam sebentar. “Hm… belum sih. Tapi, aku bisa minum,” jawab Selina seenaknya.
Leonhard membuang muka, mengembalikan botol jus apel ke dalam lemari pendingin. “Then… you’re not qualified. Saya butuh orang yang fokus kerja, bukan peminum.”
Selina terkekeh kecil. “Has anyone told you that you’re too serious? Aku bercanda. Ya… walaupun gak banyak, tapi aku bisa buat beberapa cocktail dan campuran lainnya,” Selina menjelaskan dengan profesional tapi tetap santai.
“You’re in… then,” ujar Prima membuat Leonhard langsung meliriknya. Matanya seolah berkata ‘tidak’. Tapi Prima mengabaikan tatapan itu. Dia tersenyum ramah kepada Selina yang juga kaget.
Selina hanya asal sebut mau melamar di sini, tapi uang tetaplah uang. Dia butuh itu. Kesempatan ini tidak boleh lepas. Terlebih, dia bisa membaca Leonhard lebih dalam dan siapa tahu bisa mencari hal yang ‘unik’ dari bar misterius ini.
“Besok malam, jam delapan. Datang aja. Kita lihat sejauh mana kamu bisa keep up,” ujar Prima.
Mata Selina berbinar. Dia hampir tersenyum lebar, tapi sorot mata Leonhard menahan euforia itu. Dia hanya diam, seakan sedang memutuskan sesuatu dalam kepalanya yang tidak ingin diketahui siapapun.
“See you tomorrow, then,” ucap Selina, duduk tegak dengan kaki yang diayunkan seperti anak kecil diberi permen.
“Kamu bisa pulang,” Leonhard membuka mulutnya hanya untuk menyuruhnya pergi. Karena Selina masih dalam suasana baik, dia pun langsung turun dari kursi—tanpa sepatah kata, hanya melambaikan tangan pergi keluar dari bar itu. Seperti satu misinya telah usai.
Langkahnya besar sambil bersenandung ruang keluar dari bar itu. Di ujung penglihatannya, dia menemukan motor besar berwana biru-putih itu lagi. Tapi pemiliknya barusan melewati dirinya. Selina mendadak mengengok ke belakang. Caranya berjalan… mengingatkanya dengan seseorang.
Siapa? Batin Selina tidak diam nge-list nama-nama yang muncul di otaknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments