Hari demi hari berlalu cepat, dan kini sudah lima bulan Azura bekerja. Selama itu juga, bocah itu tak pernah kelihatan lagi. Anehnya, baru sekali bertemu dengan anak itu, Azura sudah merindukannya. “Apa karena waktu itu aku meninggalkannya, jadi aku merasa bersalah begini? Tapi kan… aku bukan Ibunya,” gumam Azura, menatap hampa ke langit. “Ayah, Kak Hira… di mana sebenarnya kalian berada?”
Azura menghela nafas, nafasnya terasa berat. “Semoga saja kalian baik-baik saja.” Harapnya memejamkan mata.
“Hai, lagi mikirin apa, Ra?” Tanya Leni menepuk sebelah bahu kiri Azura lalu berdiri di dekatnya. Tak hanya satu rekan dalam pekerjaan, dua wanita itu juga tinggal di satu rumah. Tepatnya, apartemen kecil yang biaya hidupnya cukup murah.
“Nggak lagi mikirin apa-apa, Len.” Azura menggeleng lalu ia pandangi secangkir kopi yang sudah dingin di tangannya.
“Tapi kok mukamu murung gitu? Pasti ada masalah ya? Coba deh cerita ke aku. Siapa tahu aku bisa bantu kamu,” ucap Len menyenggol sedikit lengan Azura.
“Sebenarnya, aku kepikiran sama anak yang waktu itu, Len.”
“Oh, terus?” Tanya Leni mulai penasaran.
“Anak itu pasti sangat kesepian, di usianya yang masih kecil, dia sudah kehilangan Ibunya. Aku jadi teringat kisahku sendiri,” tutur Azura kemudian menyeruput habis kopinya. ‘Anak itu juga mengingatkanku pada anak-anak Aina yang ditinggalkannya. Anak-anak Aina pasti sudah seusianya,’ lanjut Azura membatin, sangat ingin bertemu keponakannya.
“Ra, Aina kan sempat menikah dan melahirkan anak sebelum meninggal, kau belum pernah mengunjungi anak-anaknya itu?” Tanya Leni sudah tahu dari Azura sendiri. Dulu, Azura ingin ke pernikahan Aina, tapi Ibunya melarangnya datang. Karena itu, ia tak tahu siapa suami Aina. Pernikahannya pun tak pernah ia hadiri. Ibunya tak mau Azura dekat dengan Aina.
Azura menggeleng dua kali lalu menunduk sedih. “Aku belum pernah mengunjungi mereka, aku nggak tahu di mana suami Aina dan anaknya berada, Len.”
Leni menarik nafas panjang, lalu membuangnya. “Kalau aku diposisimu, aku pasti sudah gila. Sedangkan kamu, kamu masih bisa bertahan sampai di titik ini. Aku salut. Kamu wanita yang nggak pantang mundur, Ra.” Ungkap Leni tersenyum.
“Kamu juga, Len. Kamu wanita tangguh yang peduli kepada adik-adikmu. Kamu sosok yang luar biasa,” balas Azura memuji.
“Bukan hanya aku, kamu juga luar biasa, Ra. Kamu serahkan setengah gajimu ke panti asuhan demi anak-anak yang hidup di tempat itu.”
Begitulah Azura, meskipun bekerja untuk hidupnya, setengah dari gajinya ia sumbangkan ke panti asuhan untuk menebus kesalahannya ke Sahira dan Ayahnya di masa lalu.
Keduanya pun meninggalkan balkon. Mereka berniat tidur lebih awal agar besok pekerjaan mereka cepat selesai. Namun, tak di sangka, Azura kedatangan tamu.
“Apa kabar, adikku,” sapa Calsa Matthias melambaikan tangan sambil tersenyum, terlihat senyum manis yang dipaksakan.
“Ck, kenapa ulat bulu ini datang kemari?” kesal Leni, tahu siapa wanita di depan mereka yang merupakan anak kedua keluarga Matthias, pengusaha tambang terbesar yang harta kekayaan mereka amat fantastis. Dan wanita itu adalah saudara tiri Aina yang paling membeci Azura.
“Len, sebaiknya kamu masuk saja ke kamar duluan, biar aku yang hadapi dia. Aku nggak mau kau jadi sasaran keluarganya. Kamu tahu sendiri, kan? Dia berasal dari keluarga konglomerat. Cari masalah dengannya, sama saja cari mati,” bisik Azura tak mau sahabatnya terlibat ke masalahnya. Mau tak mau, Leni terpaksa masuk ke kamar, tapi diam-diam menguping di balik pintu. Leni mengamati dari celah pintu, tampak Azura duduk di sofa dan berusaha tampak tenang.
”Ada apa kamu datang kemari?” Tanya Azura sinis.
“Ibu merindukanmu, dia ingin kamu pulang bersamaku,” jawab Calsa terus terang.
Sesaat, Azura terkejut tapi kemudian ia tersenyum getir.
“Aku baru tahu wanita jahat itu bisa merasakan perasaan itu pada anak yang dia buang sendiri,” ucapnya membuang muka. Rindu? Itu hanya alasan konyol. Selama 22 tahun hidup tanpa kasih sayangnya, alasan rindu itu tak masuk akal bagi Azura.
“Kalau kamu tak percaya ya sudah, aku hanya menyampaikan apa yang Ibu mau. Sisanya terserah kamu,” ucap Calsa sambil bersedekap dada. “tapi jangan menyesal jika kesempatan untuk menemukan Ayah dan kakakmu itu hilang,” sambung Calsa berhasil membuat Azura kembali melihatnya.
“Dia ingin membantuku?” Tunjuk Azura ke dirinya sendiri dan merasa tak begitu percaya.
“Ya, Ibu ingin membantumu, bahkan Ibu sudah tahu di mana mereka. Tapi kalau kamu mau tahu, kamu harus ikut denganku pulang ke rumah,” jelas Calsa.
“Baiklah, aku akan pulang ke sana, tapi bukan denganmu. Aku yang akan datang sendiri besok ke sana,” kata Azura menolak pulang malam ini.
Calsa pun berdiri dari kursi. “Okay, aku juga tak sudi pulang dengan wanita buruk rupa sepertimu. Sudah 10 tahun berlalu, apa kamu tak punya uang untuk menutupi bekas jelek itu dari wajahmu? Menjijikkan!” Lalu, setelah melontarkan hinaan itu, ia melenggang pergi. Menutup pintu dengan keras.
“Cih, mentang-mentang anak orkay, dia seenaknya menghina sahabatku. Apa dia nggak sadar, hatinya itu yang buruk?” cerocos Leni berdiri di belakang Azura yang menghembuskan nafas berat.
“Sudah, Len. Kamu jangan membuang energimu untuk wanita itu, yang penting dia sudah pergi,” kata Azura menatap Leni.
“Tapi, Ra… kamu serius akan pulang ke sana? Bagaimana jika kamu disiksa mereka?” Leni duduk di sebelahnya, ia khawatir.
“Tenang saja, aku bisa jaga diri, kok. Aku nggak akan biarkan mereka melukaiku lagi,” ucap Azura sambil menyentuh bekas hitam di pipi kirinya. Bekas cakar memanjang yang terlihat sedikit mengganggu di mata orang lain. Tapi bagi Azura, bekas itu sebagai bukti rasa sakitnya pada Arisha yang tak akan bisa hilang. Terlepas dari itu, kini Azura sedikit lega dan tak sabar bertemu dengan Ayahnya dan Sahira langsung. Namun sayang, harapan Azura terlalu ketinggian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments