Bella baru saja pulang kuliah dengan baju yang lusuh karena bekerja paruh waktu di restoran untuk sekedar membeli buku kuliahnya. Begitu memasuki rumah, suara keras mamanya langsung menyambutnya.
"Baru pulang? Dari mana saja kamu?” tanyanya tajam, duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecurigaan.
Bella menunduk, memeluk erat tasnya. “Aku… habis kerja paruh waktu, Ma. Uangnya untuk bayar keperluan kuliahku, ada buku yang harus aku beli” jawab Bella.
“Kerja?!” Arumi memotong kasar. “Bukankah aku sudah bilang, aku tidak peduli dengan pendidikanmu! Kamu tidak usah membuang-buang uang untuk itu. Cukup kau tahu diri tinggal di sini, dan jangan banyak bertingkah" ucap Arumi.
Bella menggigit bibirnya, menahan perih. Hatinya terasa sakit mendengar ucapan mamanya. "Aku hanya ingin mewujudkan cita-citamu ma, dulu mama yang memintaku untuk sekolah tinggi" ucap Bella.
"Itu dulu, sebelum kamu membunuh anakku dan merusak rahimku" seru Arumi penuh kebencian.
"Tapi itu semua tidak sepenuhnya salahku ma, aku...." setiap kali Bella ingin menjelaskan, mamanya selalu memotong ucapannya.
"Berhenti membela diri Bella, waktu itu Maureen masih kecil, kamu yang lebih besar seharusnya menjaga adikmu tidak meninggalkannya sendirian" sentak Arumi.
Dari lantai atas, suara Maureen yang kini berusia delapan belas belas tahun ikut menimpali. “kau tidak bisa menyalahkan ku kak, semua terjadi karena kecerobohanmu"
Ucapan itu menusuk hati Bella, membuatnya semakin terpuruk. Adiknya melimpahkan semua kesalahannya kepada dirinya.
"Maaf" hanya itu yang keluar dari mulut Bella, dia berlalu menuju kamarnya yang beradan di deretan kamar pembantu. Kamar yang dulu luas bak di negeri dongeng, kini berubah. Kamar yang Bella tempati sangat sempit dan juga panas. Tidak sebanding dengan kamar yang dia miliki dulu
Saat malam tiba, Bella duduk sendirian di teras belakang rumah, kepalanya mendongak ke atas menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia memeluk lututnya, tubuhnya bergetar menahan tangis.
“Mama…kenapa sekarang mama berubah, Aku lelah… aku ingin pergi dari rumah ini. Tapi… ke mana aku harus pergi?” bisiknya lirih.
Meski hatinya hancur, Bella bertekad untuk bertahan. Ia ingin membuktikan, suatu hari nanti, bahwa dirinya tidak bersalah. Bahwa ia berharga, meski tak ada lagi yang perduli.
“Pergi saja jika sudah tidak kuat, toh keberadaanmu juga tidak dianggap lagi di rumah ini,” ucap Naka dengan suara dingin, tanpa sedikit pun rasa iba.
Dulu, saat mereka masih kecil, Naka adalah pelindungnya, selalu membela Bella dari siapapun yang menyakitinya. Tapi sekarang, kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Bella.
Dengan nafas tertahan, Bella mengangkat kepalanya, berusaha menahan gemuruh emosi yang hampir meledak. “Aku tidak salah, Naka,” suaranya bergetar namun penuh tekad. “Aku sudah jelaskan kepada kalian semua, ini semua karena kecerobohan Maureen sendiri, tapi kenapa kalian semua menyalahkanku” Matanya berkaca-kaca, bukan karena lemah, tapi karena rasa frustrasi yang bertahun-tahun terpendam.
Di balik dinding-dinding rumah itu, yang dulu terasa hangat dan penuh kasih, kini berubah dingin penuh kebencian.
"Kamu memang bersalah, tidak seharusnya kamu meninggalkan anak kecil sendirian di pinggir jalan, Bella. Akibat ulahmu itu keluarga Danendra kehilangan salah satu pewarisnya" sahut Shaka yang ikut bergabung dengan mereka.
Bahkan Shaka yang dulu lebih menyayangi dirinya daripada sepupunya yang lain, kini dia berubah membencinya.
"Maaf." Suara Bella terdengar begitu lirih, hampir tak terdengar. Wajahnya yang dulu cerah kini suram, penuh luka yang tak terlihat oleh mata orang lain. Ia menundukkan kepala, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar, tetapi ia tahan.
Di hadapannya, Shaka berdiri kaku dengan tatapan dingin yang menusuk. Matanya yang dulu selalu penuh kasih kini berubah menjadi lautan kebencian yang dalam. Ia menarik napas panjang, menahan amarah yang menguasai dirinya, "Kenapa harus kamu, Bella?"
Naka berdiri di samping Shaka, wajahnya juga dipenuhi rasa kecewa yang sulit disembunyikan. Ia memandang Bella dengan mata yang hampir tak bisa dipercaya, seolah-olah semua yang pernah mereka lalui bersama kini hanyalah sebuah kenangan palsu.
Bella bangkit dari tempat duduknya, perlahan meninggalkan kedua saudaranya yang dulu pernah di menganggapnya sebagai keluarga. Tatapan mereka yang penuh permusuhan membekas tajam di hati Bella, seolah setiap langkahnya semakin menjauh dari harapan akan pengampunan.
Di balik pintu yang tertutup rapat, Bella menghela napas panjang, menahan rasa sakit yang merayap di setiap sudut hatinya. Ia tahu, kata maafnya belum cukup untuk menghapus luka yang sudah terukir selama bertahun-tahun, tapi ia tak bisa berbuat lebih dari itu. Kini, ia harus berjalan sendiri di jalan yang penuh duri ini, meninggalkan bayang-bayang masa lalu yang membelenggunya.
Bella menarik napas panjang, di ambilnya tas miliknya dan dia selempangkan ke bahunya.
"Aku tidak bisa terus menerus tinggal di rumah ini, aku harus menemui ayah. Siapa tahu dia mau menampungku untuk sementara waktu," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh sunyi malam.
Langkahnya pelan namun pasti menyusuri lorong rumah yang remang, udara dingin menusuk kulitnya yang tipis. Rasa takut dan harap bercampur menjadi satu, membuat dada Bella berdebar tidak karuan. Ia tahu pertemuan itu mungkin akan mengecewakan, tapi hatinya sudah tak sanggup lagi bertahan di tempat yang penuh luka ini.
Saat hendak membuka pintu depan, tiba-tiba suara Kaireen menghentikannya.
"Malam-malam begini kakak mau kemana?" tanya Kaireen.
Bella menundukkan kepalanya sejenak, jari-jarinya menggenggam erat tali tasnya. Wajahnya yang biasanya cerah kini memancarkan kelelahan dan kesedihan yang mendalam. "Kakak mau menemui sesorang jawabnya lirih.
"Siapa kak? Mau aku temani?" tawar Kairen.
"Tidak usah Kairen, kakak cuma mau ke rumah ayah Reza" tolak Bella.
Kairen menatap Bella dengan mata yang penuh tanya,"Kakak yakin? Bukankah selama ini om Reza tidak pernah mencari kakak?"
Bella menghela napas pelan, senyum kecut muncul di sudut bibirnya, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti hatinya."Tidak ada salahnya kakak mencobanya. Kakak pergi dulu, jangan beritahu yang lain," ucap Bella. Dia tidak ingin mamanya mengetahui apa yang dia lakukan.
"Hati-hati kak" ucap Kairen sambil menatap punggung kakaknya yang menjauh.
Bertahun-tahun kakaknya hidup dalam luka yang diberikan oleh keluarganya, membuat Kairen merasa iba. Dia berusaha merangkul kakaknya agar tidak merasa sendiri hidup di dunia ini. Berulang kali Kairen mencoba menyadarkan kedua orang tuanya supaya memaafkan Bella, tetapi tidak membuahkan hasil.
Sementara itu di luar Bella sudah naik keatas motor duduk di belakang, perlahan tukang ojeg yang dia sewa melajukan motornya menuju ke rumah sang ayah.
Bersambung.
Jangan lupa follow, komen dan like.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Novi Pardosi
bisa gak sih Arumi juga mati aja
dlu sok²an nikah sama Alvaro demi Bella
sekarang dia yg nyiksa batin bela
pantas aja anaknya mati
orang Arumi tidak pantas jadi ibu
2025-09-06
1
Desmeri epy Epy
iya bela pergi saja kamu dari rumah mereka karena mereka sangat membenci mu, tapi jgn pergi ke rumah ayah mu karena përcuma saja.
2025-09-06
0
Ariany Sudjana
semoga Bella bisa ketemu dengan orang baik yang akan menolongnya melewati saat yang tidak mudah
2025-09-06
0