Malam itu, Azel berdiri lama di depan cermin. Gaun sederhana yang ia kenakan jatuh pas di tubuhnya, tidak berlebihan tapi cukup sopan. Setelah menarik napas dalam, ia meraih ponsel dan mengetik pesan singkat.
"Ini Azel."
Tak lama, balasan masuk.
"Oke, Zel. Gue save. Lo udah siap, kan? Gue tinggal satu pasien lagi, abis itu langsung ke rumah lo."
Azel menatap layar ponselnya beberapa detik sebelum membalas.
"Hmm… iya, ini lagi siap-siap."
Waktu berjalan lambat, tapi akhirnya telepon dari Elzhar masuk.
“Halo, gue udah di depan rumah.” Suaranya terdengar tegas.
Azel buru-buru keluar, menahan degup jantung yang entah kenapa terasa lebih cepat. Ia langsung masuk ke mobil Elzhar tanpa banyak bicara.
Di perjalanan, Elzhar membuka suara.
“Zel, gue minta selama lo di rumah gue nanti… lo nunjukin sifat lo yang paling menyebalkan, ya. Ceplas-ceplos, sok akrab, pokoknya bikin nyokap gue ilfeel.”
Azel meliriknya cepat. “Lah, kenapa gitu?”
“Ya, kalau lo keliatan baik dan manis, bisa-bisa nyokap gue suka sama lo. Ujungnya… dia bakal maksa gue nikahin lo. Nah, tujuan gue justru sebaliknya. Gue mau tetap bisa milih hidup gue sendiri, nggak terjebak perjodohan. Jadi, kalau lo keliatan bukan tipe menantu idaman, gue bakal aman dia bakal biarin kita pacaran aja tapi gak sampe pernikahan.”
Azel terdiam. Kata-kata ‘bukan menantu idaman’ menusuk hatinya tanpa ia sadari. Ia menunduk, menggenggam jemari sendiri di pangkuan.
Emangnya gue sejelek itu? Atau karena gue bukan orang kaya? gumamnya dalam hati. Rasa tersinggung itu membekas, meski ia mencoba menepisnya
" astaga Azel sadar Kenapa lo harus tersinggung. lagian elzhar bukan siapa-siapa lo."
“Iya, gue bakal lakuin. Tapi jangan salahin gue kalau ternyata keluarga lo suka sama gue,” balasnya akhirnya, nada suaranya sedikit menantang.
Elzhar terkekeh, tatapannya lurus ke jalan. “Hahaha… gila aja kalau itu sampai kejadian.”
Azel melipat tangan di dada. “Cih, kita lihat aja nanti.”
Sebelum sampai di rumah keluarga Wiratama, mobil Elzhar tiba-tiba berbelok masuk ke area parkir sebuah butik mewah.
Azel mengernyit. “Untuk apaan kita berhenti? Bukannya lo bilang kita udah telat?”
Elzhar membuka sabuk pengamannya santai. “Lo terlalu sopan dandannya. Ayo, kita ganti dulu pakaian lo.”
“Hah? Maksud lo apa? Emang baju gue kenapa?” Azel mendengus, menunduk menatap dress selutut yang ia pakai. Menurutnya sudah cukup sopan, bahkan agak rapi.
“Kenapa? Karena terlalu sopan.” Elzhar menyeringai, lalu turun begitu saja. “Ayo, cepet. Kalau lo tampil terlalu manis, nyokap gue bisa beneran suka sama lo. Itu yang harus kita hindarin, kan?”
Azel menghela napas panjang. Sebenarnya hatinya kesal, tapi ia sedang malas berdebat. Dengan berat hati ia pun menyusul masuk butik.
Tanpa banyak basa-basi, Elzhar langsung mengambil sebuah tanktop hitam simpel dan rok jeans mini. Ia menyerahkannya ke Azel dengan wajah puas.
“Ini. Coba ganti pake ini.”
Azel melotot. “Lo gila ya? Pake baju segini ke rumah orang tua lo? Ntar gue dikira—”
“Justru itu tujuannya, Zel.” Elzhar memotong kalimatnya, tatapannya penuh keyakinan. “Biar mereka nggak suka sama lo. Jadi nggak ada alasan buat nyokap gue maksa restuin kita.”
Azel menghela napas kasar. “Lo keterlaluan, L.”
Elzhar mengangkat bahu, seolah cuek. “Kalau nggak mau, berarti lo rela gue beneran dijodohin sama anak temennya nyokap gue.”
Azel mendengus lagi, wajahnya jelas menahan amarah. Setelah perdebatan singkat di ruang ganti, akhirnya ia keluar dengan pakaian pilihan Elzhar. Tanktop pas badan itu menonjolkan lekuk tubuhnya, sementara rok mini membuat kakinya terlihat lebih jenjang.
Elzhar yang semula duduk santai, spontan terdiam sejenak. Tatapannya tanpa sadar mengikuti setiap gerakan Azel. Tanktop itu membuat bagian dadanya sedikit terbuka, sementara rok jeans yang ketat menegaskan lekukan tubuh hingga ke belakang. Sekilas, ada sesuatu yang membuat Elzhar menelan ludah—seolah-olah bayangan ‘pacar pura-pura’ ini malah terlalu nyata.
“Ngapain lo liatin gue kayak gitu?” tegur Azel dengan nada jutek, memeluk dadanya refleks.
Elzhar tersadar, buru-buru menyembunyikan keterpesonaannya dengan senyum miring. “Heh, jangan geer dulu. Gue cuma lagi memastikan misi kita bakal berhasil. Dan… yeah, penampilan lo udah cukup bikin keluarga gue syok.”
“Cih, alesan.” Azel mendengus lagi, meski wajahnya memerah tanpa ia sadari.
“Bagus.” Elzhar tersenyum puas, menatap dari ujung kepala sampai kaki. “Sekarang lo lebih keliatan… menyebalkan.”
“Dasar pria ngeselin,” gumam Azel, lalu berjalan mendahului dengan wajah cemberut.
Namun, dalam hati kecilnya, ia sedikit gugup. Apa gue beneran siap tampil kayak gini di depan keluarganya?
Gerbang megah perlahan terbuka, menampilkan rumah besar bernuansa putih yang berdiri kokoh dengan pilar-pilar tinggi. Azel sampai tertegun, matanya berkilat penuh rasa takjub.
“Wah… rumahnya bagus banget,” gumamnya lirih, nyaris tanpa sadar.
Elzhar hanya melirik sekilas lalu menepuk pelan lututnya. “Siap ya, Zel. Ingat… tunjukin pesona lo.”
Azel mendengus singkat. “Hmm.”
Begitu turun, Elzhar mengisyaratkan agar Azel merangkul lengannya. Awalnya Azel menolak, tapi akhirnya ia terpaksa juga menyelipkan tangannya ke lengan pria itu.
Baru beberapa langkah, terdengar suara hangat menyambut.
“Heiii, cucu satu-satunya kesayangan Oma sudah datang!” seru Oma Sinta sambil memeluk Elzhar erat-erat.
“Baik, Oma. Gimana kabarnya? Sehat kan?” sahut Elzhar lembut.
“Sehat, sayang. Tapi susah sekali ya bertemu sama cucuku yang sibuk ini.”
“Maaf, Oma. Akhir-akhir ini aku memang padat banget di klinik. Oh iya, kenalin Oma, ini Azel… pacar aku.”
Azel tersenyum sopan. “Hai Oma, salam kenal. Aku Azel.”
Oma Sinta tersenyum, meski matanya sempat meneliti penampilan Azel yang cukup terbuka. “Senang bertemu denganmu, sayang. Sini, ayo duduk dulu.”
Belum sempat suasana mencair, terdengar suara nyinyir dari arah pintu.
“Wah, keponakanku sudah datang. Hmm… siapa tuh?” Tante Monic muncul dengan tatapan menelusuri Azel dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Ternyata Elzhar pintar juga cari pasangan.” Nada suaranya jelas-jelas menyindir.
Elzhar menahan kesal, sementara Azel tetap tersenyum manis. “Hai Tante, salam kenal. Aku Azel.”
Oma Sinta langsung memotong, “Monic, cepat panggilkan Rossa dan Brama. Bilang Elzhar sudah datang.”
Tak lama kemudian, Rossa dan Bram muncul. Rossa sempat menegang melihat pakaian Azel yang terlalu minim, sementara Bram hanya berdehem, matanya nyaris tak lepas dari baju Azel.
“Selamat malam, Om, Tante. Perkenalkan, saya Azel.” Ia lalu, dengan spontan, merangkul lengan Rossa penuh sok akrab. “Oh iya Tante, maaf banget ya kemarin aku nggak jadi datang. Soalnya Elzhar nggak ngizinin.”
Rossa jelas kaget dengan sikapnya yang terlalu berani. Tatapannya seketika menjadi dingin. Elzhar di sisi lain nyaris tak bisa menahan senyum puas melihat drama itu berjalan sesuai rencana.
Mereka pun duduk melingkar di meja makan.
“Kamu kerja di mana, Zel?” tanya Bram sambil masih melirik bagian dada Azel yang terbuka.
“Saya kerja di butik di mall, Om,” jawab Azel santai.
“Ohhh… kamu punya butik?” Tante Monic langsung menyambar dengan nada ketus.
“Bukan, Tante. Mana mungkin saya punya butik. Saya cuma karyawan biasa di sana.”
“Orang tua kamu kerja apa?” Bram kembali bertanya.
“Mereka nggak kerja, Om. Cuma punya Rumah makan kecil di pinggir kota.”
Hening sejenak. Lalu Rossa menyela, nada suaranya datar tapi tajam. “Sudah berapa lama kalian pacaran?”
Azel dan Elzhar saling pandang, tapi jawaban mereka meleset.
“Setahun,” jawab Elzhar.
“Lima bulan,” jawab Azel hampir bersamaan.
Semua orang terkejut. Azel sampai menggigit bibir, sementara Elzhar cepat-cepat menambal.
“Maksudnya… satu tahun lebih lima bulan.”
Tatapan Rossa semakin tajam. “Elzhar itu pewaris keluarga ini. Jadi, tidak sembarangan kami memilih pasangan untuknya. Kami harus lihat bibit, bebet, bobotnya.”
Azel hanya bisa menelan ludah. Senyumnya dipaksakan. “Tentu, Tante. Tapi kami masih muda. Belum kepikiran sejauh itu.” Ia terkekeh kecil, jelas-jelas untuk menutupi rasa tertekannya.
Rossa tak membalas, hanya matanya yang menusuk. “Dan kamu… sangat tidak sopan datang ke rumah ini dengan pakaian seperti itu.”
Azel terdiam sejenak. Lalu ia menghela napas. “Maaf, Tante. Mungkin gaya aku nggak sesuai selera Tante. Tapi aku benar-benar mencintai Elzhar.”
Elzhar menundukkan kepala, menutupi senyumnya. Dalam hati, ia puas. Bagus, Zel. Teruskan…
Oma Sinta menepuk meja, mencoba menenangkan suasana. “Sudah, sudah. Elzhar sudah lama nggak pulang. Biarkan dia makan dengan tenang.”
Elzhar yang sedari tadi memperhatikan, nyaris tidak bisa menahan tawanya. Ia tahu betul maksud ibunya. Dengan sengaja, ia menyikut Azel pelan sambil berbisik, “Tuh kan, misi lo berhasil. Baru duduk aja udah bikin suasana panas.”
Azel menoleh kesal, menatapnya tajam. “Apaan sih lo… bikin malu gue aja.”
Elzhar hanya nyengir puas, sementara Oma Sinta menepuk tangan Azel dengan lembut. “Nggak apa-apa, sayang. Kalau sama keluarga ini, anggap saja rumah sendiri. Santai aja ya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments