Kaleng minuman yang mengandung alkohol sudah di tangan. Anggasta sama saja seperti anggota singa yang lain. Meneguknya berharap bayangan tadi menghilang. Nyatanya tak seperti yang diinginkan.
"Kenapa enggak lu ungkapin?" Seseorang sudah berucap dengan membawa minuman soda.
"Setidaknya akan membuat hati lu plong."
Ya, dia Jeno Jatmika. Sahabat Anggasta sedari SMA. Hanya dia yang tahu tentang rasa yang dimiliki Anggasta kepada Bulan Noora. Lagi, Anggasta menolak.
"Melupakan itu butuh proses."
"Udah lima tahun, Angsa!" Jeno sedikit geram dan panggilannya pun otomatis akan berubah. "Harusnya lu udah bisa move on."
Tak ada yang keliru dari perkataan Jeno. Hanya saja Anggasta tak ingin membuat Bulan terbebani dengan perasaan yang dia miliki.
"Percaya sama gua, No. Nanti juga gua bisa lupain dia."
.
Untuk kesekian kalinya semesta mempertemukan dirinya dengan Bulan. Kali ini Bulan hanya menyapanya. Lalu, pergi. Senyum kecut melengkung di wajah Anggasta.
"Haidar pasti ngasih batasan. Dan gua gak akan membuat lu semakin terkekang nantinya. Itulah kenapa gua memilih jalan sunyi."
Haidar adalah lelaki yang menggandeng tangan Bulan Noora di acara semalam. Dia begitu beruntung karena dicintai Bulan Noora secara ugal-ugalan.
Dahi Anggasta mengkerut ketika melihat Bulan yang tak beranjak di saat makan siang tiba. Raut wajahnya pun teramat berbeda. Ada rasa iba, tapi logikanya lebih bekerja. Memilih pergi tanpa menyapa.
Anggasta memilih masuk ke kedai kopi. Kedua alisnya menukik tajam ketika melihat Haidar tengah berbicara disambungan telepon.
"Temui aku di kedai kopi dekat kantor kamu."
Ingin rasanya Anggasta pergi, tapi kopi sudah terlanjur dia pesan. Alhasil dia pun duduk anteng di kursi tak jauh di mana Haidar berada.
"Maafin aku, Mas."
Anggasta menghela napas kasar mendengar suara yang sangat dia kenali. Hatinya mendadak perih ketika suara Haidar terdengar.
"Kamu kan tahu aku itu paling enggak suka bawa perempuan ke acara pesta. Sekarang, kamu lihat! Semuanya lagi nyorot aku. Keluarga aku semakin mendesak supaya aku cepet nikahin kamu." Bulan hanya terdiam dan tertunduk dalam.
"Lain kali aku enggak akan begitu lagi." Lemah sekali ucapannya dengan suara yang sedikit bergetar.
"Capek aku lama-lama ngadepin kamu."
Anggasta mulai bangkit. Meninggalkan kopi yang belum sama sekali dia sentuh. Selama berteman dengan Bulan tak pernah sedikit pun dirinya membentak Bulan. Tapi, lelaki yang Bulan cintai malah memperlakukannya layaknya sesuatu yang tak berarti.
"Apa lu beneran bahagia, Lan?"
Pertanyaan itu yang berputar di kepala. Anggasta mencoba untuk acuh, tapi melihat Bulan yang bermuram durja membuat rasa tak tega mulai datang tanpa diminta. Namun, dia terus meneguhkan hati untuk tak masuk ke ranah pribadi orang yang nyatanya tak pernah dia lupa.
Di tengah tenangnya pikiran dan pekerjaan, perintah bapak Chief Operatoring Officer membuat Anggasta membuang napas berat.
"Saya sudah memilih salah satu karyawan direksi untuk menemani kamu meraih kerja sama yang besar ini."
Gyan menyerahkan sebuah foto kepada sang adik. Wajah terkejutnya tak mampu mengelabuhi singa jantan yang sedari tadi memperhatikan.
"Susun strategi yang bagus dan menjanjikan. Dan bawalah kabar baik untuk Wiguna Grup."
Bukan hanya Anggasta yang dibuat terkejut. Bulan Noora pun merasakan hal yang sama. Rekan seniornya mengatakan jika perusahaan selalu selektif dalam memilih orang untuk menyelesaikan pekerjaan di luar Kota dengan para petinggi.
"Kamu adalah karyawan beruntung yang bisa menemani Pak Anggasta. Jujur ya, dia itu emang ramah ke semua orang. Tapi, dia sangat sulit untuk didekati. Selalu menjaga jarak kepada bawahannya. Padahal, setahu kami dia itu belum punya pacar."
Mendengar cerita tentang Anggasta membuat bibir Bulan terangkat sedikit. Ada bahagia di lubuk hatinya karena akan bisa kembali dekat dengan lelaki yang masih dia anggap sebagai teman terbaik.
Beda dengan Anggasta yang tengah menatap langit kamar. Semakin hari semesta seakan terus mendekatkannya dengan Bulan. Padahal, dia tengah berjuang untuk meletakkan perasaan.
Anggasta beranjak dari tempat tidur dan sudah meraih kunci motor yang biasa digunakan ketika sekolah. Sapaan lucu dari kedua keponakannya yang ternyata terbangun dari tidur nyenyak membuat senyum Anggasta melebar.
"Mau ke mana?" Sang mama yang tengah bermain dengan Arsen serta Arlen sudah membuka suara.
"Tempat Jeno."
Sudah biasa Anggasta akan pergi ke tempat sehabatnya itu jika malam hari. Namun, pandangan berbeda Gyan tunjukkan. Menyadari hal itu Anggasta bergegas pergi karena dia tak ingin mendengar kata yang keluar dari bibir kakaknya.
Kenapa lu?"
Anggasta sudah merebahkan tubuh di atas kasur milik sang sahabat. Lengan kekarnya sudah menutupi mata. Jeno mulai duduk di sofa yang berada tak jauh dari tempat tidur.
"Bulan?" tembak Jeno secara langsung.
"Apa yang lu ketahui tentang hubungan Bulan dan Haidar?" Berkata tanpa membuka mata dan merubah posisi.
"Yakin mau dengar?"
Pasalnya Anggasta-lah yang meminta untuk tidak mendengar kabar tentang Bulan. Sekarang, tak Jeno sangka malah sekarang sang sahabatbmenanyakan tentang perempuan yang sebenarnya belum hilang dari ingatan.
"Haidar menerima Bulan bulan karena cinta, melainkan tuntutan orang tua."
Anggasta mulai menegakkan tubuh. Menatap Jeno yang mulai membeberkan fakta tentang hubungan Bulan dan Haidar.
"Soalnya keluarga Haidar berhutang Budi ke keluarga Bulan."
Dahi Anggasta mengkerut. Tatapannya pun semakin tajam seakan menginginkan info lebih lagi.
"Almarhum Bokap Bulan-lah yang membiayai sekolah Haidar sedari SMP sampai lulus kuliah."
Ketika ayah Bulan meninggal Anggasta masih berada di samping Bulan. Tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik pun.
"Apa itu yang membuat Haidar menerima cinta Bulan?"
"Maybe."
.
Di hari di mana Anggasta dan Bulan harus ke Bandung, ada sesuatu yang berbeda yang Anggasta lihat dari wajah Bulan. Sedikit membengkak seperti habis menangis.
"Kalau kamu enggak siap biar saya saja yang--"
"Saya siap kok, Pak."
Anggasta menoleh ke arah Bulan yang sudah menatapnya. Matanya mencoba menahan sesuatu yang ingin meluap. Pintu mobil penumpang belakang Anggasta buka. Tatapannya menyuruh Bulan untuk masuk. Diikutinya yang masuk dari arah pintu yang lain. Di mobil itu hanya ada mereka berdua. Sopir pun belum ada.
"Sesuatu yang ditahan itu enggak enak."
Anggasta mulai membuka suara dan membuat mata Bulan semakin nanar. Air mata semakin tak tertahan ketika Anggasta mulai menatapnya.
"Menangislah! Gua akan di sini sampai tangis lu reda."
Kalimat yang masih sama seperti SMA. Di mana Anggasta akan selalu setia menemani kesedihan Bulan.
"Gaf-fi--"
"Gua di sini L--"
Tubuhnya menegang ketika Bulan memeluknya dengan erat. Desiran yang masih sama kembali hadir. Isakan lirih membuat hatinya perih.
"Tuhan, salahkah aku jika mencintai milik orang lain? Bolehkan aku mengambilnya dari lelaki yang dia cinta?"
...*** BERSAMBUNG ***...
Aku cuma minta satu. Tolong komen... 🥺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Salim S
oh ayolah gagas jangan jadi cowok yg susah move on...dia hanya menganggap mu teman tidak lebih cewek itu hanya membutuhkan mu di saat dia sedang tidak baik baik saja, dengan kata lain dia tidak pernah memandang mu...pantang untukmu keluarga singa menjadi laki-laki yg hanya di manfaatkan....kaya ngga ada cewek lain aja, semoga alurnya tidak seperti yg aku bayangkan gagas yg mengejar s bulan bulan itu....maaf ya teh ngga rela kalau gagas sama tuh cewek....
2025-09-03
0
dika edsel
ada hati yg menunggumu pulang, ada hati yg menunggumu kembali, ada hati yg kosong sejak kau pergi...,noh..liat noh si agas dia masih tetap disana lan.. menunggumu..!! klo haidar gk bisa membuatmu bahagia,lepas saja.. laki-laki model marmut gitu dipertahanin.. ngapain..!! lepas aja..
2025-09-03
0
Yus Nita
cinta tau mveda kan mana yg tulus dan mana yg di paksakan.
owalah Bulan..
kan lbh baik di cintai dari padaencintai. rasa iri gak bisa di oaksa kan, merela kam itu lbh baik, wlu pun terasa sakit. bseperti yyg di radakan Angsa eh cop Anggasta 😁😁😁
2025-09-04
0