Pelayan datang membawa buku menu. Zamara langsung menyambutnya dengan senyum manis dan mata berbinar, seolah hari ini dunia benar-benar berpihak padanya.
“Saya pesan es cokelat sama nasi goreng kampung, ya,” katanya cepat, nyaris tanpa berpikir, seakan tak sabar menyambut momen yang telah lama ia bayangkan.
Matanya lalu melirik ke arah ustadz yang masih diam menatap buket bunga kuning. Wajah lelaki itu seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Ustadz mau pesan apa?” tanyanya sambil menyodorkan buku menu, nada suaranya ringan, tapi ada secercah harap di sana.
Yassir tersentak pelan dari lamunannya, seperti baru tersadar akan keberadaan pelayan dan gadis yang duduk di depannya. “Saya air putih hangat aja, deh, karena udah pesan kopi,” jawabnya singkat, datar, namun tidak dingin.
Zamara tertawa kecil, tawanya seperti semilir angin sore yang menyegarkan. Ia memutar matanya pelan, tak bisa menyembunyikan geli yang tumbuh dari candanya sendiri.
“Yakin cuma air putih? Jangan-jangan takut salah pilih, ya?”
Yassir tersenyum tipis, tapi tak membalas candaan itu. Ia hanya menunduk sedikit, menyembunyikan sesuatu yang mulai tumbuh diam-diam di dadanya.
Setelah pelayan pergi, suasana jadi lebih santai. Zamara menyandarkan punggung ke kursi, tangannya memutar sedotan plastik kecil sambil tersenyum geli sendiri. Pipinya memerah oleh semangat yang tak biasa.
“Ustadz tahu nggak, kenapa saya pesan nasi goreng kampung?” ujarnya sambil menatap lurus ke arah lelaki di depannya.
Yassir menggeleng pelan. “Kenapa tuh?” tanyanya, kini mulai menikmati percakapan ini meski masih menjaga jarak.
“Soalnya saya juga orang kampung. Tapi cita-citanya pengen jadi istri orang yang ilmunya tinggi,” jawabnya polos, tanpa basa-basi, seperti anak kecil yang jujur tentang mimpinya.
Yassir mengerjapkan mata, nyaris tersedak napas sendiri. Ia hanya bisa menunduk, menahan tawa yang nyaris pecah. Mulutnya membentuk senyum yang tak biasa.
Zamara makin semangat melihat reaksi itu. Ia menyandarkan dagu di tangan, lalu berkata pelan, lirih seperti pengakuan, “Ustadz tahu nggak kenapa saya suka bunga kuning?”
“Kenapa lagi tuh?” balas Yassir, mulai terbiasa dengan gombalan aneh tapi jujur itu. Ada sesuatu dari caranya bicara yang tak bisa ia tolak.
“Soalnya kalau saya kasih bunga merah, itu artinya cinta. Tapi kalau yang kuning itu maksudnya saya berharap, walaupun belum tentu diterima, setidaknya diperhatiin,” ujarnya setengah berbisik, matanya redup namun hangat.
Yassir hanya bisa menatapnya, terdiam. Dalam hati, ada gelombang halus yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Gadis ini memang beda. Ada yang aneh, tapi juga tulus. Nekat, tapi bukan tanpa arah.
“Saya tahu, Ustadz pasti kaget. Mungkin juga bingung, kenapa ada perempuan tiba-tiba datang bawa bunga, ngajak nikah pula,” kata Zamara pelan, senyumnya menyusut perlahan.
“Tapi saya cuma pengen jujur. Kalau rasa ini saya pendam terus, bisa-bisa nanti saya nikahnya malah sama yang nggak saya kenal. Hanya karena disuruh atau dipaksa keadaan. Padahal hati saya udah nempel ke Ustadz dari lama,” imbuhnya sambil menatap jendela, seperti berbicara pada bayangannya sendiri.
Yassir meremas jari-jarinya sendiri di bawah meja. Tak tahu harus berkata apa. Tapi yang pasti, perempuan ini baru saja mengubah cara pandangnya dalam waktu singkat. Dan mungkin, jawaban dari doanya selama ini, sedang duduk tepat di depannya.
Belum lama Zamara menyelesaikan gombalannya yang terakhir, tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah pintu masuk kafe.
Seorang perempuan muda berhijab rapi, berparas tenang, mendekat ke meja mereka dengan senyum tipis yang sulit ditebak maksudnya.
“Assalamu’alaikum, Ustadz,” sapanya ramah sambil melirik ke arah Zamara.
Yassir berdiri sebentar, menjawab salam, lalu mempersilakan duduk. Zamara pun tersenyum sopan, meski hatinya mulai gelisah melihat cara pandang perempuan itu. Ada gurat cemburu yang disembunyikan dalam tatapan santun.
“Aku nggak ganggu, kan? Soalnya tadi di grup kajian udah ramai kabar kalau Ustadz dilamar dokter muda di depan masjid. Dan ternyata memang bener ya?” ujarnya sambil melirik tajam.
Zamara menegakkan punggung. Ia mencoba tetap tenang meski nada perempuan itu terdengar mengandung sindiran halus.
“Ustadz, maaf, tapi aku cuma khawatir,” ucap perempuan itu sambil memainkan ujung jilbabnya. “Secara, ya dia dokter muda. Karier bagus, masa depan jelas. Tapi kok tiba-tiba nekat melamar? Jangan-jangan ada maksud lain yang belum Ustadz tahu.” ujarnya Aisyah.
Yassir terdiam, matanya bergeser ke arah Zamara yang mulai menunduk, namun tetap tenang.
Zamara mengangkat wajah, senyumnya masih ada, meski jelas terselip getir.
“Kalau saya punya maksud tersembunyi, saya nggak mungkin datang sendirian, Mbak. Saya juga nggak akan kasih bunga dan duduk di sini dengan hati terbuka,” katanya pelan.
Perempuan itu membalas dengan senyum tipis. “Tapi tetap aja, kamu sadar nggak kalau caramu melangkah ini terlalu berani?”
Zamara menatapnya langsung. “Berani bukan berarti nggak sopan. Saya nggak melangkahi siapa-siapa. Saya cuma lebih dulu jujur. Karena jujur lebih baik daripada pura-pura alim tapi penuh niat sembunyi,” ujarnya mantap.
Suasana mendadak sunyi. Hanya suara sendok dan cangkir dari meja lain yang terdengar. Ustadz Yassir akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas.
“Terima kasih sudah mengingatkan. Tapi setiap orang punya cara masing-masing dalam menyampaikan niat baik. Dan saya belum mengambil keputusan. Saya cuma ingin mengenalnya lebih dalam, bukan menghakimi dari luar.”
Perempuan itu tampak terdiam, lalu mengangguk pelan. Ia berdiri dan pamit dengan kalimat yang tetap terdengar manis, tapi dingin.
Setelah ia pergi, Zamara menatap gelas es cokelatnya yang sudah mencair setengah.
“Nggak papa,” katanya lirih, “Saya sudah siap dengan segala risiko sejak pertama kali melangkah.”
Yassir menatapnya lama. Dalam hatinya, semakin jelas niat gadis ini bukan main-main.
“Kenapa banyak banget halangannya, aku harus melakukan segala cara agar aku jadi menikah dengan ustadz Yassir dalam waktu seminggu dan sisa enam hari dari sekarang,” batinnya Zamara sembari tersenyum simpul.
Di luar kafe, langkah perempuan tadi melambat. Sepatu hak yang dipakainya menjejak pelan di trotoar, namun degup hatinya berlari tak karuan. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya penuh gelisah.
Ia berhenti di dekat mobilnya, menunduk sambil menggigit bibir sendiri. Matanya kembali mengingat senyum Zamara, suara lembutnya, dan keberanian gadis itu yang dengan tenang menyodorkan buket bunga di depan banyak orang.
“Perempuan itu mendahuluiku...” gumamnya lirih, nadanya seperti menusuk diri sendiri.
Tangannya terkepal pelan.
“Sial,” ucapnya pelan, “Kenapa harus dia yang duluan berani?”
Matanya memandang bayangan sendiri di kaca mobil. Refleksi yang kembali mempertanyakan harga dirinya.
“Memang dia cantik, dokter muda pula. Tapi apa cuma karena itu Ustadz Yassir harus goyah?”
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menatap langit yang mulai gelap.
“Aku lebih dulu hadir di tiap kajian. Aku selalu mendukung gerak dakwahnya. Selalu duduk di barisan depan, bahkan kadang bantu urus acara. Tapi kenapa aku cuma jadi penonton?” ujarnya Aisyah getir.
Pundaknya turun perlahan seperti kehilangan daya. Tapi matanya tetap menyala.
“Aku lebih pantas,” bisiknya. “Aku yang seharusnya di sampingnya, bukan dia yang datang tiba-tiba bawa bunga dan kata manis. Aku yang tahu perjuangan Ustadz sejak awal.”
Ia membuka pintu mobil, lalu duduk sambil menunduk. Air mata nyaris jatuh tapi ia tahan.
“Aku nggak akan tinggal diam,” ucapnya mantap, suaranya rendah namun penuh bara. “Kalau dia datang dengan keberanian, aku akan datang dengan pembuktian.”
Zamara masih menatap gelas di depannya, jari-jarinya mengusap lembut embun di sisi kaca. Ia berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya seperti ada duri kecil yang menusuk.
Ia mengangkat wajah, lalu menatap Ustadz Yassir yang terlihat agak bingung.
“Maaf, Ustadz…” katanya pelan.
Yassir menoleh cepat. “Kenapa minta maaf?”
Zamara menarik napas sebentar, lalu menatap lurus, tak ingin bersembunyi di balik senyum lagi.
“Tadi perempuan itu siapa, ya?” tanyanya hati-hati.
Yassir terdiam sesaat, lalu menjawab jujur, “Dia teman lama di komunitas dakwah. Sering bantu di acara kajian, namanya Aisyah Nurhikmah.”
Zamara mengangguk pelan, meski dadanya kembali sesak.
“Kelihatannya dia menyayangi Ustadz,” ujarnya pelan, mencoba terdengar biasa saja.
Yassir tak langsung menjawab. Ia menyentuh gelas di depannya, lalu berkata dengan suara pelan, “Saya nggak pernah janji apa-apa sama dia. Tapi saya tahu mungkin selama ini dia punya rasa yang nggak pernah diungkap.”
Zamara mengangguk sekali lagi. Kali ini lebih tenang. “Saya ngerti, Ustadz.”
Ia menghela napas panjang. “Saya nggak datang untuk rebut siapa-siapa. Saya cuma pengen jujur. Kalau ternyata saya datangnya telat, ya itu risiko. Tapi kalau Ustadz ragu karena perempuan tadi saya rela mundur,” ujarnya, kali ini suaranya lebih berat.
Yassir menatapnya lama. Sorot mata Zamara bukan sekadar keberanian. Tapi ketulusan yang tidak minta dikasihani.
“Zamara, saya belum ambil keputusan. Tapi yang saya tahu, kamu datang bukan dengan cara biasa. Dan itu membuat saya berpikir ulang tentang banyak hal,” katanya perlahan.
Zamara tersenyum kecil. “Mungkin ini memang bukan soal siapa duluan datang. Tapi siapa yang paling tulus menunggu.”
Ustadz Yassir menunduk. Tangannya menggenggam kuat gelas yang belum disentuh sejak tadi.
Beberapa detik seolah jadi menit yang panjang. Hingga akhirnya ia bersuara, pelan tapi mantap.
"Aku belum tahu jawabannya sekarang, tapi aku nggak mau nolak kamu. Karena aku lihat ada cahaya dalam niatmu. Dan aku mau jalanin proses ini dengan serius, pelan-pelan tapi insya Allah, aku setuju untuk kenal kamu lebih jauh sebagai calon istri, bukan sekadar pasien yang jatuh hati pada ustadznya."
Zamara menahan napasnya. “Berarti aku nggak ditolak?” bisiknya.
Yassir menggeleng. “Justru aku menghargai keberanianmu. Tapi kita jalanin sesuai porsinya. Biar Allah yang tuntun.”
Zamara menyeka sudut matanya.
“Kalau begitu boleh nggak aku anggap ini kayak bunga kuning yang diterima balik?”
Yassir tersenyum. “Kalau gitu aku simpan bunganya, kamu simpan doanya.”
Sebelum berpisah, ustadz Yassir berkata, “Datanglah ke alamat yang pernah aku berikan, aku pasti akan menjawabnya malam ini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
2025-08-30
1