POV : Diajeng
Namaku Diajeng Rahayu, aku anak dari seorang pedagang batik di pasar Klewer. Sedangkan ibu ku dulu seorang sinden karawitan. Namun, karena sebuah kecelakaan, ibuku meninggal. Sedangkan kedua kakakku sudah pada menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Kedua kakakku laki-laki, aku anak perempuan sendiri dikeluarga kecil bapak. Kedua kakakku sudah seperti anak kembar, karena usia mereka tidak jauh beda, hanya selisih satu tahun, membuat mereka kakak beradik tapi berasa teman.
Kakak pertamaku sudah menikah saat lulus Sarjana, dan mengikuti istrinya yang menjadi anak tunggal. Dia pun tinggal dan menetap di Lampung. Sedangkan kakak keduaku menikah belum lama ini, dia menikah tepat di hari ulang tahunku yang ke 27. Dia menikah dengan gadis Jakarta, anak seorang pengusaha kain batik di sana. Sehingga kakakku yang kedua juga mengikuti istrinya untuk tinggal di rumah mewah di pusat kota. Karena istrinya tidak terbiasa dengan kehidupan kampung, meskipun sebenarnya dia bisa, tetapi kakakku tak tega, lagipula kakakku juga bertugas di sana.
Semenjak hanya tinggal dengan bapak, aku jadi fokus pada bapak, dan fokus pada karierku. Karena bapak adalah seorang pedagang yang kerja keras, beliau jarang ada di rumah, kecuali kalau malam. Sehingga sedikit sekali waktuku bersama bapak sejak kecil. Karena aku juga bukan tipe anak rumahan, maka aku juga jarang di rumah. Aku suka mengikuti banyak kegiatan di luar rumah, seperti mengikuti organisasi, komunitas dan lainnya.
Karena kesepian, aku mencari sandaran hati sejak SMP. Aku tipe gadis yang setia, seumurku ini, aku berpacaran hanya 2 kali. Dengan waktu yang bisa dibilang lama. Pacarku waktu SMP kelas 3, bisa bertahan sampai kami Lulus SMA. Putusnya juga karena kami mulai LDR, karena dia harus kuliah ke luar kota. Dan akhirnya, dia menemukan kenyamanan di sana dengan wanita lain.
Pacarku yang kedua, adalah dia yang kini menjabat sebagai kepala sekolahku di tempat aku mengajar sekarang. Dia kakak tingkatku di bangku kuliah, kami saling kenal di Organisasi Mahasiswa, Badan Eksekutif Mahasiswa, atau kalau anak mahasiswa menyebutnya sebagai BEM. Dia presiden mahasiswa, dan akulah sekretarisnya. Karena seringnya komunikasi dan bertatap muka. akhirnya witing tresno jalaran soko kulino. Akupun menjadi target percintaannya, dan kami resmi jadian di bulan Oktober, tepat disaat kami mengurusi perkemahan mahasiswa baru.
Tiga tahun perjalanan cinta kami, sekalipun dia telah lulus satu tahun lebih dulu dariku, tetapi aku dan dia masih menjalin hubungan baik. Diapun melanjutkan study S2 nya di kampus yang sama denganku, sehingga kami masih bisa selalu bersama. Hingga dia direkrut menjadi seorang guru di salah satu yayasan milik saudaranya, akupun masih setia bersamanya. Bahkan, disaat aku PPL dan Penelitian, dia menawarkan sekolahannya untuk dijadikan objekku saat itu. Dengan senang hati aku menerimanya.
Berkat bimbingan darinya, akupun bisa lulus sarjana dengan nilai baik, dan bisa mendapatkan beasiswa S2, di kampus swasta yang lain. Kami sama-sama menjalani pendidikan S2, dan kami saling bantu untuk mengerjakan tesis, dan diapun lulus dengan nilai baik. Tak menunggu waktu lama, dia dipercaya untuk menjadi wakil kepala sekolah disana.
Setelah lulus S1, aku ditawarinya untuk bergabung di sekolahannya, sambil menjalankan kuliah S2 ku. Setelah lulus S2, aku langsung diangkat menjadi pegawai tetap di sekolahan dengan tetap berusaha profesional meski kami ada hubungan khusus.
Menjalani hari-hari bersama di sekolah yang sama, dan sering bersama membuatku merasa nyaman dengannya dan termanjakan olehnya. Merasa aku butuh dia banget, dan ga tau aku bakal bisa bertahan tidak jika tanpa dia.
"Ajeng." sapaan yang sudah beberapa hari tak kudapati, hari ini telah menyapaku kembali. Tetapi tidak dengan panggilan dek, ataupun sayang. Ku kuatkan kepalaku menoleh ke arahnya, dan bersitatap dengannya yang berwajah datar, lebih condong ke dingin.
"Saya harap, kamu bisa hadir." katanya sambil menyodorkan sebuah kertas bercorak bertuliskan dua nama tertulis indah di sampul depan.
"Adnan dan Mika" batinku saat menatap kertas undangan pernikahan yang masih berada di tangan kanan pria yang dulu mewarnai hari-hariku.
Tanpa kata, ku terima undangan itu, dan hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban atas permintaannya. Suaraku tercekat di kerongkongan, darahku berdesir hangat di seluruh tubuh. Kepala mendadak memanas, hingga membuat ujung mataku ingin mengeluarkan sesuatu dari dalamnya, namun sebisa mungkin kutahan.
"Saya permisi." katanya lagi setelah undangan berhasil berpindah tangan ke tanganku.
Aku terpaku, menatap undangan itu, masih tak percaya. Ingin ku sobek undangan itu di tempatku duduk kini, tetapi aku masih punya etika. Aku berusaha menahan gejolak dalam dadaku, hingga tak bisa kupungkiri, tanganku spontan meninju angin. Ingin mengamuk, tetapi kepada siapa. Akhirnya kuputuskan mengungsi ke kamar mandi, tidak untuk mencari lawan, tetapi karena perutku terasa mules karena masih shok atas undangan yang kuterima tadi.
Setelah bel perpulangan berbunyi, aku segera meraih tasku, dan membereskan segala berkasku di meja. Aku berjalan terburu sambil memberi kabar pada sahabatku, untuk mengajaknya makan siang bersama.
"What?" Suara Diana menggelegar di separo ruangan rumah makan tempat kami mengisi amunisi yang tak jauh dari kampus tempatku nyambi menjadi dosen di sana.
"Ini, serius, Jeng?" tanya Diana lagi masih tak percaya dengan undangan yang belum lama kuterima dari mantan kekasihku.
Aku hanya mengangguk sambil terus mengeluarkan kristal dari kedua bola mataku yang semakin sayu dan bengkak, karena sejak tadi menangis. Kedua tanganku sibuk mengusap ingus bening yang tak kunjung bersih dari kedua lubang hidungku.
"Fix, kalau ini sih, kamu kudu hadir ke sana, Jeng." kata Diana dengan menggebu gebu, tangan di lipat di pinggangnya yang awet ramping sekalipun sudah melahirkan dua jagoan.
"Tapi aku ga sanggup, Di. Lihat undangannya aja aku udah lemes, apalagi lihat mereka bersanding, hiks hiks." jawabku masih dengan sisa sisa tangis yang menyebalkan.
"Bisa, kamu harus bisa Jeng. Pokoknya kamu harus datang, sukur sukur kamu ga sendiri." kata Diana.
"Maksudmu?"
"Kamu harus berangkat ke acara itu, bersama kekasih barumu." usul Diana.
"Kamu nih, ngawur! Selama ini aku ga pernah deket sama cowok, masa tau tau jalan sama cowok?" protes Diajeng.
"Coba aja dulu." kata Diana terus optimis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Punya Impian
kedepan nya ngk usah ada lebay pake drama nangis2 kak
2025-08-30
1
Punya Impian
gk gitu' bedmood aj bacanya klo gamon nya kelamaan' apalagi klo ud punya pasangan' pasangan nya siapa yg di pikirin dan di tangisin siapa😮💨
2025-08-31
1