BAB 4 TEROR LEAK Part 4

Kertas itu jatuh dari tangan Bagus, terbawa angin malam yang tiba-tiba berembus terasa menusuk tulang. Kalimat yang tertulis di dalam kertas itu, yang berbunyi, "Dia adalah milik kami. Kau berikutnya." terus berputar-putar di kepalanya, mengusik ketenangan yang selama ini dia pertahankan dengan mengedepankan logika dan nalar. Ini bukan lagi mimpi buruk atau halusinasi yang bisa diabaikan. Ini adalah ancaman nyata, datang dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan biasa atau logika.

Dengan tangan gemetar, Bagus memungut kembali kertas itu yang sudah tercecer di halaman rumah Marni. Ia memeriksa kertas itu dengan seksama. Permukaannya kasar, seperti kertas daur ulang tradisional yang dibuat dari serat tumbuhan. Tinta hitam pekat yang digunakan untuk menulis berbau aneh. Bau itu campuran antara abu, tanah basah, dan sesuatu yang mengingatkannya pada dupa yang terbakar terlalu lama.

Tulisan tangan di kertas itu tidak rapi, seperti ditulis dengan terburu-buru atau oleh tangan yang tidak stabil, mungkin gemetar karena amarah atau rasa lapar yang bukan berasal dari perut.

Bagus menoleh ke arah pintu kamar Marni. Haruskah dia membangunkan gadis itu?

Tapi mengingat wajah lelah yang sering terpancar di sana, wajah lelah setelah seharian mencari jejak sang Ayah yang hilang, Bagus mengurungkan niatnya. Ada rasa tidak tega, dan juga rasa malu. Bagaimana caranya dia menjelaskan bahwa dirinya, yang selama ini skeptis terhadap hal-hal gaib, kini merasa ketakutan hanya karena secarik kertas?

Bagus memilih untuk berjaga. Duduk di beranda, bersandar di pintu kamar Marni. Dengan senter kecil di tangannya yang dia genggam erat seperti senjata terakhir.

Malam itu terasa panjang dan sunyi. Setiap kali suara jangkrik berhenti mendadak, atau gemerisik daun terdengar dari arah hutan, Bagus waspada dan menyalakan senter.

Saat dia melihat gerakan daun melambai, pikiran Bagus pun melayang ke masa lalu, ke ingatan tentang ibunya yang selalu melarang Bagus untuk datang ke Banjaran.

Ada rahasia yang disembunyikan, terutama tentang ayahnya. Kenapa ibunya begitu keras menentang keinginannya untuk meneliti budaya Leak? Apakah ayahnya juga pernah menerima kertas seperti ini? Apakah ketakutan ibunya berasal dari pengalaman nyata?

Saat fajar mulai menyingsing, Bagus tertidur di tempat dia terduduk, tubuhnya lelah karena berjaga semalaman. Dia terbangun oleh sentuhan lembut di pundaknya. Marni berdiri di hadapannya, wajahnya penuh dengan rasa heran dan kekhawatiran.

"Mas Bagus? Kamu tidur di sini semalaman?" tanya Marni pelan.

Bagus mengusap matanya yang terasa berat, lalu teringat akan kertas itu. Dia menyodorkan kertas itu pada Marni. "Ini... aku temukan di depan pintu kamarmu tadi malam." ucapnya.

Marni membaca tulisan di kertas itu. Seketika darah berhenti mengalir dari wajahnya, meninggalkan warna pucat pasi. Tangannya gemetar saat memegang kertas itu. "Ini tulisan... tulisan Balian Rawa," bisik Marni nyaris tak terdengar.

"Balian Rawa? Siapa dia?" tanya Bagus, penasaran sekaligus cemas.

"Dia dulu adalah dukun yang sangat kuat. Tapi dia memilih jalan gelap. Dia menjual jiwanya untuk menjadi Leak yang lebih kuat dari Leak yang lain. Mang Dirga bilang, jiwanya sekarang terjebak di antara dua dunia, menangis darah karena dosa yang tak bisa ditebus." terang Marni sambil menunduk.

Marni kemudian menatap Bagus dengan sorot mata yang dalam. "Dia tertarik pada orang yang tidak percaya. Karena ketidak-percayaan adalah celah yang mudah ditembus."

Bagus terdiam. Semua penjelasan itu terasa seperti potongan-potongan puzzle yang mulai menyatu. "Jadi ini bukan lelucon," gumamnya, akhirnya menyerah pada kenyataan yang selama ini dia tolak. "Leak itu nyata."

Marni mengangguk pelan. "Dan mereka menginginkan saya. Sejak ibu meninggal, mereka selalu menginginkan saya." Suara gadis itu bergetar. "Ibu saya... dia bukan wanita biasa. Dia adalah Leak Warisan terkuat di generasinya. Tapi dia berusaha melawan takdir. Ia menikah dengan ayah, berusaha hidup normal. Itu yang membuatnya... Menghilang."

Bagus shock. Jadi, Marni adalah keturunan Leak? Itu menjelaskan banyak hal, terutama pemahamannya tentang dunia gaib, peringatan Mang Dirga, dan mengapa Leak lain mengincarnya. Darah memanggil darah. Dan darah Marni adalah darah yang dicari.

"Kita harus segera memberitahu Mang Dirga," usul Bagus, suaranya mantap.

Mereka bergegas menuju rumah Mang Dirga, yang terletak di tepi hutan. Rumah itu sederhana, berdinding anyaman bambu dan beratapkan ijuk, namun terasa hangat dan penuh aura yang tak bisa dijelaskan. Sang dukun tua itu sepertinya sudah menunggu kedatangan mereka.

Mang Dirga menerima kertas dari Marni, dia mengamatinya sejenak, lalu melemparkannya ke dalam tungku api kecil. Kertas itu terbakar dengan api berwarna hijau sesaat sebelum menjadi abu.

"Balian Rawa sudah memulai permainan," kata Mang Dirga, suaranya berat. "Dia yang mengambil Wayan. Dan sekarang dia ingin Marni, untuk melengkapi kekuatannya di bulan purnama berikutnya."

"Kenapa harus Marni?" tanya Bagus.

"Karena darah ibunya. Jika Leak biasa seperti prajurit, maka Leak dengan darah murni seperti Marni bisa menjadi ratu. Dan Balian Rawa ingin mengendalikan Marni setelah dia menjadi ratu." Mang Dirga menatap Marni dengan penuh kasih. "Aku berjanji pada ibumu untuk menjagamu."

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Bagus, merasa tidak berdaya.

"Kita harus menemukan di mana Balian Rawa menyembunyikan Wayan. Jika nyawa Wayan sudah diambil, maka semuanya akan sia-sia." Mang Dirga mengambil sebuah peta tua yang digambar di atas kulit kayu. "Ada sebuah tempat di dalam hutan, sebuah gua keramat yang disebut Gua Miris. Tapi untuk masuk ke sana, kita butuh sesuatu yang bisa menuntun. Sesuatu yang masih memiliki ikatan dengan Wayan."

Marni tiba-tiba teringat sesuatu. "Ayah punya pisau tradisional. Tiuk. Dia selalu membawanya. Itu adalah pusaka dari kakek."

"Bagus," kata Mang Dirga. "Pusaka keluarga bisa menjadi penuntun. Bawa pisau itu besok malam. Kita akan melakukan Ngejuk Bayang, yaitu prosesi memanggil bayangan Wayan yang akan menuntun kita."

Mendengar rencana itu, Bagus merasa ngeri. Ini sudah melampaui batas penelitiannya. Dia datang ke Banjaran untuk menulis tesis, bukan untuk menghadapi makhluk gaib atau kutukan leluhur. Tapi ketika dia melihat mata Marni yang penuh harap dan kecemasan, dia tahu kalau dirinya tidak bisa mundur. Bagus telah menjadi bagian dari cerita ini, mau tidak mau Bagus memang harus membaur di cerita ini.

"Baik," kata Bagus, suaranya lebih berani dari yang dia duga. "Aku akan ikut."

Mang Dirga tersenyum tipis. "Kepercayaanmu adalah langkah pertama. Tapi hati-hati, anak muda. Begitu kau memasuki dunia mereka maka tidak ada jalan untuk kembali menjadi orang yang sama."

Saat mereka berjalan pulang, Bagus menyadari perubahan dalam dirinya. Rasa takut masih ada, tapi kini bercampur dengan tekad yang tumbuh dari dalam. Bagus melihat Marni berjalan di sampingnya, dan untuk pertama kalinya, dia tidak hanya melihat seorang gadis desa yang misterius, tapi seorang pejuang yang berusaha melawan takdir kelamnya.

Dan entah kenapa, Bagus ingin berjuang bersama gadis itu. Bukan sebagai peneliti, tapi sebagai seseorang yang akhirnya menemukan alasan untuk percaya...

*

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!