Bab 4 - Kehangatan Baru

Pagi pertama Celin di rumah Bagaskara dimulai dengan kicauan burung dari halaman luas yang dipenuhi pohon rindang. Tirai kamarnya bergoyang lembut tertiup angin. Ia bangun perlahan, matanya masih berat, tapi bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

Boneka kelinci lusuh yang selalu ia peluk masih setia berada di pelukannya. Celin menoleh ke samping, mendapati Arini masih terlelap di sebelahnya. Rambut panjang Arini terurai di bantal, wajahnya terlihat damai.

Celin mengedip pelan, lalu berbisik, “Mama…”

Kata itu mengalir begitu saja, seakan sudah lama ia simpan dalam hati. Ia lalu beringsut mendekat, menyentuhkan dahi mungilnya ke bahu Arini. Sentuhan itu membangunkan sang ibu angkat.

Arini membuka mata, sedikit terkejut, lalu tersenyum hangat. “Pagi, sayang.”

Celin terkikik kecil. “Pagi, Mama.”

Dua kata sederhana itu lagi-lagi membuat hati Arini bergetar. Ia segera mencium pipi Celin. “Ayo kita siap-siap, hari ini Mama mau kenalin Celin sama keluarga besar.”

Mata Celin berbinar penuh penasaran. “Keluarga… besar?”

Arini mengangguk sambil membetulkan rambut anak itu. “Iya. Ada Oma, Opa, tante, om, dan sepupu-sepupu. Semua pasti seneng banget ketemu Celin.”

 

Siang harinya, rumah utama keluarga Bagaskara ramai. Biasanya, pertemuan keluarga hanya digelar pada momen khusus, tapi kali ini semuanya datang hanya karena satu alasan: menyambut Celin.

Begitu mobil Arini dan Bagas memasuki halaman besar dengan air mancur di tengahnya, Celin menempelkan wajah mungilnya ke jendela, matanya membesar melihat bangunan megah itu.

“Rumah… istana?” bisiknya polos.

Bagas terkekeh. “Bukan, sayang. Ini rumah Opa sama Oma.”

Begitu pintu mobil dibuka, keluarga besar sudah menunggu di teras. Oma Ratna, wanita anggun dengan rambut beruban tapi terawat, langsung mendekat. Begitu matanya jatuh pada Celin, ia tersenyum lebar.

“Inikah cucu baru Oma?” tanyanya penuh semangat.

Arini menunduk ke arah Celin. “Salim dulu sama Oma, sayang.”

Celin ragu sejenak, lalu perlahan meraih tangan Oma Ratna, menempelkannya ke kening mungilnya. “Oma…” suaranya lirih.

Oma Ratna langsung menitikkan air mata. Ia meraih Celin ke dalam pelukannya. “Ya Allah, manis sekali anak ini. Mulai sekarang, kamu cucu Oma, ya. Jangan takut, ada banyak yang sayang sama kamu.”

Di sampingnya, Opa Pranoto yang biasanya terlihat tegas, justru tersenyum lembut. Ia mengelus kepala Celin. “Cucu Opa sekarang tambah satu. Kamu harus jadi anak yang kuat, ya.”

Celin hanya mengangguk pelan, matanya berbinar melihat begitu banyak orang yang tersenyum padanya.

Para tante dan om ikut bergantian mendekat. Ada yang mencubit pipinya pelan, ada yang memuji boneka kelincinya. Sepupu-sepupu yang masih kecil juga penasaran, langsung mengajak Celin bermain ke halaman.

Arini menatap pemandangan itu dengan mata berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Bagas erat-erat. “Mas, lihat… dia nggak sendirian lagi.”

Bagas tersenyum, mengangguk. “Aku janji, Arin. Kita akan buat dia bahagia.”

 

Malam itu, keluarga besar makan malam bersama di ruang makan yang panjang dengan meja kayu jati mengkilap. Celin duduk di samping Arini, terlihat canggung saat melihat begitu banyak makanan terhidang.

Ada ayam panggang, sup hangat, tumisan sayur, hingga puding kesukaan anak-anak. Celin menunduk, ragu mengambil apa pun.

Arini meraih sendok kecil, menyendokkan nasi ke piring Celin. “Ini buat Celin.”

Oma Ratna menambahkan sepotong ayam. “Coba ini juga, Nak. Enak sekali.”

Celin melirik Arini, seolah meminta izin.

Arini tersenyum menenangkan. “Coba, sayang. Itu kesukaan Mama juga.”

Perlahan, Celin mencicipi. Matanya langsung berbinar. “Enak!” serunya polos.

Semua orang tertawa hangat. Sejak itu, suasana makan malam dipenuhi tawa, terutama saat Celin menceritakan dengan bahasa sederhana tentang kelincinya yang katanya “nggak suka makan ayam.”

Malam itu, Celin berhasil mencuri hati seluruh keluarga besar.

 

Hari-hari berlalu. Celin mulai terbiasa dengan kehidupan barunya. Ia punya kamar sendiri, mainan baru, tapi tetap saja boneka kelinci lusuh itu tak pernah ia lepaskan.

Arini mulai memperhatikan sesuatu. Celin bukan hanya cepat tanggap, tapi juga punya daya ingat luar biasa. Suatu pagi, ketika Arini lupa meletakkan kunci mobil, Celin menunjuk meja sudut di ruang tamu.

“Kunci… di sana,” katanya polos.

Padahal Arini yakin ia tak pernah memberitahu Celin.

Bagas yang mendengar hanya bisa terkekeh. “Anak ini memang istimewa.”

Tak hanya itu, Celin juga cepat sekali belajar membaca gambar huruf. Dalam beberapa minggu saja, ia sudah bisa mengenali beberapa huruf alfabet.

“C… E… L… I… N,” ia mengeja perlahan saat melihat namanya ditulis Arini di buku gambar.

Arini terkejut sekaligus bangga. “Pintarnya anak Mama!”

Celin tersenyum lebar. “Nama aku.”

"Iya itu nama Celin yang cantik" ujar Arini

Celin menatap Arini dengan senyumannya, "mama juga cantik"

Arini yang mendengar itu sangat terharu lalu memeluknya dengan sayang, Bagas mendekati mereka,

"Wah curang papa gak di peluk ya" ujar Bagas dan mereka pun tertawa bersama

Waktu terus berjalan. Bulan berganti bulan, Celin tumbuh semakin sehat dan cerdas. Kehadirannya membawa kebahagiaan bukan hanya bagi Arini dan Bagas, tapi juga seluruh keluarga besar Bagaskara.

Bersambung…

Terpopuler

Comments

🍃🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana§𝆺𝅥⃝© 🦂🍃

🍃🦂 ≛⃝⃕|ℙ$ Nurliana§𝆺𝅥⃝© 🦂🍃

Celin na ga dikasih adik thor

2025-08-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!