Kenyataan Pahit

Nania reflek mendorong tubuh pria itu dengan sisa-sisa kekuatannya.

Malangnya ia malah terpental dan kepalanya menabrak pintu kamarnya.

Bug...

" Aduh...!" ringisnya kesakitan.

" Please jangan apa-apain saya, mas! Saya cuma kerja doang disini," rintihnya pelan setengah memohon.

" Hidup saya udah hancur, jangan dihancurin lagi, huaa!" teriaknya lagi

buru-buru Pria itu mendekap mulut nania lagi, dan menyuruhnya diam.

"sssttt! jangan teriak, nanti orang-orang salah paham!" Jawabnya buru-buru.

Nania terdiam, mencerna kata-kata pria didepannya, terdengar tidak ada niat jahat dari perkataannya,

ia mengangguk pelan.

Pria itu menempelkan telunjuk tangan dibibirnya lagi, berharap Nania tidak berteriak sehingga mengundang orang lain untuk datang.

"Fuuh... selamat-selamat! ujarnya lega.

" Lagian lu langsung teriak aja!" ujarnya kesal.

Nania mendengus memicingkan mata nya yang sudah sembab karena menangis.

" Sori" kata itu keluar dari isak tangisnya.

" Nih" pria itu melemparkan sesuatu ke arah Nania. reflek Nania menangkap benda kecil itu

melihatnya dengan perasaan yang lega.

kunci kamar yang ia cari dari tadi sudah ada ditangannya.

" lain kali kalau keluar kamar, pintunya dikunci benar-benar jangan langsung pergi aja" ucapnya kesal.

Nania mengangguk mendengarkan nasihatnya. " Makasih yaaa" ujarnya terbata-bata tidak kuasa menahan tangisnya kembali.

Pria itu menahan tawa melihat tingkah Nania yang seperti anak kecil.

Nania melihat mengangkat kunci yang dipegangnya dengan kedua tangannya mengucap syukur,

" Makasi udah nyelamatin hidup aku " ujarnya terbata-bata.

Pria itu mengernyitkan dahi. nampak tawa yang ditahan di ujung bibirnya.

Cepat-cepat ia menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Nania sendiri yang masih mengucap syukur atas kembali kunci kamarnya.

Ia cepat-cepat masuk kekamarnya merebahkan tubuhnya yang lemah diatas kasur empuknya,

Tiba-tiba,notif wa berbunyi, ia merogoh tasnya berharap pesan itu dari Timo setidaknya menghibur kegalauan hatinya.

Namun pesan itu dari Rendra. Teman satu kampusnya dulu,

Undangan Alumni Fakultas Seni Universitas Seni Sanjaya,angkatan 20-24 di gedung K... begitu kira-kira tulisannya, Tapi Nania tidak berniat meneruskan membacanya. Ia mengingat kejadian hari ini yang menghancurkan hatinya. Hingga kejadian tadi, pertolongan tetangga yang dibencinya.

Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Mata bengkak, hidung merah, wajah kusut, tampak rapuh dan tak berdaya.

"Ini bakalan berlalu Nania, lu berhak dapat yang lebih baik" ucapnya sendiri menenangkan hatinya.

***

Senin besoknya...

"Na, lu baik-baik aja, kan?" suara Artha mendadak terdengar, membuyarkan lamunannya.

Ia terlalu fokus pada layar laptopnya. Deadline kantor yang menumpuk, ditambah kepalanya yang masih penuh sesak dengan luka pengkhianatan kekasihnya.

"Eh, Artha... gue baik-baik aja kok," jawabnya sambil memaksa senyum.

Artha tersenyum tipis melihat usaha Nania. Ia tahu betul sahabatnya itu mencoba untuk bangkit.

Ia menatap Artha dengan mata berbinar, memperlihatkan kepada Artha iakuat menjalaninya.

"Oh ya, kemarin Rendra WA gue. Katanya minggu depan bakal ada acara alumninkampus. Kamu ikut, ya, Na? Aku sama Andrew juga mau. Udah lama banget nggak ketemu temen-temen yang lain."

Nania menjawab ragu. "Hmmm... gimana ya?" jawabnya pelan.

"Udah, Na, ikut aja. Sekalian cari suasana baru. Biar kamu nggak kepikiran sama s brengs**k itu lagi," seloroh Artha sambil mengedip nakal.

Nania mendengus tersenyum. "Oke deh,aku ikut." jawabnya ragu

Artha berseru girang, "Mantap! Angkatan 20-24 juga bakalan dateng, lho. Siapa tau nanti ada brondong kecantol ma kamu, Na!" godanya sambil tertawa.

"Sembarangan!" Nania refleks menimpali,

Tidak secepat itu Artha" ujarnya cepat menirukan adegan di sinetron, membuat sahabatnya tertawa.

Sepeninggal Artha, Nania kembali menatap layar ponselnya, menghela nafas kasar. sampai sekarang tidak ada penjelasan apapun dari Timo. " Dasar cowok ga tau diuntung" umpatnya kesal

" Gue harus menyelesaikan ini, dia harus tau kalau gue yang akan memutuskan hubungan ini!" ujarnya mantap.

Saat jam makan siang, semua rekannya makan siang di kantin, Nania berjalan mengendap-endap menuju balkon kantor mencari nama Timo di daftar nama ponselnya.

Tuut... Tuut... Klik.

"Halo?" suara Timo terdengar di seberang.

Jantung Nania berdegup kencang. Rasa ragu, marah, kecewa, semuanya berbaur, menggerogoti pikirannya. Ingin rasanya ia memaki lelaki itu. Tapi... hubungan mereka dulu bukan dibangun dari saling benci. Mereka dulu saling menghargai. Atau... setidaknya, itu yang ia percaya.

"Halo... Timo," ucap Nania, suaranya sedikit bergetar.

"Ini untuk terakhir kalinya, setidaknya kamu ada waktu sebentar" ucapnya terbata-bata

"Oke," jawab Timo datar.

Nania menarik napas dalam.

"Jujur aja... aku sangat percaya sama kamu. Kita udah jalanin hubungan ini lama. Awalnya, beberapa hari ini aku nunggu penjelasan dari kamu. Meski aku tahu... hubungan kalian pasti nggak sesederhana itu lagi." Suaranya mulai parau.

Ia menelan ludah, lalu melanjutkan,

"Aku cuma pengen penjelasan langsung dari kamu... sebelum kita benar-benar mengakhirinya. Aku pengen kita selesaiin ini dengan baik-baik. Karena aku tahu... nerusin hubungan ini udah nggak ada gunanya lagi."

Suara Nania terhenti, ia berusaha menahan air matanya.

"Maafin aku, Na... sebenernya aku udah menduain kamu setahun ini." ucapan Timo membuatnya tercekat.

Matanya berkaca-kaca.

"Entah kenapa... aku ngerasa hubungan kita hambar. Aku lebih tertarik sama Joice. Dia... bikin aku nyaman. Dia modis. Dia sesuai sama apa yang aku mau."

Setiap kata yang keluar dari bibir Timo seakan seperti jarum yang menusuk hatinya.

Ternyata satu tahun bukan waktu yang sebentar. Ia membenci kebodohannya yang tidak tahu gerak gerik pengkhianatan Timo.

"Kamu cantik kok, Na," lanjut Timo tanpa ragu. "Cuma... hubungan kita tuh cuma cinta monyet SMA. Dan waktu aku ketemu Joice, aku sadar... dunia aku sama sebenarnya beda. Aku udah lama pengen jujur, tapi aku takut nyakitin kamu."

Air mata Nania jatuh mengalir tanpa bisa ditahan. Ia menggigit bibir, menahan isak agar tidak terdengar. Tapi suara sesengguknya tetap lolos.

"Tapi Timo ..." Ia terdiam sejenak

"Kenapa kamu ga sudahin aja hubungan kita, sebelum kamu memulai hubungan baru dengan dia?," suaranya lirih, nyaris patah.

"Maaf Na, aku ga bisa, aku cinta sama kalian berdua, disatu sisi aku ga mau nyakitin kamu karena dari dulu kita udah bareng." jawab Timo semakin membuat nya kesal.

Bajingan sial, bisa-bisa nya ia bilang mencintai kami berdua?  umpatnya dalam hati.

Ia mematikan ponselnya kesal. takut keluar kata sumpah serapah terlontar dari mulutnya.

Mendengar kata-kata Timo barusan setidaknya menambah kekesalan dan kebencian akan sosoknya, sehingga memudahkan ia untuk melupakan pria itu.

Dengan tangan gemetar, ia buru-buru mengirim pesan pada supervisornya, Alex, meminta izin pulang lebih awal karena sedikit pusing.

Balasan singkat “Ok, Na, semoga cepat sembuh, ya!,” membuatnya sedikit lega.

Nania segera membereskan barang-barangnya, keluar dari kantor, dan berjalan cepat menuju apartemen.

Sepanjang perjalanan ia menyeka air matanya yang terus menerus jatuh.Tak memperdulikan lagi tatapan orang-orang yang heran melihatnya sepanjang jalan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!