Jati Keramat 5

Ketika sampai di plasmen yang bertulisan Desa Sendang, Pak Joko menghentikan ayunan kakinya. Sepeda tua itu berhenti, ketika salah satu kaki Pak Joko menekan potongan sandal di ujung ban sepeda.

Dan reflek, Pak Joko memutar setengah badanya. Betapa terkejutnya, ketika melihat Eyang Wuluh cekikikan sendiri, sambil menyebarkan beberapa kelopak bunga mawar didepan pagar rumahnya.

Deg!

Suara Eyang Wuluh masih melengking. Kaki jenjang Pak Joko mendadak kaku, hingga badanya juga membeku. Kejadian itu berangsur hampir 5 menit sendiri, hingga bunga habis dalam genggaman Eyang Wuluh.

Begitu tersadar, dengan menggayuh sepesa mantab, Pak Joko bergegas meninggalkan plasmen dekat rumah Pak Lurah itu.

Plasmen Desa Sendang cukup memprihatinkan. Kedya sisi temboknya sudah mengkelupas. Warnanya kusam, hingga di tumbuhi lumut dibawahnya. Banyak akar merambat keatas, seolah menimbulkan kesan hangat, namun cukup mencekam.

Pak Joko sudah berhenti di ujung Desa. Ia menyandarkan sepedanya pada pagar kayu yang sudah rapuh. Di sebrang kanan tempatnya berdiri itu, yakni tempat Keramat yang tadi pagi ia tebang pohon jatinya. Dan di sebrang kiri terdapat Sendang, yang hingga kini menimbulkan kesan wangi semerbak.

Sebab itulah, desa itu di juluki dengan SENDANG WANGI.

Sekilas, angin berhembus lirih dari arah pohon besar disebrang. Hawanya mendadak dingin, hingga membuat ujung pakaian Pak Joko yang agak longgar, ikut tertiup angin.

Namun bukan semerbak wangi yang timbul. Melainkan ... Anyir!

"Kembalikan tubuhkuuuu .....!!!"

Suara menyayat hati itu terbang, menggema kuat, memenuhi alam bebas. Pak Joko tersadar, hingga reflek mengedarkan pandanganya kearah belakang. Tempat Keramat itu.

Tubuh Pak Joko membeku. Kedua matanya menjerit keluar. Bahkan lagi-lagi ia melihat hal di luar nalar disana. Wajah Pak Joko tenang, namun penun ancaman besar.

Ia kini sedang melihat sepasang pengantin berdiri. Jemarinya saling bergandengan, tersenyum manis penuh cinta.

Namun bukan hal itu yang membuat jantung Pak Joko hampir lepas. Lebih tepatnya ada seseorang yang diam-diam menebang tubuh kedua pengantin tadi, hingga darah segar memuncrat kemana-mana.

Pria itu mengenakan kerudung kepala hitam, lalu pergi tanpa rasa bersalah setelah itu.

Darah pengantin itu mengalir, hingga menyentuh ujung sandal karet Pak Joko.

Deg!

Deg!!

Jantung Pak Joko terguncang kuat. Terkoyak dalam, melihat rintihan tangis kedua pengantin tadi yang sudah terbunuh.

"Pak ... Lihatin apa, kok melamun disini," tegur Gendhis yang baru saja tiba.

Perlahan, kesadaran Pak Joko kembali. Nafasnya ia tahan, agar tidak membuat putrinya berpikir lebih. Meski agak berat untuk menoleh, namun Pak Joko enyahkan itu semua.

Darah? Darah tadi juga sudah hilang. Keadaan kembali normal dengan cepat.

"Gendhis ... Sejak kapan kamu tiba, Nak?" Pak Joko baru sadar jika ada Nandaka disana. "Loh, diantarkan Nak Nanda ya, tadi! Terimakasih ya Nak Nanda," lanjut Pak Joko agak segan.

Nanda mengangguk. "Tidak apa-apa, Pak! Oh ya ... Nanti setelah sampai rumah, jangan lupa sholat ya Pak!" Nanda menatap Gendhis, "Ndis, saya duluan ya kalau gitu!"

Gendhis mengangguk sambil mengulas senyum, "Hati-hati, Mas! Makasih suda dianterin pulang!"

Nanda sejak tadi menatap kearah pohon besar tempat Keramat tadi. Bekas penebangan pohon jati itu masih menyimpan misteri, hingga kedua manik mata Nanda tampak penasaran dibuatnya.

Dalam pandanganya itu. Darah manusia itu masih mengalir kemana-mana.

"Pak, itu bukanya pohon jati yang Bapak tebang tadi pagi, ya? Kok baunya anyir gini ya, Pak?!" Gendhis yang sudah duduk dalam boncengan sepeda Pak Joko, kini berkata sambil menutup area hidungnya.

"Sudah, Ndis! Nggak usah dibahas. Ini magrib-magrib, banyak makhluk halus yang keluar." Timpal Pak Joko dengan sekuat tenaga mengayuh sepeda itu.

Begitu Gendhis menoleh kebelakang, terdapat dua pasang pengantin yang tengah melambaikan tangan kearahnya.

Gendhis reflek memutus pandanganya. Ia menenggelamkan wajahnya pada punggung sang Ayah, dan mengeratkan cengkraman tanganya pada sisi kemeja sang ayah.

"Siapa pengantin itu? Wajahnya tidak begitu jelas," batin Hanum h B!

Pengantin tadi berdiri menggunakan pakaian adat jawab bewarna hitam, komplit dengan bunga melati, serta tusuk konde diatasnya. Namun, wajah kedua pengantin itu sangat samar-samar.

***

Nandaka berhenti didepan pagar rumahnya. Pagar kayu yang terlihat rapuh, namun hanya diganti bagian engselnya saja. Badanya masih diatas motor, namun jemarinya terulur membuka engsel tadi.

Rumah joglo itu seakan menunduk mengucapkan salam, atas kedatangan pemilik mata batin.

Hingga kini pun, tulisan kepala desa itu hanya dilapisi cat tebal. Kayunya dibiarkan terkikis, masih berdiri tegap meskipun terasa melelahkan.

Nanda sudah memarkirkan motornya diteras rumah. Sebelum masuk kedalam, pria itu cukup lama berdiri didepan pintu sambil memejamkan mata. Barulah, ia mulai membuka pintu itu.

"Eyang ... Eyang di rumah? Nanda pulang," suara Nanda kini menggema keseluruh sudut ruang. Pria itu masih berdiri di tengah-tengah ruangan, menelisik setiap sisi rumah yang terlihat sangat mencekam.

Wanita berbada gempal, mengenakan daster longgar, dengab rambut di ikat asal itu keluar dari pintu samping. Namanya Mbok Sri. Pembantu di rumah Eyang Wuluh, dan setiap malamnya selalu menemani wanita tua itu, selama Lurah pergi ke luar kota.

"Aden sudah pulang? Mau makan, biar Simbok siapkan!" Seru Mbok Sri antusis.

"Terimakasih, Mbok! Nanti saya ambil sendiri. Oh ya, Eyang dimana?"

Biasanya setiap pulang, Eyangnya sudah menyambutnya diambang pintu. Namun kini, Nanda tak mendapatkan hal antusias itu.

"Eyang di kamar! Katanya kakinya kambuh, kalau di bawa jalan jauh nggak kuat, Den! Ini tadi Simbok rebuskan air hangat, nanti ta buat ngompres kaki Eyang." Setelah mengatakan itu, Mbok Sri kembali kedalam.

Nanda agak cemas. Ia kini berjalan masuk kedalam. Kamar Eyang berada paling pojok belakang. Harus melewati lorong, dan hanya terdapat 1 penerangan dari lampu petromak. Eyang Wuluh enggan menggunakan lampu terang.

Bebauan itu menyambut kedatangan Nanda. Terdapat dua kamar disisi kanan, dengan tirai kainya yang berterbangan sendiri. Padahal, angin tidak dapat masuk di ruang tertutup itu. Dan ... Tidak ada juga kipas angin.

Nanda berhenti.

Bukanya ia takut, atau langkahnya kendur. Ia berdiri tegap. Menatap kesamping kanan dengan sorot mata mantabnya. Seolah, kini Nanda sedang mempertegas tentang keberadaanya yang lebih layak.

"Saya disini, dan kalian di tempat kalian sendiri!" Mulut tertutup katup, namun batinya tertantang. Kalimat itu murni berdengung. Lirih. Hingga tirai tadi terdiam dengan sendirinya.

Barulah, Nanda sampai di kamar Eyangnya.

Kriettt!!!

Deritan pintu itu menggema, hingga membuat wanita tua itu terbangun.

"Sudah nanti bilang, Eyang kalau nggak enak badan jangan tidur di belakang!" Suara Nanda begitu lembut, sembari tanganya menyalakan api dalam petromak diatas meja itu.

Eyang Wuluh bangkit dibantu cucunya. Rambutnya yang sebagian putih, kini ia biarkan terurai lusuh. Wajahnya tenang, menatap sang cucu dengan sorot mata penuh damba.

"Eyang sehat-sehat saja! Jangan percaya yang dikatan sama Mbok Sri. Kamu sudah tahu 'kan, Bapakmu ke luar kota?" Eyang Wuluh duduk ditepi ranjang, sambil menepuk hangat tangan cucu bungsunya.

Nandaka mengangguk. Meskipun sejak tadi batinya berontak. Namun kedua netra hangat itu ia suguhkan untuk sang Eyang tercinta. Senyum kecil mulai terukir di sudut bibirnya.

"Seja dulupun, Eyang selalu seperti itu! Tidak ingin dibantu sama siapapun! Eyang lupa, umur Eyang sudah bertambah 10 tahun." Kekeh Nanda yang dapat memecah ketegangan suasana.

"Katakan sama Mbakmu, kenapa sudah 2 minggu tidak pulang?! Eyang rindu sama Damar dan Danar!" Kata Eyang dengan antusias.

Jika sudah seperti ini, Eyang Wuluh selayaknya manusia biasa. Dia memang manusia, namun lebih ke misterius. Hanya ada 3 manusia yang paling Eyang Wuluh sayangi. Yakni Nandaka, dan kedua cicit kembarnya. Damar dan Danar. Namun, karena Bintari tinggal di kota, jadi belum tentu seminggu sekali sulung Pak Lurah itu pulang ke Desa.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!