Chapter 5

Pandangan Ardli terbelalak, dia belum pernah melihat Devan berlari sekencang itu. Mungkin saja The Flash juga kalah dengan kecepatan berlari sahabatnya itu. Setelah menyusul Devan, sesuatu yang mengejutkan lagi  terlihat oleh Ardli. Dia sedikit mencoba mencari dan menggabungkan beberapa logika ke dalam stimulus otaknya. Berpikir keras bagaimana bisa Revan Ardian Pratama jatuh pingsan di depan kelas dan membuat heboh satu sekolah.

Buktinya saja bukannya belajar, kebanyakan siswa wanita malah keluar demi untuk melihat keadaan Revan. Bahkan beberapa dari mereka ada yang memaksa untuk membantu membopong Revan. Untungnya saja kepala sekolah datang dan segera mengatasi kekacauan yang terjadi. Menyisakan Devan, Ardli, Raka dan Kian serta Revan yang tidak sadarkan diri juga salah seorang guru untuk membantu mereka membawa Revan.

Ibu Sinta, guru BK mereka memberikan tumpangannya pada Revan dan Devan. Di tengah perjalanan ke rumah kedua anak kembar itu, sudut matanya bisa melihat bagaimana Devan terus menggenggam tangan kakak kembarnya tersebut. Terlihat jelas bahwa sang adik begitu mengkhawatirkan kakak kembarnya, meski pun tadi sudah diberitahukan bahwa keadaan Revan sudah cukup baik-baik saja.

Dibantu oleh Ibu Sinta dan Devan, mereka berhasil membaringkan Revan di dalam kamar. Devan mengucapkan terima kasihnya dengan baik. Sayang sekali Ibu Sinta tidak bisa terlalu lama dan memutuskan untuk kembali ke sekolah. Setelah berganti pakaian, Devan langsung menuju kamar Revan. Dia membawa kompresan. Untung saja ada internet, jadi Devan bisa tahu bagaimana cara mengompres dengan benar.

Devan meraba kening sang kakak sebelum meletakkan kain kompresnya. Masih terasa panas, sungguh Devan sangat khawatir sekali dengan keadaan kakak kembarnya itu. Sejak kecil dia paling tidak suka jika harus melihat Revan sakit dan terbaring seperti ini. Sama ketika mereka SD dulu, Revan terkena demam berdarah yang cukup parah. Membuat Devan yang jarang menangis, menangis seharian karena melihat Revan harus ditusuk oleh jarum infus. Padahal bisa dibilang jika diketahui Revan meski cuek dan dingin, anak itulah yang terbilang cengeng dibandingkan adiknya. Membuat orang tua mereka bingung karena Devan sama sekali tidak mau lepas dari Revan.

Setelah dua jam, Revan mulai membuka matanya. Mencoba mengenali apa yang dilihatnya. "Gue dimana?"

Mendengar suara yang sangat dikenalinya itu, membuat Devan langsung memfokuskan diri pada Revan. "Rumah, di kamar lo. Akhirnya lo sadar juga Rev."

"Lo yang bawa gue kesini?" Revan memberikan ekspresi terkejutnya.

Devan mendengus. "Iya, badan lo berat kayak kudanil. Nggak lah, mana kuat gue bawa lo sendirian. Gue dibantuin Bu Sinta, Ardli, Raka sama Kian."

"Gue pingsan dari jam berapa?" Revan kembali bertanya.

Devan melirik jam dinding yang tertara. "Kira-kira udah dua jam lah."

"Ha? Lama banget, terus lo gimana? Lo udah makan? Udah minum obat?" Revan beranjak bangun, tetapi dia langsung meringis dan memegang kepalanya karena merasakan sakit.

Devan menghembuskan nafasnya kasar. "Bisa gak sih lo khawatirin dulu diri lo yang dalam kondisi sekarang ini gak sih Rev? Jangan gue terus yang lo pikirin!"

"Emang salah kalau gue ngekhawatirin adek gue sendiri?" Revan masih saja mengelak.

Devan mencoba menahan emosinya. "Gak. Gak salah. Tapi lo jangan egois, gue juga berhak khawatir sama keadaan lo Rev. Lo tahu waktu tadi lo pingsan kayak gituh jantung gue udah kayak gak berdetak tahu? Rasanya aliran darah gue berhenti! Jadi tolong perhatiin kesehatan lo sendiri juga. Percuma aja kalau gue sehat tapi lo sakit, gue akan tetep sakit Rev! Kita kembar, apa yang lo rasain gue juga bisa rasain begitu juga sebaliknya!"

Revan menunduk, dia tidak membantah ataupun melawan semua perkataan Devan padanya. "Sorry Dev..."

Sebenarnya Devan tadi tidak berniat memarahi kakak kembar yang hanya berbeda dua menit denganya itu. Tetapi nada bicaranya naik sedikit demi sedikit. Itu semua karena dirinya yang terlalu mengkhawatirkan Revan. Tapi sebuah senyuman langsung tercetak di wajah Devan. Mata Revan tampak berkaca-kaca. Bibirnya terbuka sedikit, pipinya memerah. Revan cengengnya yang dulu entah kenapa mulai muncul. Imut sekali. Dengan jahil dia mencuri foto Revan dengan ekspresi itu.

"Wow. Rev. Imut banget sih lo. Kalau para cewek di sekolah pasti kelepek-kelepek tapi apa yang bakal Raka sama Kian bilang ya kalau liat foto ini?" Ekspresi jahil dikeluarkan oleh Devan.

Revan langsung tersadar dan mengembalikan mimik wajahnya yang datar. "Yak Devano! Awas kalau lo berani-berani!"

"Gue gakan berani-berani nunjukkin asal lo nurut sama gue Rev." Devan langsung mendapat cara agar dapat mengancam Revan hingga nanti dia bisa menurutinya dan tidak keras kepala lagi.

Baru saja Revan ingin mencoba merebut, suara ketukan pintu terdengar. Alhasil handphone Devan dengan foto aibnya tidak bisa dia ambil. Untuk menyusul Devan pun, Revan masih terlalu lemas. Adiknya kalau sudah jahil memang tidak ada yang bisa menghindarinya termasuk Revan sendiri.

Devan segera membukakan pintu rumah. Tetapi beberapa detik kemudian dia menutupnya kembali. Ardli merasakan perempatan siku-siku di kepalanya mulai muncul karena tingkah Devan. Untung saja Raka menahan pintu tersebut sehingga Devan tidak punya pilihan lain selain membukakan pintu.

Devan menyuruh mereka bertiga untuk duduk terlebih dahulu. Meski terbilang jahil, Devan masih memiliki sopan santun. Dia juga menyajikan minuman untuk teman-temannya tersebut.

"Dli kalau bisa sih lo gak usah ikut juga, udah bosen gue liat lo tiap hari pas pagi-pagi, sekarang harus tiap sore juga. Naas amat hidup gue." Devan bicara dengan sekenanya.

Ardli menahan emosinya yang bergejolak. "Nih mulut lo tuh ya pengen gue sumpel pake batu bikinni bottom apa?"

"Sumpel aja Dli, kalau nggak lakban aja. Ambil lakban di dapur." Teriakan seseorang terdengar.

Kian mengejek mendengar Revan yang sakit masih saja ingin ikut bergabung. "Yang sakit bobo cantik aja dulu. Daripada tar roboh lagi bikin heboh satu sekolah."

"Dli kalau perlu sekalian sumpel mulut si Kian pake piso, ambil di dapur ya." Balas Revan kejam.

Kian langsung berekspresi ngeri. "Maaf woy maaf canda kali! Kejam banget tuh si Joker satu."

Raka hanya bisa menggelengkan kepalanya. "Daripada denger ocehan mereka yang gak worth it itu, nih gue bawain makanan buat kalian berdua."

"Wah Raka emang manusia paling beradab dan ternormal di dunia ini." Puji Devan sambil menerima makanan dari Raka.

Level kepedean Raka langsung meninggi. "Raka gituh."

"Halah paling dari Bang Arjun." Revan kembali mengoceh.

"Rev kadar kepintaran lo emang udah di luar batas, ampe bisa ngeramal kepastian kayak gini segala." Kian bertakjub ria.

Raka menahan kesal. "Kalau ada pertumpahan darah antar gue dan Revan sekarang ini, lo gak papa kan Dev?"

"Cobain aja, paling sebelum lo nginjekin kaki lo kesana Ka lo udah berakhir duluan sama piso dapur yang gue pegang." Devan tersenyum dengan begitu 'manis'.

Raka langsung menegang dan mengurungkan niatnya. Sementara Ardli berkata dengan sangat pelan. "Kakak sama adek sama-sama sikopatnya."

Setelahnya mereka memilih untuk beranjak ke obrolan yang lain. Salah satu yang dibahas adalah acara festival sekolah yang akan diadakan sebentar lagi. Revan sendiri setelah memakan makanannya yang memilih untuk tidur kembali. Dia memang masih membutuhkan istirahat.

Lama mereka berbincang tidak terasa waktu sudah semakin sore. Raka, Kian dan Ardli memutuskan untuk pulang. Tidak lupa Devan mengantar mereka semua hingga ke depan rumah sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih atas perhatian rekan-rekannya itu. Setelah mengantar mereka, Devan menuju kamar Revan untuk melihat keadaan kakak kembarnya tersebut. Suhu Revan sudah tidak sepanas tadi, Devan akhirnya bisa bernafas lega.

Dengan pelan Devan menutup pintu kamar Revan. Dia mengambil handphone-nya untuk menghubungi tempat kerja paruh waktu Revan. Memberitahukan bahwa Revan tidak bisa masuk untuk beberapa hari ke depan karena kondisinya yang sakit. Untung saja bos Revan pengertian, tidak banyak keluhan yang diberikan setelah Devan meminta izin untuk Revan.

.

.

.

.

.

Pagi ini Revan nampak sudah membuka matanya. Dia menguap karena memang dirinya masih mengantuk. Ketika dia mencoba berdiri dari tempat tidurnya, Revan memegang kepalanya yang terasa sakit. Demamnya memang sudah terasa lebih baik, hanya saja dia masih merasa pusing. Setelah mengumpulkan kekuatannya, Revan bisa turun dan keluar dari kamar.

Mata Revan sedikit menangkap suasana aneh. Kenapa rumahnya sangat sepi? Ah mungkin saja Devan masih tidur makanya terasa sepi, begitulah yang ada di dalam pikirannya. Tetapi saat dia berjalan ke dapur matanya cukup terkejut melihat sesuatu. Ada makanan yang sudah disiapkan. Revan segera mengambil makanan yang ada di meja tersebut. Oh ternyata ada sebuah catatan di dekat makanannya. Dengan segera Revan membacanya.

'Rev ini gue udh buatin lo sup jagung, dimakan ya. Jangan khawatir sama rasanya, gue minta saran Raka waktu bikinnya kok. Jadi gue jamin rasanya gak akan ngeracunin lo. Jangan lupa minum obat lo. Tenang, gue udah minum obat sama sarapan kok. Hari ini lo jangan dulu sekolah sama kerja pokoknya. Nanti ada tante Andrea bakal dateng dan nganterin lo ke dokter. Jangan bandel atau nggak gue sebarin foto aib lo yang kemarin!'

P.S : Devan itu lebih ganteng dibanding Revan!'

Revan tersenyum sendiri setelah membaca isi pesan dari Devan. Dia dengan segera memakan sup jangung yang sudah susah payah dibuat oleh Devan. Ketika satu suapan mulai masuk ke dalam mulutnya, Revan terperangah. Masakan adiknya enak sekali, bahkan hampir sama dengan masakan sang Mama dulu. Revan saja harus gagal beberapa kali, tapi adiknya sekali coba langsung bisa.

Setelah selesai makan dan meminum obatnya Revan langsung membereskan bekas makannya. Melihat ke arah jam dinding, Revan rasa dia tidak akan terlambat jika memutuskan untuk berangkat sekolah sekarang. Lagipula Revan berpikir bahwa keadaannya sudah baik-baik saja sekarang. Sebelumnya Revan akan menghubungi dulu tante Andrea untuk tidak jadi datang karena dia sudah cukup membaik. Baru saja Revan akan mengambil ponselnya suara ketukan pintu terdengar. Selanjutnya hanya helaan nafas yang keluar dari mulutnya. Devan ketika over protective benar-benar seram.

Setelah memberikan air pada Andrea, Revan duduk. "Tan padahal gapapa, aku juga udah baikan kok."

"Maunya tante, tapi kamu tahu sendiri adek kamu kan. Kalau dia udah marah dia susah dibujuk. Jadi tante harus nepatin janjinya. Yah bawa kamu periksa ke dokter." Jelas Andrea dengan tersenyum.

Revan sekali lagi menghela nafasnya. "Aku udah baik-baik aja kok serius tante, -uhuk -uhuk."

Andrea hanya menatap Revan tak percaya. "Baik-baik aja kok masih batuk?"

"Nanti juga ilang sendiri kok tan, -uhuk-uhuk." Revan bingung sendiri, tadi pagi kondisinya sudah baik-baik saja, kenapa sekarang badannya tidak enak lagi?

Andrea hanya bisa tersenyum maklum dengan kekeras kepalaan Revan. "Kita ke dokter aja yah. Tante gak mau kamu tambah sakit. Lagian nanti kalau kamu sakit, siapa yang mau jagain Devan? Kesehatan itu penting Rev. Kamu gak mau kan bikin adek kamu khawatir terus kan?"

Revan hanya bisa pasrah. "Yaudah tan, aku siap-siap dulu."

Andrea tersenyum setelah mendengar jawaban Revan. Devan memang adalah satu kata ajaib yang mampu membuat Revan berubah pikiran dan mau melakukan apapun meskipun Revan tidak menginginkannya. Mereka berdua benar-benar memiliki ikatan yang kuat. Kembar identik, jika orang yang belum mengenal dekat mereka maka apapun yang dilihat mereka berdua benar-benar sama. Walau sebenarnya mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Tetapi itulah yang melengkapi anak kembar itu. Andrea tidak pernah membayangkan jika mereka harus kehilangan satu sama lain. Apapun itu, Andrea akan berusaha agar Devan dan Revan tidak pernah terpisah sekalipun itu takdir. Karena dia sudah berjanji pada kakaknya dulu.

Perhatian Andrea langsung teralihkan setelah melihat Revan sudah siap sepenuhnya. Mereka langsung menuju rumah sakit untuk memeriksakan keadaan Revan.

Beberapa menit perjalanan, akhirnya mereka sampai. Revan mengambil nomor antrian untuk ke poli umum. Tidak lupa dengan Andrea, sang tante yang selalu menemaninya. Setelah menunggu beberapa antrian, sekarang giliran Revan untuk masuk. Dengan ditemani Andrea, Revan memasuki ruangan dokter. Mereka tidak terkejut setelah melihat ke siapa dokternya. Disana ada Arjuna yang bertugas untuk memeriksa Revan.

Revan memberikan beberapa keluhan sakitnya pada Arjuna. Setelah mendengarkan keluhan sakit Revan, Arjuna menyuruhnya untuk berbaring di atas tempat tidur. Arjuna mulai memeriksa Revan, mulai dari laju nafas hingga detak jantung. Setelah Arjuna berhasil menyimpulkan dia menyuruh Revan untuk kembali duduk.

"Kamu kena flu biasa, tapi sayang karena pernah dibiarin dulu dan gak langsung berobat flu kamu jadi cukup parah." Jelas Arjuna secara mendetil.

Revan hanya tersenyum kikuk, Arjuna memang calon dokter yang hebat. "Habisnya gue gak mau manjain penyakit Bang. Lo tahu sendiri gue harus jaga Devan."

"Ya kalau lo tumbang siapa yang jagain dia nanti, bego banget sih." Arjuna tidak lagi terlalu baku pada Revan.

Revan mendecak. "Sarkasnya keluar nih Bang Arjun."

"Pokoknya gue kasih lo resep obat ini, dan inget harus dihabisin. Sama buat 5 hari ke depan lo gak bisa sekolah sama kerja dulu. Kalau lo gak mau tidur di rumah sakit nanti." Peringat Arjuna pada Revan.

Revan cukup terkejut. "Beneran? Bang Arjun kasih gue keringanan napa dah. Ya ya ya ya, kharisma gue ancur nanti."

"Keringanan, keringanan apaan itu diri lo sendiri yang ngehukum lo karena lo nyepelein kesehatan sendiri! Ah tapi kalau nanti lo emang udah mau nginep disini nanti, gue kosongin satu ruang rawat kok." Bukan Arjuna jika tidak mampu membunuh dengan kata-katanya.

Revan mendengus sebal. "Kagak. Gue nurut, gue nurut."

Andrea tersenyum melihat perbincangan mereka. "Makasih yah Nak Arjun, udah bisa ngeyakinin kepokanan saya yang keras kepala ini."

"Gapapa kok tante, lagian ini udah kewajiban saya sebagai dokter nanti." Balas Arjuna dengan sopan. Sedetik kemudian Arjuna bertanya tentang hal lain pada Revan. "Raka gimana di sekolah?"

"Raka? Ketos itu baik-baik aja kok. Meskipun masih tetep lupa ngerjain PR-nya. Tapi setidaknya gue yakin Bang dia itu mirip sama lo banget. Dia bener-bener tipe orang yang bertanggung jawab ampe maksa gue jadi ketua panitia dan salah satu pengisi acara." Revan menjelaskan.

Arjuna tersenyum mendengarnya. "Gue bersyukur dia punya sahabat kayak lo Rev. Makasih udah luangin waktu lo sama Raka di saat gue emang gak bisa hadir buat dia."

"Bang, gue yakin Raka ngerti kok cuma saran gue, berhenti terlalu ngebatasin diri lo sama dia." Arjuna sangat tahu maksud kalimat Revan itu, tapi dia tidak bisa menjawab apa-apa.

Andrea mengajak Revan untuk pamit karena dia juga harus pergi ke tempat lain. "Makasih yah sekali lagi Arjuna, kita pamit ya."

Setelah pintu ruangan tertutup Arjuna masih memikirkan kata-kata Revan tadi. Hingga kedatangan pasien membuatnya harus bekerja lagi.

Sementara itu di sekolah Raka dan Kian sedang berbincang di kantin, karena ini memang saat istirahta. Satu bangku nampak kosong. Sedikit rasa kehilangan muncul, karena mereka berdua tidak melihat Revan yang meskipun jam istirahat tetap membaca buku tebalnya.

Tapi ada hal yang menarik di meja mereka. Terlihat banyak sekali makanan menumpuk disana. Bisa dikatakan mereka lelah sekali harus menerima setiap hadiah makanan dari para siswi yang ada di sekolah. Idola nomor satu di sekolah sakit, pasti perhatian yang akan diterima pun luar biasa hebohnya. Contohnya seperti beberapa waktu lalu, ketika mereka berdua baru saja keluar untuk beristirahat.

"Yan, gue titipin susu buat Revan ya, awas jangan lo makan."

"Ka, ini tolong kasihin roti dari gue buat Revan."

"Yan, ini vitamin dari bokap gue. Suruh Revan minum biar dia cepet sembuh."

"Ka, ini makanan rimgan tolong kasihin buat Revan."

"Yan, nih camilan sehat. Kalau lo sempet kasihin ke Revan ya pas pulang."

"Ka jangan anggurin gue. Nih kasihin vitamin buat Revan."

Bla... Bla... Bla dan seterusnya. Meskipun Raka dan Kian sudah menolak para siswi itu masih bersikeras. Bahkan Raka mengatakan kenapa tidak mengantarkan ke rumahnya sendiri saja tetapi sayangnya mereka malah menjawab jika saja mereka bisa. Karena Raka dan Kian sendiri tahu bahwa Revan tidak akan pernah membawa orang lain ke rumahnya jika dia tidak mengenal dekat orang tersebut atau mengenalnya sudah lama. Kebiasaan anti sosial Revan memang sudah diambang parah. Itulah yang ada di otak mereka berdua.

Di tengah keputus asaan dan kelelahan mereka, Devan dan Ardli menyapa mereka. Wajah Ardli terlihat sangat takjub melihat banyak makanan yang Rala dan Kian bawa.

"Cieh kalian jadi idola baru, sementara si Revan sakit." Entah Ardli itu mengejek atau memuji, tidak ada bedanya.

Devan tersenyum remeh. "Wow, jangan berkhianat kalian ke kakak gue."

"Ck. Dev kebetulan lo ada disini. Bawa nih semua. Semua makanan ini buat Revan. Kita gak sempet mesen apa-apa buat makan karena para cewek yang selalu ngintilin nitipin ini-itu buat Revan." Kian menanggapi malas ejekan dua teman beda kelasnya itu.

Raka menggelengkan kepalanya. "Gue ampe bingung, si Revan tuh Dewa atau apa, disuguhi ampe segininya."

Ardli mengiyakan perkataan Raka. "Suguhi? Wkwkwkkwkwkwkwk dia kayak setan pesugihan dong."

'Buk' Devan memberikan sentuhan 'manis' pada Ardli. "Ngomong gituh lagi gue yakin Revan gak segan buat ngecincang lo Dli."

"Aish canda kali, posesif amat lo kayak ke mantan tapi udah putus." Ardli mengusap kepalanya yang tadi 'disentuh' Devan.

Kian memandang Devan ngeri juga. "Gue gak nyangka Revan nitipin jiwanya ke lo Dev selama dia sakit kayaknya."

"Tenang gue gak sekejam Revan kok." Ucap Devan bangga.

Raka mengalihkan ke topik pembicaraan lain. "Nah ngomong-ngomong bakal berapa lama Revan libur?"

"Tadi gue dapet chat dari tante Andrea, Bang Arjun nyuruh Revan istirahat sampe 5 hari." Jelas Devan menjawab pertanyaan Raka.

Kian terlihat sumringah. "Wow, gue gakan dibully dan ditindas selama 5 hari sama sang pangeran titisan kutub utara itu akhirnya. Terima kasih Tuhan."

"Kalau Revan denger lo pasti udah abis Yan." Raka tiba-tiba terpikirkan sesuatu. "Lah terus tanding sepak bola kita gimana nanti? Kita kan kurang orang, cadangan juga gak ada?"

Kian mengedikkan bahunya. "Ada atau gaada dia juga gak masalah. Aib Revan yang belum orang lain tahu kan dia jelek banget kalau maen bola. Ngakak banget gue kalau liat dia dribble bola. Asli hahahaha."

"Tetep aja kamvret kita gak bisa maen kalau kurang pemain." Raka sungguh tidak mengerti dengan kepintaran Kian ini.

Mendengar itu Devan langsung menawarkan diri. "Kalau gue yang gantiin Revan gimana?"

"Plis Dev, lo cari mati sumpah. Revan tahu abis lo! Bukan cuma lo mungkin gue ma yang lain udah ngucapin selamat tinggal ke dunia yang fana ini." Ardli langsung memperingatkan.

Devan tidak mempedulikannya. "Ya elah drama amat lo Dli. Revan gak akan sekejam itu elah."

Raka mencoba berpikir. "Gue setuju saran Devan."

"Ka? Sumpah? Lo gak demam? Kerasukan jin apa lo? Lo kalau mau dibunuh Revan nanti jangan ajak-ajak gue ya." Kian tidak mengerti kenapa Raka menyetujui penawaran Devan.

"Makanya lo kalau ngomong disaring dulu tadi Yan." Raka tidak habis pikir Kian ini terlalu polos atau bagaimana.

Ardli menyatakan penolakannya. "Lo mau kejadian waktu makrab keulang lagi? Dev gue gak setuju. Gue gak setuju, demi lo."

"Jangan ambil kesimpulan dulu, gue ngeijinin lo asal lo izin dulu juga sama Revan. Kalau nggak gue bisa cari orang lain." Ucap Raka pada akhirnya.

Devan mengangguk. "Gue bakal bilang kok."

Ardli dan Kian tidak bisa berkata apa-apa lagi jika mereka berdua sudah putuskan. Yang penting bagaimana jawaban Revan nanti. Ardli berharap Devan tidak berbohong lagi seperti waktu itu.

Tanpa terasa sudah jam pulang. Kali ini Devan memutuskan untuk pulang bersama Raka. Ditambah dengan membawa makanan yang cukup banyak. Ardli sendiri dia harus pergi ke untuk menjemput ibunya, sementara Kian dia memiliki kelas tambahan.

Sepanjang perjalanan pulang, Raka bisa melihat raut kesal di wajah Devan. Raut kesal yang tadi tidak dikeluarkannya sama sekali. Devan mencoba bernyanyi tapi tetap saja perasaannya kesal. Jujur saja dia cukup kesal karena ucapan Kian tadi. Bagi semua orang Revan itu sempurna, tidak ada yang boleh tahu kekurangannya selain Devan sendiri.

"Lo kesel?" Tanya Raka tiba-tiba.

Devan menghembuskan nafasnya kasar. "Gue gasuka aja Revan dianggap remeh."

"Udah kebaca sama gue. Meskipun gue ga sedeket kayak Ardli ke lo setidaknya dulu kita temen masa kecil. Tapi lo tahu sendiri kan si Kian itu blak-blakan dan gak bisa ngerem." Jelas Raka.

Devan menjawab. "Gue kesel tapi gak marah kok sama Kian. Gue gak mau aja di pertandingan nanti banyak orang yang ngeliat kekurangan Revan.  Karena Revan itu sempurna."

Raka mulai berpikir. "Bentar-bentar maksud lo, lo emang bakal gantiin Revan tapi bukan sebagai lo sendiri tapi sebagai Revan? Biar orang pada nyangka ternyata Revan berbakat di olah raga terlebih sepak bola, gituh ya?"

"Gak salah lo adeknya Bang Arjun. Masih ada pinternya." Sekali lagi Raka tidak bisa membedakan mana itu pujian dan mana itu ejekan.

.

.

.

.

.

Setelah Devan memasuki rumahnya dia langsung menyimpan semua makanan yang diberikan para siswi untuk Revan. Hingga tiba-tiba sebuah perasaan tidak enak muncul. Ada sebuah tangan yang melingkari pinggangnya dari belakang. Bulu halus leher Devan berdiri karena merasa merinding.

Devan pertama-tama mencoba bersabar. Hingga pada hitungan ke-3 jiwa macan Devan mulai menggeram dan segera ingin berteriak.

"Lepas lo abnormal kambing!" Teriak Devan dan melepaskan pelukan Revan.

Revan mendengus. "Lah kan kangen sama adek sendiri kagak apa-apa."

"Najis lo ah. Kangen gak usah peluk-peluk segala!" Kesal Devan pada Revan.

Revan tertawa ringan mendengarnya. "Devano galak kayak maung. Widih baik banget bawain gue makanan sebanyak ini. Makasih yah Devano sayang."

"Lo ngacak-ngacak rambut gue, gue tampol pake chiki tuh muka." Ancam Devan yang melihat Revan akan mulai mengelus rambutnya.

Revan langsung mengurungkan niatnya itu. "Ck. Galak. Tapi sayang kan ya sampe beliin gue banyak makanan."

"Enak aja bukan kok. Mending gue pake duit gue buat top up diamond. Nih dari fans-fans cewek lo di sekolah Rev. Keliatan banget mereka khawatir sama lo." Devan memberikan pernyataannya.

Ekspresi Revan berubah menjadi dingin. "Gue gak mau nerima barang dari orang yang gak gue kenal, lo buang aja atau kasih ke orang lain."

Devan mengernyit bingung dengan reaksi Revan. "Oy Rev, jangan gitu mereka udah bela-belain loh buat ngasih lo ini semua. Terima aja napa, seenggaknya lo udah ngehargain pengorbanan mereka."

"Kalau aja mereka ngehargain lo juga." Revan berucap pelan tapi Devan tidak terlalu mendengarnya.

Devan mencoba bertanya. "Bilang apa lo Rev tadi?"

"Kagak kok, nih gue ambil makanannya. Makasih bilang ke semuanya. Udah muka lo gak usah sedih lagi." Revan mengambil makanan yang tadi dibawa Devan.

Tanpa terasa hari sudah menjelang malam. Revan dan Devan menyiapkan makanan untuk makan malam. Meski Devan sudah melarang kakaknya itu untuk membantu, Revan tetap saja membantunya. Mempunyai saudara yang sama-sama keras kepala memang sedikit sulit.

Setelah selesai Revan dan Devan mulai memakan makan malam mereka. Tidak ada obrolan selama makan malam berlangsung. Mereka menikmati makan malam dengan tenang. Setelahnya, piring-piring langsung dicuci oleh Revan dan Devan.

Revan nampak sudah mengantuk demgan beberapa kali menguap. Tetapi anak itu harus memastikan Devan untuk meminum obat dan membiarkan adiknya tertidur terlebih dahulu. Hingga tiba-tiba Devan memulai pembicaraan terlebih dulu.

"Rev, gue boleh gantiin lo di pertandingan sepak bola nanti? Sekolah kita kekurangan pemain. Seenggaknya gue pengalaman kalau main bola." Devan memberanikan dirinya untuk meminta izin.

Revan nampak berpikir, wajahnya sangat serius bahkan ekspresinya tidak bisa terbaca. "Devano....."

Devan sudah siap dengan kemarahan kakak kembarnya. Setidaknya kali ini dia meminta izin terlebih dahulu.

"........ Gue izinin." Ucap Revan pada akhirnya.

Devan sungguh tidak menyangkanya. "Lo gak marah? Tu.. Tumben Rev."

"Gue udah denger semuanya dari Raka kok. Cieh segitu sayangnya lo sama gue. Tapi dengan catetan lo gak boleh sampe kelelahan banget." Jelas Revan pada sang adik.

Devan kikuk sendiri. "Yah, wajar aja gue kan kembaran lo kali ah. Mana mau gue ngedenger orang-orang tau bahwa Revan yang sempurna ternyata mempunyai kekurangan."

"Masih aja tsundere. Tapi Dev asal lo tahu, gue gak peduli sama kata sempurna itu meski kadang gue selalu ngebanggain hal itu bahkan di depan lo. Karena asal kan lo tetep bertahan sama gue, gue udah ngerasa bahwa gue sempurna. Makanya gue akan ngelakuin apapun biar lo tetep bertahan. Karena lo adalah sebagian diri gue, dan sebaliknya. Sama kaya omongan lo waktu gue sadar dari pingsan." Devan bisa melihatnya, bagaimana mata Revan berkilau dengan penuh ketulusan dan harapan kuat seakan memintanya untuk bertahan meskipun itu mungkin akan sulit.

Devan menjawab sekedarnya. "Beruntung banget yang jadi istri lo ntar. Bisa masak, pinter, jago pekerjaan rumah, multitasking tau gak lo Rev." -Maafin gue Rev, gue gabisa ngejamin itu semua. Maafin gue.

Di sisi lain Raka baru sampai ke rumahnya. Tadi motornya harus ada beberapa yang perlu diperbaiki. Matanya sedikit terkejut melihat Arjuna yang sudah pulang sedang duduk sembari mengerjakan tugas-tugasnya.

Tidak ada obrolan diantara mereka. Raka dengan berganti pakaiannya karena baru pulang dan Arjuna yang terus berkutat dengan laptop serta buku-bukunya. Rumah memang sepi karena ayah dan ibu mereka sedang dinas di luar kota. Hanya Arjuna dan Raka yang meninggali rumah setiap harinya, meski lebih banyak Raka yang meninggali rumah ini.

Raka memasuki kamarnya untuk tidur. Pandangannya teralihkan pada sebuah buku-buku di atas tempat tidurnya. Disana juga terdapat memo kecil yang berisi tulisan.

'Jangan lupa bikin PR terus, ini catetan gue waktu SMA dulu. Kurang lebih materinya hampir sama, lo bisa belajar dari sini. Kalau ada yang kurang lo ngerti lo bisa tanya ke gue.'

Raka berkata pelan. "Gimana gue bisa nanyain, jam lo itu sibuk banget gaada celah."

Tapi setelahnya ada senyuman yang terulas di wajah Raka.

.

.

.

.

.

.

"Jadi kita bakal ketemu lagi ya Revano Ardian Pratama? Gue yakin pertandingan nanti bakal seru."

Seorang siswa ber-nametag Daffi menghampiri temannya yang tadi bermonolog itu. "Sekali pendendam tetep pendendam ya lo."

.

.

.

.

.

.

To Be Continue........

Jangan lupa tinggalin jejak kalian

Terpopuler

Comments

Lourdes zabala

Lourdes zabala

Makin ketagihan.

2025-08-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!