Meira perlahan terbangun, matanya menyipit menahan cahaya pagi yang menembus kaca mobil. Kepalanya terasa berat, seperti ada palu yang terus mengetuk pelipisnya. Ia mengerang pelan sambil memegang dahinya.
Beberapa detik ia hanya duduk diam, mencoba memahami di mana dirinya berada. Begitu pandangannya lebih jelas, ia baru menyadari bahwa ia ada di kursi belakang mobilnya sendiri.
Dengan gerakan malas, Meira merogoh saku jaketnya mencari ponsel. Setelah ketemu, layar ponsel menyala menampilkan notifikasi pesan. Itu dari Agit.
Meira menarik napas panjang, lalu membuka pesan Agit. Isinya singkat namun jelas, memberitahu bahwa ia membawanya ke mobil karena mabuk berat tadi malam. Kunci mobil sudah ia taruh di laci dashboard, dan kalimat terakhirnya ditutup dengan ucapan, “Tidur yang nyenyak, semoga besok kamu merasa lebih baik.”
Hati Meira sedikit menghangat membaca perhatian itu. Meski kepalanya masih pening, ia sempat tersenyum kecil. Jemarinya bergerak mengetik balasan.
"Makasih ya, Git. Elo udah nolong gue tadi malam. Gue udah bangun sekarang. Lagi mikir juga mau cari apartemen baru setelah kejadian kemarin sama Emak gue. Gue nggak mungkin terus di rumah itu."
Pesan terkirim. Ia menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu bersandar kembali ke jok, memejamkan mata sebentar sambil menenangkan pikirannya.
Meira duduk di tepi jok belakang dengan ponsel di tangannya. Matanya fokus pada layar, menelusuri deretan iklan apartemen sewaan. Bagi orang lain, harga mungkin jadi pertimbangan, tapi tidak untuknya. Rekeningnya selalu terisi setiap bulan, langsung atas namanya, tanpa campur tangan ibunya. Itu permintaan khusus ibunya kepada ayahnya sejak lama agar Meira tidak merasa kekurangan materi.
Ironisnya, justru di situlah letak luka yang tak pernah sembuh. Uang mengalir deras, barang-barang mewah mudah ia dapat, tapi kasih sayang yang sederhana saja tak pernah benar-benar ia rasakan. Ibunya memang tidak pernah meminta sepeserpun kiriman dari ayahnya untuk dirinya sendiri. Semua demi Meira. Itu membuat Meira sadar ibunya sebenarnya menyayanginya.
Namun, di balik itu, ada kegagalan besar yang tak bisa dipungkiri. Ibunya tidak pernah benar-benar mendidik, tidak pernah menuntunnya sebagaimana seharusnya seorang ibu pada anak. Kasih sayang yang hangat, pelukan yang menenangkan, perhatian kecil yang dirindukan seorang anak semuanya hilang. Yang ada hanya bentakan, tuntutan, dan jarak yang tak pernah bisa Meira jembatani.
Meira mendesah panjang. “Cinta Mama itu aneh...” gumamnya lirih, sebelum akhirnya jarinya berhenti pada satu iklan apartemen dengan view kota yang menawan.
Matanya berhenti pada satu iklan yang menampilkan apartemen modern di daerah Kuningan, Jakarta Selatan, daerah yang terkenal strategis, dekat dengan perkantoran, pusat belanja, dan hiburan malam. Lokasi itu terasa pas untuk gaya hidup Meira yang bebas dan tidak mau jauh dari keramaian kota.
Tanpa pikir panjang, ia langsung menekan nomor yang tertera. Suaranya masih serak sisa mabuk semalam, tapi ia berusaha terdengar tenang.
“Hallo, saya tertarik untuk lihat unit apartemen yang kalian iklankan. Bisa dijadwalkan survey hari ini?”
Pihak apartemen menyambut dengan ramah, menanyakan jenis unit yang ia mau. Meira menjawab santai bahwa ia ingin yang 2 kamar tidur lebih luas, meski ia hanya tinggal sendiri.
Sesuai konfirmasi, jadwal survey langsung diatur untuk sore nanti.
Sore itu, Meira tiba di lobi apartemen mewah di Kuningan, Jakarta Selatan. Lobi yang tinggi menjulang dengan marmer mengkilap dan aroma wangi ruangan membuatnya merasa tepat memilih lokasi ini. Ia disambut seorang wanita berpakaian rapi, staf marketing apartemen.
“Selamat sore, Mbak Meira? Saya Rani, marketing di sini. Mari, saya antar untuk lihat unitnya,” ucapnya ramah.
Mbak Rani tersenyum ramah sambil menunjukkan brosur apartemen pada Meira.
“Jadi, unit yang Mbak incar itu tipe 2 bedroom dengan kondisi fully furnished. Fasilitasnya lengkap ada kolam renang, gym, keamanan 24 jam, parkir pribadi, dan juga view kota yang cantik dari lantai atas,” jelasnya.
Aruna mengangguk pelan, memperhatikan penjelasan itu.
“Untuk harga sewanya sendiri,” lanjut Mbak Rani, “sekitar Rp9.500.000 per bulan. Pembayaran langsung ke pihak apartemen, jadi tidak perlu melalui orang lain. Sudah termasuk perabotan, jadi tinggal bawa koper saja.”
“Wah, fasilitasnya cukup lengkap juga ya,” sahut Meira, terlihat sedikit lega mendengar penjelasan yang jelas dari Mbak Rani.
Tanpa banyak bicara, hanya mengikuti langkah Rani menuju lift. Di lantai 25, pintu lift terbuka menampilkan lorong yang bersih dan sunyi. Mereka berhenti di depan sebuah pintu unit.
Begitu pintu dibuka, Meira langsung terpesona. Ruangan luas dengan jendela besar menampilkan pemandangan gedung-gedung Jakarta yang berkilauan menjelang malam. Interiornya minimalis, dinding putih bersih, dan balkon kecil yang bisa dipakai untuk duduk menikmati kota.
“Ini tipe 2 kamar tidur, 85 meter persegi, Mbak. Sudah semi furnished: ada kitchen set, AC, dan lemari built-in. Kalau Mbak mau full furnished, nanti bisa kita atur, tapi ada penambahan biaya,” jelas Rani.
Meira berjalan perlahan, membuka pintu kamar, melihat kamar mandi dengan shower kaca bening, lalu berdiri cukup lama di depan jendela. Ada rasa puas di matanya, seakan apartemen ini bisa jadi simbol kebebasan barunya dari rumah dan ibunya.
Tanpa pikir panjang ia menoleh, “Saya ambil unit ini. Tolong siapkan semua administrasinya. Saya tidak mau ribet, uang bukan masalah.”
Rani sempat terkejut dengan keputusan cepat itu, tapi segera mengangguk senang. “Baik, Mbak. Nanti saya siapkan dokumennya.”
Meira tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal, tapi juga awal baru dari hidupnya yang ingin lepas dari bayang-bayang sang ibu.
Hari itu juga, Meira resmi menempati unit apartemen barunya di lantai 25. Begitu pintu terbuka, ia langsung disambut oleh suasana mewah yang terasa berbeda dari rumah ibunya. Ruangan yang luas dengan dua kamar tidur, perabotan lengkap, serta jendela besar yang menampilkan pemandangan gemerlap kota Jakarta membuatnya tersenyum puas.
Perasaan lega menyergapnya akhirnya, ia bisa bernapas tanpa tekanan, bebas melakukan apa pun tanpa harus mendengar omelan-omelan yang selama ini memusingkan kepalanya. Ia menjatuhkan tubuhnya di sofa empuk ruang tamu, memandang keluar jendela, lalu tersenyum tipis. "Mulai sekarang, ini duniamu, Meira," bisiknya pada diri sendiri.
_________________________
Untuk semua kakak readers tersayang 💕 Kalau kalian merasa cerita ini menarik, aku akan sangat senang kalau bisa dapat bintang kejora 🌟 dan vote darimu. Setiap dukunganmu adalah energi positif yang bikin aku semangat update tiap hari😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Aksara_Dee
itu bukan cinta, tapi penelantaran
2025-09-02
1
Aquarius97 🕊️
Bagus sih, kirain emaknya ikut campur malak uang nya terus.
2025-09-20
1
Aquarius97 🕊️
whesss ... keren banget lu Mei... "uang bukan masalah"
2025-09-20
1