HAPPY READING
Jangan lupa follow akun author @rossssss_011
Pagi di Bandung masih dibungkus kabut tipis ketika Syla menyalakan kompor kecil di dapur. Aroma nasi goreng sederhana mulai memenuhi ruangan. Tangannya cetakan mengaduk, sementara matanya sesekali melirik ke jam dinding. Waktu bergerak terlalu cepat.
“Dion! Bangun! Jangan pura-pura mati kamu!” teriak Syla dari dapur.
Tak ada jawaban. Hanya dengkuran berat dari kamar adiknya, seperti biasanya. Syla mendengus, lalu meninggalkan wajan di atas api kecil untuk menyeret selimut Dion. Anak itu meringkuk, wajahnya damai seperti tidak ada urusan dengan dunia.
“Bangun! Kita terlambat, Dion!” Syla menggebrak kasur. Dion meringis, tapi tetap bergeming sampai kakaknya mencubit lengannya.
“Aakkhhh… sakit kak Syla,” ringisnya setengah mata terbuka.
Syla berdecak kesal. “Makanya cepatan bangun, kalau nggak kita bisa telat.”
Dion merubah posisinya, mulai bangun dengan kesadaran belum sepenuhnya terkumpul, Sebagian nyawanya masih ada pada bantal dan selimutnya. “Isss, iya ini bangun.”
“Buka mata kamu!” seru Syla. “Mandi, terus siap-siap. Kakak siapin seragam kamu,” lanjutnya seperti seorang ibu pada umumnya.
Dion tidak menjawab, hanya mengangguk saja dengan wajah yang masih sama. Syla meninggalkan kamar kecil itu, kembali ke dapur dan menata nasi goreng sederhana di atas meja makan.
“Adik kamu sudah bangun?”
Syla melihat Raka yang telah siap dengan setelan kerjanya, ayahnya bukan seorang CEO, bukan juga seorang yang memiliki jabatan tinggi di tempatnya bekerja. Raka hanya seorang karyawan biasa di sebuah perusahaan besar, mereka pindah ke sini, karena Raka dipindahkan dari tempat kerja sebelumnya.
“Sudah, Ayah,” jawab Syla.
Raka mengangguk. “Kamu benaran tidak akan terlambat jika mengantar adikmu dulu?” tanyanya di sela memakan nasi goreng di depannya.
“Tidak kok, lagi pula cuma dua puluh menit aja dari sekolah Dion ke sekolah aku.”
“Ya sudah.” Raka mengeluarkan dua lembar uang biru, memberikannya pada Syla. “Ini, berikan juga pada adikmu.”
“Ayah, ini kebanyakan.”
“Tak apa, lebihnya bisa kamu simpan untuk keperluanmu yang lain.”
Syla mengangguk saja, tak lama Dion datang dengan seragam putih birunya. Anak laki-laki berusia tuju belas tahun itu terlihat tampan dengan rambut yang disisir rapi kebelakang, kemeja putihnya di masukkan kedalam.
“Wah, nasi goreng,” seru Dion, kemudian duduk di kursi kayu yang kosong.
Syla dan Raka hanya tersenyum, walau sarapan pagi hanya dengan nasi goreng sederhana. Meja makan di rumah ini terlihat tetap hangat, seorang ayah memandang kedua anaknya dengan seragam sekolah, mengharapkan kesuksesan untuk kedua anaknya.
&&&
Setelah lima belas menit berjalan, Syla dan Dion sampai di depan gerbang sekolah Dion. Untung jaraknya tak sampai seperempat jam dari rumah.
Syla menatap Dion, kembali membenahi seragam adiknya,menyisir rambut adiknya dengan jari-jarinya. “Hari pertama jangan buat masalah, berikan kesan baik. Oke?”
Dion mengangguk dengan senyum manis. “Siap, kak Syla nggak perlu khawatir.”
“Bagus, kamu masuk sana,” Syla sedikit mendorong tubuh adiknya.
Dion sempat berbalik lagi untuk menatap kakaknya. “Kak Syla, hati-hati ya.”
Syla tersenyum, lalu mengangguk sebagai jawaban. Melihat Dion telah melewati gerbang sekolah itu, Syla melangkah ke halte terdekat. Menunggu bus yang akan membawanya ke SMA Merah Putih, tempat barunya bersekolah. Perjalanan butuh dua puluh menit, cukup untuk membuat pikirannya melayang-layang.
“Semoga hari ini lancar,” lirihnya.
Dia tidak menaruh harapan besar. Syla hanya gadis beruntung mendapatkan beasiswa penuh di sekolah bergengsi itu. Dia tidak mencari popularitas atau teman. Satu-satunya keinginannya sederhana, belajar dengan damai, tanpa drama yang melelahkan.
“Bisa Syla, kamu bisa.” Syla menatap gerbang sekolah di depannya.
Begitu kakinya menginjak halaman sekolah untuk pertama kalinya, Syla merasakan sesuatu yang berbeda. Sorot mata orang-orang terasa menelusuri setiap langkahnya.
Dalam hati, Syla tahu mungkin kesialan di hari pertamanya sudah menunggu di tikungan, dan harapannya untuk hari yang tenang tidak akan terkabul.
“Pagi pak,” Syal menyapa pria paru baya yang menjaga gerbang sekolah.
“Pagi nak,” jawabnya dengan senyum khasnya. “Kamu sepertinya bukan siswi lama, kamu siswi baru?”
Syla meringis pelan, kemudian mengangguk beberapa kali. “Iya pak, saya siswi baru.”
Pria paru baya itu tersenyum lagi. “Owh begitu,”
“Pak, ruangan kepala sekolah di mana, ya?” tanya Syla.
“Kamu dari sini, lurus saja sampai gedung utama bertingkat dua. Setelah kamu sampai di depan sana, kamu tinggal belok kiri, terus paling ujung setelah ruangan guru. Itu ruangan kepala sekolah.”
Syla mengangguk paham. “Terima kasih pak,” ucapnya tulus.
“Sama-sama.”
Bel pertama telah berbunyi, semua siswa masuk ke kelas masing-masing. Syla menyusuri koridor kelas yang sepi, matanya mengagumi interior sekolah ini. Setiap kelas yang dia lewati memiliki dekorasi mewah, hingga langkahnya tepat di depan ruangan yang dia tuju.
“Ruangan kepala sekolah,” ejanya melihat papan nama di atas ujung pintu berwarna cokelat.
Tok, tok, tok.
“Masuk,” seru dari dalam ruangan itu.
Syla merapikan kembali seragam sekolahnya, lalu menarik napas panjang sebelum membuka pintu ruangan itu dengan pelan. Saat pintu sepenuhnya terbuka, Syla dapat melihat seorang guru perempuan duduk di depan meja kelapa sekolah.
“Kamu murid baru itu, ya?” suara bas seorang mengalihkan pandangan Syla. “Masuk,” lanjutnya.
“I-ya pak, saya murid pindahan dari SMA Bakti,” jawab Syla dengan kedua tangan saling meremas.
“Baik, perkenalkan saya kepala sekolah di sini. Nama bapak Sudirman, dan guru ini adalah Bu Aras, wali kelas kamu.” Sudirman tersenyum pada Syla.
“Dan Bu Aras, ini Syla Liora. Murid baru yang saya katakan tadi.”
Aras mengangguk mengerti, tersenyum menatap Syla. “Baik pak, kalau begitu kami permisi dulu.”
Sudirman mengangguk. “Silahkan, dan Syla… semoga kamu betah di sekolah ini.”
&&&
Syla berdiri di depan kelas XI Bahasa, berhadapan dengan puluhan pasang mata yang Sebagian terlihat bosan, Sebagian lain memandangnya seperti ia adalah berita buruk yang baru saja diumumkan.
“Silahkan perkenalkan diri,” ujar Bu Aras dengan senyum tipis yang mencoba menenangkan, tapi gagal meredahkan degup jantung Syla.
Syla menarik napas pelan. “Nama saya Syla Liora, pindahan dari SMA Bakti,” ucapnya, suaranya terdengar jelas walau sedikit bergetar.
Bu Aras menatap murid-muridnya. “Ada pertanyaan?” tanyanya.
Beberapa detik hening. Sama sekali tak ada jawaban, membuat Syla semakin meremas rok abu-abunya. Suara kipas angin di sudut ruangan terdengar lebih keras dari seharusnya, tatapan-tatapan itu bukan tatapan penasaran, melainkan seperti bisikan tanpa suara: kamu nggak seharusnya ada di sini.
Barisan belakang mulai berbisik, ada yang tersenyum miring sambil melirik ke temannya, ada yang menatapnya dari atas ke bawah seperti menilai barang di etalase. Syla tak mengerti, tapi rasa dingin menyerap di punggungnya.
Bu Aras mengangguk, kemudian menatap Syla. “Duduk di sana, sebelah jendela,” perintah Bu Aras.
“Baik bu, terima kasih.”
Syla berjalan melewati lorong sempit di antara meja-meja, menunduk sedikit. Saat ia melewati bangku tengah, telinganya menangkap bisikan seorang siswi, cukup jelas untuk membuatnya berhenti seperkian detik.
“Itu yang kemarin katanya…?”
“Iya, anak baru itu. Hati-hati, dia bisa bikin masalah.”
Syla ingin bertanya maksudnya, tapi memilih mengabaikan. Ia tidak tahu kalau gosip yang mengiringi kedatangannya itu bersumber dari ceritai berantai yang jauh dari kebenaran dan entak kenapa, beberapa cerita itu bermula dari lingkaran yang bahkan belum pernah ia temui.
&&&
Bel istirahat berbunyi, memecah keheningan yang sejak tadi menggantung di kelas XI Bahasa. Suara kursi berderit, tawa lepas, dan langkah tergesa keluar kelas memenuhi udara. Beberapa siswa langsung berkelompok, membicarakan rencana makan di kantin atau nongkrong di parkiran belakang.
Di tengah riuh itu, Syla dudu di bangkunya seperti patung yang terlupakan. Tangannya meraih buku paket tebal yang tadi diberikan Bu Aras, membuka halaman pertama hanya untuk memberi dirinya alasan agar tidak terlihat kebingungan.
“Ada yang berkelahi, woi!” seru salah satu murid.
“Siapa tuh?”
“Palingan juga langganan BK.”
“Tahu aja lo.”
“Itu Ahes, siswa baru.”
“Lah, dia lawan siapa?”
“Nggak tahu, yang jelas Ahes pimpin tuh.”
Suara teriakan dan hentakan kaki mulai terdengar dari arah lapangan basket, memecah suasana siang itu. Dari jendela, terlihat bayangan siswa-siswa berlarian,Sebagian berteriak heboh, Sebagian lagi hanya ingin melihat keributan yang sedang memanas.
“Ahes?” bisik seorang siswa laki-laki yang berlari keluar kelas setelah mendengar nama itu.
Syla yang penasaran pun perlahan mengalahkan keinginannya untuk tetap duduk diam. Ia melangkah ke balkon, mencari sumber keramaian.
“Kenapa mereka suma cuma lihatin, nggak dipisahin,” bisiknya entah pada siapa.
KAYAK BIASA YA BESTIE😌
KOMENNYA JANGAN LUPA, LIKENYA JANGAN KETINGGALAN JUGA YA, KARENA SEMUA ITU ADALAH SEMANGAT AUTHOR 😁😉😚
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA MASIH TETAP BETAH DI SINI😗😗🙂🙂
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA 🤗
PAPPA
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments