Yola bersyukur ketika dirinya mendapatkan Yoto. Rasanya ingin memberhentikan waktu. Walau bagaimanapun, Yola tetap mau waktu terus berdetak, tapi ia tidak sanggup untuk menikmati hari ke depannya.
“Sayang, terkadang aku suka mikir, aku pengen deh berhentiin waktu.”
“Kenapa emangnya?”
“Karena aku merasa setiap momen aku bersama kamu itu adalah hal yang paling penting.”
Yoto yang mendengar itu hanya tersenyum dan langsung melihat ke arah Yola.
“Emang iya? Kayaknya kamu sering marah sama aku, walaupun aku nggak tahu sih, bener marah atau enggak.”
“Aku tuh nggak pernah marah sama kamu, sih. Tapi aku ngerasa aku tuh kayak bukan pasangan yang cocok aja buat kamu. Nggak tahu ya, padahal aku ngerasa… ya, nggak cocok aja.”
“Kan itu perasaan kamu, bukan perasaan yang sebenarnya, kan?”
“Kalau menurut kamu, kita cocok nggak sih?”
Yoto menggenggam erat tangan Yola sambil menatap ke arah mata Yola dengan dalam.
“Kalau kita nggak cocok, kenapa kita harus selalu bersama? Dan sampai sekarang kita tetap terus bersama.”
“Siapa tahu kamu terima aku karena kasihan, atau… ya aku nggak tahu sih. Tapi kan kamu udah tahu ya keluarga aku kayak gimana. Menurut kamu gimana?”
“Menurut aku, keluarga kamu baik-baik aja. Emang ada yang salah sama keluarga kamu?”
“Nggak pernah ada yang salah sih, cuma maksud aku kayak… gimana ya, ya kamu tahu lah maksud aku itu gimana.”
Yoto mencoba mencerna arti dari semua pembicaraan dirinya dengan Yola.
“Begini deh, keluarga kamu jelek atau enggak itu bukan urusan tentang hubungan kita sebenarnya. Tapi lebih ke arah, kalau keluarga kamu jelek, ya udah. Buat apa? Kan kita juga nggak bisa minta atau nge-request mau keluarga yang kayak gimana. Jadi buat apa kamu ngerasa kamu itu jelek karena keluarga kamu? Kan nggak juga.”
“Ya, maksud aku aku takutnya kamu tuh merasa kayak trauma aja memiliki wanita yang kayak aku. Yang keluarganya benar-benar hancur, yang bisa dibilang bukan keluarga yang benar.”
“Terus apa bedanya sama aku? Aku juga nggak utuh. Tapi aku tetap mau sama kamu. Walaupun kamu nggak utuh, aku juga tetap mau kok sama kamu. Bukan karena kita sama, tapi emang karena kepribadian kita aja yang bisa menjadi kita satu.”
Yola merasa kadang-kadang pemikirannya memang tidak sama seperti Yoto. Tetapi ia sadar, dengan perbedaan itu bisa membuatnya semakin dewasa.
“Maafin aku yang selalu suka ngeluh ke kamu ya. Pasti kamu capek banget sama ngeluhan aku.”
“Jujur sih, aku nggak pernah capek sama rasa ngeluh kamu. Tapi lebih ke arah, aku nggak mau aja kamu selalu merendahkan diri kamu. Karena aku nggak suka, dan menurut aku kamu itu nggak pantas direndahin. Kamu itu adalah wanita yang sangat sempurna dan spesial untuk aku.”
“Emangnya pakai nasi goreng spesial? Lagian aku tuh kan juga punya kekurangan. Bukannya benar-benar kayak sempurna banget ya seperti kamu bilang.”
“Buktinya sampai sekarang aku belum pernah tuh ketemu ke-minesan kamu. Aku nggak tahu sih, cuman nggak tahu kenapa ya, kayaknya aku nggak bisa gitu melihat kekurangan kamu di mata aku. Walaupun kadang-kadang juga aku nggak nyari sih sebenarnya.”
Yola merasa terhibur dengan perkataan Yoto. Walau terkadang perkataannya itu selalu membuat dirinya tersenyum, Yola juga merasa kalau dirinya itu adalah wanita jahat untuk Yoto.
“Aku mau nanya, boleh nggak?”
“Boleh, tapi setiap satu pertanyaan harus cium pipi dulu ya. Kalau nggak cium pipi, nggak boleh.”
“Ya udah, kalau gitu aku nggak nanya deh. Rugi aku kalau mau nanya harus melakukan hal itu. Benar-benar rugi, rugi, rugi, rugi banget.”
“Udah sih, ruginya nggak usah banyak-banyak gitu kan. Jadi kesel aku dengernya. Ya udah, emang mau nanya apa? Aku dengerin deh.”
Yola merasa tidak perlu mempertanyakan hal itu karena dirinya sudah tahu jawabannya. Tetapi terkadang, hal itu bisa membuat jadi gegana sendiri tanpa sebab.
“Kamu nanya apa, nanya aja nggak papa. Aku nggak bakal minta ciuman deh, janji. Aku cuma bercanda doang tadi, nggak beneran serius kok. Maaf ya kalau pembicaraan aku membuat kamu marah atau gimana gitu.”
“Sebenarnya aku mau jujur sih sama kamu. Kalau misalkan aku nggak sama kamu di masa depan, kira-kira pemikiran kamu ke aku kayak gimana?”
“Kalau aku kasih tahu, pasti kamu akan jijik sama aku. Jadi lebih baik mendingan nggak usah aku kasih tahu. Depan nanti aku kasih tahu, kamu malah jijik sama aku. Ya nggak sih?”
“Ya nggak apa-apa sih. Kan aku mau denger dari sudut pandang kamu. Emangnya nggak boleh? Kan aku juga kepengen tahu kalau misalkan dari pandangan kamu itu tentang aku kayak gimana. Jadi aku nggak merasa menilai diri aku sendiri gitu loh. Karena kan aku percaya sama kamu.”
Yoto merasa tertantang dengan perkataan Yola. Walau bagaimanapun, Yola bukan wanita yang gampang untuk diajak jujur-jujuran atau saling menilai satu sama lain.
“Boleh, kalau kamu minta aku untuk menilai kamu. Tapi kamu jangan marah ya. Kalau misalkan kamu marah, aku nggak mau lanjutin deh, dan aku akan nge-stop di situ aja. Gimana?”
“Boleh, lakuin aja. Nggak papa kok, aku juga nggak bakal tersinggung. Kan aku janji deh. Lagian kan aku yang minta, bukan kamu yang mencetuskan utama.”
“Sebenarnya, kalau aku bilang, kamu orangnya baik kok. Nggak yang aneh-aneh. Terus kamu juga pengertian. Tapi kalau seandainya nanti kita memang nggak bersama, ya mau gimana lagi. Aku harap kamu mendapat pria yang baik daripada aku. Dan aku juga berharap kalau kita masih bisa berhubungan seperti sekarang. Walaupun kamu udah jadi istri orang, ya aku tetap tahu batas sih. Tapi aku minta tolong sama kamu, kalau seandainya suami kamu jahat sama kamu, kamu boleh datang ke aku. Dan aku janji juga nggak bakal nikah sampai kamu benar-benar merasa bahagia sama suami kamu.”
Yola yang mendengar itu merasa dirinya benar-benar jahat. Ia tidak bisa dinilai lagi, benar-benar sangat jahat.
“Tapi kamu tenang aja, aku begini bukan karena kamu kok. Tapi lebih ke arah, mungkin diri aku ini masih kurang pantas untuk kamu. Tapi aku jujur sih, dari setiap mimpi tidur aku, aku selalu berharap kalau kita mau jadi pasangan yang sempurna dan selalu bersama dalam kondisi apa pun. Walaupun terkadang aku juga banyak maunya dan banyak mintanya, tapi aku selalu berharap kalau kita selalu bersama sih.”
“Kenapa orang itu harus aku? Kenapa nggak wanita lain? Kamu layak kok dapat wanita yang lebih baik daripada aku. Tapi kenapa yang kamu harapkan itu aku? Dan kamu kan juga tahu aku itu banyak kekurangan. Sementara kamu tuh pria yang menurut aku cukup sempurna. Kenapa harus sama aku yang benar-benar jauh dari kata sempurna?”
“Karena dengan adanya kamu, aku jadi bisa sempurna. Tapi kalau sama wanita lain, aku nggak tahu aku bisa jadi sempurna atau enggak. Semuanya itu tergantung pasangan kita siapa. Tapi kalau pasangan itu yang nggak kita cintai, gimana kita mau sempurna? Kalau misalnya aku mempermainkan perasaan orang, kan aku juga jahat. Iya nggak sih?”
“Aku percaya kok, kalau misalkan kamu nggak sama aku, pasti kamu sama wanita yang lebih baik, sayang. Tapi aku makasih ya sama kamu. Kamu benar-benar masih mau sama aku. Padahal aku ini kadang-kadang pemikirannya suka sempit, dan kadang aku juga suka ngomel-ngomel nggak jelas. Tapi kamu tetap mau aja sayang sama aku.”
Yoto hanya mengerutkan dahinya dan berpikir, apakah ini maksud dari semua—keakhiran hubungan mereka yang tidak pernah mereka tahu dan mereka rencanakan.
Handphone Yoto berdering. Itu dari papanya kembali.
“Yoto, ke mana kamu? Sampai sekarang belum pulang juga. Kamu tuh kenapa sih? Udah nggak niat sekolah lagi atau gimana?”
“Hari ini hari libur, Pah. Buat apa aku sekolah? Ini tuh hari Sabtu. Masa iya aku juga harus sekolah di hari Sabtu?”
“Seenggaknya kalau kamu nggak mau sekolah di hari Sabtu, kamu tuh pulang ke rumah. Emang kamu nggak punya rumah? Lagian kenapa sih kamu suka banget tinggal di rumah orang, sampai-sampai ngerasa kayak nggak punya rumah sendiri?”
Yoto merasa kesal setiap mendapat telepon dari papanya. Tetapi selalu ada dukungan hangat dari pacarnya, yaitu Yola.
Yola selalu memberi support yang tidak pernah diharapkan oleh Yoto. Tapi dengan adanya Yola, Yoto merasa lebih hidup.
“Ya udah, pulang cepetan! Kalau kamu nggak pulang, bakal papa susulin ya! Liatin aja kamu!”
Telepon terputus begitu saja.
Yoto menghela napas dan tidak bisa berkata apa-apa, sedangkan Yola hanya diam dan mendekap Yoto dalam pelukannya dengan erat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments