Pagi itu datang dengan begitu lembut, seolah alam ingin membelai siapa saja yang terjaga. Langit tampak biru muda, dihiasi sapuan tipis awan putih yang bergerak perlahan. Sinar matahari menembus dedaunan, menimbulkan kilau keemasan di ujung-ujung rumput yang masih basah oleh embun. Burung-burung berkicau riang, menciptakan irama alami yang menyambut hari baru. Udara segar menyeruak, membawa aroma tanah dan bunga yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Suasana terasa penuh harapan, seakan dunia memberi janji bahwa hari ini akan dipenuhi senyum, semangat, dan langkah-langkah baru yang ringan.
Sekar menggeliat di atas ranjang, tangannya bergerak mengucek kedua kelopak mata. Sekar tampak linglung, semburan napas hangat di leher belakangnya membuat ia tersadar sepenuhnya, Sekar melirik ke samping samar-samar ia dapat melihat wajah tampan Johan—jendral kejam berdarah dingin itu.
Sekar melepaskan tangan Johan yang memeluk pinggang rampingnya, kelambu disibak ke samping saat kedua tungkai kakinya turun dari ranjang. Sekar menghela napas lega lepas dari pelukan Johan, ia melangkah menuju pintu. Di luar terlihat aktifitas rutin pada pembantu yang tampak sibuk, Ratna menghampiri sang majikan.
"Nyai mau langsung disiapkan air mandi kembangnya?" tanya Ratna antusias.
Mengingat Sekar—nyai satu ini dulunya sulit akur dengan sang jendral, apalagi di hati Sekar hanya ada Aji—kekasih masa lalunya. Ratna hanya takut jika Sekar dibuang seperti sampah oleh Johan, karena muak dengan tingkah laku Sekar. Ada banyak wanita pribumi yang cantik, tidak hanya ada Sekar seorang. Seorang petinggi seperti Johan dengan jentikan jari bisa mendapatkan puluhan wanita untuk dijadikan gundik, jika itu terjadi maka kehidupan Sekar tidak akan mudah.
"Siapkan, dan nanti tolong bantu aku bersiap untuk ke rumah orang tuaku," jawab Sekar lirih.
Ranta mengangguk, ia langsung bergerak ke belakang menyiapkan peralatan mandi kembang sang nyai. Sekar mendesah berat, ia melangkahkan menuju teras rumah. Menatap jauh ke depan, tidak banyak rumah warga di depan sana.
"Aku tidak mau hidup seperti ini selamanya. Aku harus cari cara untuk bisa berpisah dengan baik-baik dengan dia," monolog Sekar, ia menganggukkan kepala penuh keyakinan.
...***...
Rumah kayu berukuran sedang dengan pagar terbuat dari rotan, Ratna mengerutkan dahinya memperhatikan Sekar yang berdiri di depan rumah orang tuanya dengan ekspresi rumit. Tidak paham apa yang ingin dilakukan oleh Sekar ke rumah orang tuanya, dulu sekali Sekar paling tidak suka datang ke sini. Pintu rumah kayu terbuka, wanita yang masih tampak cantik di usia yang tak lagi muda terlihat. Pupil matanya melebar, mendapati putri sulungnya.
"Sekar!" serunya ceria, ia melangkahkan cepat mendekat ke arah Sekar.
Tubuh Sekar dipeluk tiba-tiba, Sekar tertegun tak tahu harus bereaksi seperti apa. Wanita di depannya ini terlihat begitu antusias, ia melepaskan pelukan dan menarik Sekar memasuki rumah kayu. Saat masuk Sekar mengedarkan pandangan matanya, rumah berlantaikan kayu cukup bersih. Ada radio di sudut ruangan, Sekar dibawa duduk ke kursi rotan. Ratna mengikuti dan berdiri di samping kursi, Wati meraba-raba wajah putrinya.
"Lasmi! Mbakmu datang, bawakan minum cepat," teriak nyaring Wati memerintahkan putri keduanya untuk membawakan air minum.
Tak butuh waktu lama Lasmi keluar dari arah dapur membawa segelas air putih, melangkah mendekati kursi. Ia menunduk meletakkan air minum, Lasmi tersenyum semringah mendapati kakaknya. Lasmi sangat mengagumi sang kakak, kecantikan dan kepintaran Sekar membuat banyak pemuda pribumi maupun pejabat jatuh cinta. Sayangnya sang kakak hanya menyukai Aji, sosok yang berasal dari keluarga berada. Dijadikan sebagai seorang gundik dari jendral membuat Lasmi ikut merasakan kesedihan sang kakak, akan tetapi siapa yang bisa melawan kehendak petinggi Belanda satu itu.
"Kenapa kamu datang ke sini," celetuk pria paruh baya yang datang dari arah kamar depan, ia terlihat menatap lambat sang putri.
Wajah Lasmi dan Wati berubah total, keceriaan di wajah mereka padam seketika. Dahi Sekar berlipat, pria ini ayah pemilik tubuh asli. Sosok pria patriarki yang tamak akan uang, Sekar dijual dengan harga mahal pada Johan—jenderal.
Joyo melirik putrinya dari atas sampai bawah, kebaya yang dikenakan sampai rok kain hanya mampu dibeli oleh kalangan berdarah biru, dan beberapa jajaran pejabat baik pribumi maupun pejabat Belanda. Kalung emas yang melingkar di leher jenjang putrinya membuat mata Joyo tampak serakah, ia duduk di kursi depan.
"Aku ke sini ingin meminta uang yang Ayah terima dari Jendral saat dia membawaku," sahut Sekar dengan berani, orang-orang di ruang tamu langsung melotot mendengar perkataan Sekar.
Sudut baju kebayanya ditarik-tarik perlahan oleh Wati, ibunya terlihat berkedip-kedip hanya untuk memperingatkan sang putri. Joyo mendengus kesal, melirik remeh Sekar.
"Mau uang," kata Joyo mencemooh, "kamu lupa, ayahmu ini yang membesarkanmu, menyekolahkan kamu sampai melek huruf dan angka. Uang dari Jendral itu milikku, bukan milikmu. Kalau kamu mau uang itu, maka berikan ganti padaku seribu gulden sebagai gantinya."
Mata Ratna melotot, ayah sang majikan tampaknya sangat gila. Seribu gulden bukan uang yang sedikit, jangankan seribu gulden. Sepuluh gulden saja sulit didapatkan, Lasmi menunduk ketakutan. Harga kakaknya saja bukan main, lantas bagaimana dengan Lasmi kedepannya. Entah berapa harga yang ayahnya tetapkan untuk menjualnya, dengan dalih mahar pernikahan.
Sekar terkekeh renyah, orang-orang di ruang tamu mengerutkan dahi mendengar tawa Sekar.
"An—ayah benar-benar lintah darat, pria gila yang tamak akan uang. Apakah para putri di matamu adalah hewan yang siap dijual?" Sekar menatap tak percaya ke arah Joyo.
Joyo merogoh kotak tak jauh dari posisi duduknya mengeluarkan rokok dari dalam kotak ayaman bambu, dengan santai melilit tembakau dan daun jagung kering. Ia merokok dengan santai, Sekar menjepit lubang hidungnya sementara tangan kirinya mengipas-ngipas aroma tembakau yang tak sedap membuat ia terbatuk dua kali.
"Jika ayahmu ini tidak tamak, kamu pikir bagaimana cara ayahmu ini menghidupi keluarga ini. Ada banyak anak yang harus dihidupi, kalian para anak perempuan harus membalas jasa orang tua. Kamu masih marah sampai mengatai ayahmu ini gila, huh. Kamu lupa bagaimana keadaanmu saat ini, bisa hidup seperti wanita bangsawan. Jangan terlalu munafik Sekar, Aji tidak mampu membayar uang maharmu. Seratus gulden saja dia tak sanggup, lalu kamu ingin menjadi istrinya? Mau makan apa kamu. Jadi Nyai tak seburuk apa yang terlihat bukan? Lihatlah, kita berdua sama-sama diuntungkan," tutur Joyo setelah mengembuskan asap rokok dari mulutnya.
Joyo tak tersinggung sama sekali dengan perkataan putrinya, memang benar ia tamak pada harta. Menjual Sekar dengan harga fantastis, Joyo sama sekali tidak takut atau malu dengan bisik-bisik mencemooh dan hinaan orang-orang. Ia telah hidup selama ini dengan nama buruk, tak tahu malu untuk mendapatkan pundi-pundi uang.
Bibir Sekar terbuka lalu tertutup kembali, rasanya ia bisa mati karena darah tinggi menghadapi Joyo. Pria paruh baya yang tak punya rasa kemanusiaan, apa yang diharapkan Sekar pada Joyo. Sekarang yang pasti uang itu tak akan bisa ia dapatkan, Sekar harus mencari cara lain.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments