Malam itu, Sena mati-matian meneguhkan hatinya. Tak ada ruang untuk gentar, hanya ada satu tujuannya. Dia harus berhadapan langsung dengan Bastian, pria yang terkenal dingin, keras, dan nyaris mustahil ditembus.
Sejak siang tadi, Ravian kembali menentangnya habis-habisan, tapi Sena sudah tak mau lagi menyerah pada debat kosong.
Kalau bukan begini, keluarganya mungkin bisa hancur lagi. Mereka baru saja mulai merajut kepingan kehidupan yang kemarin porak-poranda. Dan kali ini, Sena rela menanggung risikonya sendiri.
“Di mana kamar Bastian?” tanyanya pelan pada seorang wanita paruh baya yang tampak seperti pengurus di penthouse megah itu.
“Di lantai atas, Nona. Mari saya antarkan.” Suaranya tenang, sopan, tapi penuh wibawa.
Sena mengangguk, mengikuti langkah wanita itu menuju sebuah pintu besar berukir indah.
“Terima kasih, Mbak,” ucap Sena sebelum wanita itu sempat berbalik.
“Panggil saya Mbok Jena saja.”
Sena tersenyum kikuk. “Baik, Terima kasih Mbok Jena.”
Mbok Jena mengangguk kecil, lalu pergi meninggalkan Sena seorang diri di depan pintu kamar yang megah dan mencekam itu.
Sena menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantung yang tak karuan. Jemarinya bergetar ketika mengetuk pintu, lalu mendorongnya perlahan.
Begitu masuk, hawa dingin segera menyergap tubuhnya. Ruangan itu temaram, didominasi warna cokelat gelap, menimbulkan kesan muram dan berat.
Di sisi ruangan, seorang pria bertubuh tinggi bersandar pada dinding kaca kamar ini, Bastian membelakanginya.
Langkah ringan Sena terdengar, dan Bastian akhirnya berbalik. Senyum sinis terukir di bibirnya, tatapan matanya tajam penuh penghakiman. Dalam kepalanya, ia semakin mantap berpikir bahwa semua wanita sama. Pada akhirnya, mereka akan datang sendiri, menyerahkan dirinya kepada pria. Wanita di didepannya ini sebagai bukti nyatanya.
Sena berdiri kaku di depan ranjang besar, tak beranjak mendekat.
Bastian justru melangkah santai, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa. “Duduklah. Kau terlihat seperti patung di sana.”
Dengan canggung, Sena mendekat. Tangannya memilin ujung dress, tak tahu harus meletakkan diri seperti apa. “Kenapa kamu memintaku datang ke kamarmu?” tanyanya sangat lembut.
Sifat Sena memang seperti itu. Lembut dan penuh kesabaran, meski hidup berkali-kali menghancurkannya. Berbeda jauh dari pria di depannya. Keras, dingin, dan dikenal sebagai diktator.
Bastian tiba-tiba menarik pergelangan tangannya hingga ia terjatuh duduk di sofa. Dress-nya tersingkap, menampakkan paha mulus, membuatnya buru-buru merapikannya dengan wajah merah.
“Ravian sudah memberitahu mu belum kalau aku menginginkanmu?”
Sena menegakkan wajah, memberanikan diri menatapnya “Sudah. Kenapa kamu menginginkanku? Kamu bahkan tidak mengenalku”
“Karena kau cantik dan emm menggoda.” Tatapannya kini menyusuri wajah Sena dengan cara yang membuat darahnya berdesir tak nyaman.
“Jadi kamu mau apa? Memacariku?” Sena bertanya dengan polos, tulus, membuat Bastian meledak tertawa meremehkan.
“Hah yang benar saja memacarimu. Kau tau arti dari mengingkanmu itu apa?”
Sena hanya menggeleng. Dia benar tak tau maksud orang dewasa itu.
“Menginginkanmu berarti aku ingin menidurimu, aku ingin berhubungan intim denganmu” bisik Bastian tepat di telinganya, sementara jemarinya mengusap lengan pucat itu dengan gerakan sensual.
Sena tersentak, jantungnya berdegup liar. “Aku tidak mau.”
Senyum Bastian mengeras. “Aku tidak butuh persetujuan siapa pun. Banyak wanita bahkan berlari mengejarku. Dan kau? Keluargamu saja bisa berdiri tegak hari ini karena aku.”
Bastian mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Sena. Saat Sena mencoba menunduk menjauh, dagunya ditahan paksa.
“Kau tahu? Aku lah yang membantu Ravian menemukanmu. Kalau bukan aku, kau mungkin sudah lenyap jadi korban perdagangan manusia. Aku yang melacakmu, aku yang menyelamatkanmu, aku yang mempertemukanmu kembali dengan kakak kesayanganmu itu.”
Sena terdiam. Kata-kata itu menusuk, membuat dadanya tercekat.
“Tak hanya itu,” lanjutnya dingin. “Aku juga menolong Ravian menemukan keluarganya. Ibumu itu aku yang mencarikannya hingga dia bisa dirawat di rumah sakit sampai saat ini. Ayah dan Ibumu itu benar-benar menghabiskan uangku.”
Kedua mata Sena melebar. Fakta itu bagai tamparan keras untuknya. Semua itu bahkan tak pernah terucap dari Ravian, Kakaknya.
“Terkejut?” Bastian tersenyum tipis, alisnya terangkat. “Aku begitu baik pada keluargamu bukan? Lalu apa salahnya jika aku menuntut balas budi?”
Sena tampak berfikir sejenak, kenyataan tadi benar-benar menghantam dirinya. Keadaan keluarganya yang membaik ternyata atas peran pria ini.
Dia menarik nafas panjangnya. “Kamu ingin meminta balas budi dengan aku yang harus menyerahkan tubuhku?”
“Ya” jawab Bastian singkat.
“Maka lakukanlah” Sena memejamkan matanya sebentar, “Lakukan jika itu yang kamu inginkan” Sena sudah tidak bisa mengelak lagi jika ini berhubungan dengan keluarga dan kakak kesayangannya itu.
Senyum puas muncul di wajah Bastian. Ia tahu, pada akhirnya wanita ini tetap terjebak dalam genggamannya.
Dengan gerakan cepat, ia menarik tengkuk Sena dan mencium bibir mungil itu rakus. Wajah Sena yang cantik dengan kulit putih pucatnya dan bibir pink alami berbentuk hati memicu nafsu yang terus membara.
Bastian semakin memperdalam ciumannya. Sena hanya diam dan membiarkan Bastian melumat bibirnya. Dia tidak membalasnya ataupun mengalungkan tangannya di leher Bastian seperti yang biasanya orang-orang lakukan.
Alih-alih membalas, Sena hanya menangis, awalnya matanya hanya berkaca-kaca saja tetapi kemudian dia semakin lemah hingga air matanya turun membasahi pipinya.
Bastian terhenti. Rasa asin di bibirnya menyadarkan, ada air mata di sana. Tatapannya mengeras.
Sena Menangis. Dan itu membuat dalam dirinya timbul perasaan aneh yang tak suka melihat air mata itu turun dari mata wanita itu.
“Kenapa kau menangis?”
“Maaf…” jawab Sena pelan, sambil mengusap air mata yang tak henti jatuh.
Bastian menatap Sena kembali. Dalam hatinya, sempat terlintas keinginan untuk berhenti. Melihat air mata Sena jelas membuktikan bahwa gadis itu sama sekali tidak menginginkan semua ini.
Namun, nafsu dalam diri Bastian justru kian berkobar, menuntut untuk menjadikan Sena miliknya malam ini. Ia benar-benar sudah tak mampu menahan gejolak itu.
Tubuh mungil Sena bagai undangan yang sulit ditolak. Dengan sekali dorongan, Bastian membaringkan Sena di atas sofa, lalu kembali merebut bibirnya. Ciuman kali ini sedikit lebih lembut, seolah berusaha menenangkan, tapi tetap menyimpan bara yang mendesak.
Tangan Bastian tidak tinggal diam. Jemarinya mulai menelusuri tubuh rapuh itu, dari bagian atas, lehernya, bahu mulusnya hingga berhenti pada dua gundukkan menggoda yang membuat Sena bergetar halus.
Usapannya kian turun, menelusuri paha putih mulus itu, sampai akhirnya berhenti di bagian paling sensitif. Sentuhan yang semula lembut berubah lebih kasar, seiring dengan gairahnya yang semakin tak terkendali.
Sena tak lagi melawan. Ia hanya terdiam, pasrah menerima setiap sentuhan. Dan malam itu, kamar megah tersebut menjadi saksi bagaimana nafsu Bastian menguasai Sena, merenggut kepolosannya untuk pertama kali.
...****************...
Di sisi lain kota, seorang pria tenggelam dalam keputusasaan.
Ravian duduk di meja bar, menenggak alkohol gelas demi gelas, entah sudah berapa botol yang diteguknya. Pikirannya hanya satu, adiknya. Sena.
Bayangan Sena di kamar Bastian membuat dadanya sesak. Ia merasa gagal lagi sebagai kakak, gagal melindungi darah dagingnya sendiri.
“Bastian…” gumamnya lirih, suaranya pecah. “Kenapa harus Sena yang kau inginkan?”
Tangannya mengepal, matanya merah karena amarah dan mabuk. “Rasanya aku ingin membunuhmu, Sebastian Adiwangsa.”
“Tapi keluargaku… keluargaku juga bergantung padamu.”
Ia tertawa getir, menepuk meja bar hingga botol bergetar. “Bangsat. Kau benar-benar bangsat, Bastian!”
......................
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments