bab 3

Pagi berikutnya, udara pondok Nurul Falah kembali terasa segar namun menusuk tulang. Kabut tipis masih bergelayut di atas tanah, menyelimuti pepohonan mangga dan asam yang tumbuh di pinggir halaman. Suara kokok ayam bercampur dengan derit gerbang kayu yang dibuka oleh santri putra yang bertugas piket.

Dilara sudah siap sejak sebelum adzan Subuh. Mukenanya terlipat rapi di ujung ranjang, rambutnya ia kepang longgar, dan tas kecil berisi dompet serta buku catatan ia genggam erat. Meski mencoba terlihat tenang, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bukan hanya karena akan pergi bersama Gus Zizan, tetapi juga karena membayangkan tatapan-tatapan santri yang pasti akan mengikuti langkahnya.

Salsa sempat menghampirinya di depan kamar.

“Kamu yakin mau ikut? Kalau nggak, bilang aja kamu sakit. Biar ustadzah lain yang gantiin.”

Dilara menggeleng pelan. “Kalau aku nggak ikut, malah kelihatan aneh, Sal. Lagipula, ini perintah langsung Gus Zizan.”

Salsa mendesah, menepuk pelan bahu temannya itu. “Yaudah, tapi hati-hati. Jangan terlalu dekat sama Gus, biar nggak ada yang bisa ngomong macam-macam.”

Mereka berjalan bersama menuju gerbang depan pondok. Di sana, Gus Zizan sudah menunggu, mengenakan sarung biru tua dan baju koko putih. Sorot matanya teduh seperti biasa, senyumnya tipis namun hangat.

“Assalamualaikum, pagi, Dilara,” sapanya.

“Waalaikum salam, pagi, Gus,” jawab Dilara pelan, menundukkan pandangan.

Tanpa banyak bicara, mereka berjalan keluar pondok menuju pasar yang tak terlalu jauh. Jalan setapak itu dipenuhi tanah merah yang sedikit becek karena hujan semalam. Sesekali, sepatu Dilara terperosok sedikit, membuatnya harus memperlambat langkah. Gus Zizan memperhatikan, lalu menoleh.

“Hati-hati, jalannya licin.”

“Iya, Gus,” jawab Dilara, kembali menunduk, menyembunyikan rona merah di pipinya.

Pasar pondok terletak di ujung desa, tidak terlalu besar, namun ramai setiap pagi. Bau rempah-rempah, sayur segar, dan ikan asin bercampur menjadi aroma khas. Para pedagang sudah memanggil-manggil pembeli, menawarkan dagangan dengan suara lantang.

Gus Zizan berjalan mendahului, sesekali memberi isyarat pada Dilara untuk mendekat agar ia bisa menyerahkan catatan belanja. “Ini daftar perlengkapan asrama putri. Kamu yang pilih, nanti aku yang bayar.”

Dilara menerima kertas itu, matanya membaca deretan barang: sabun cuci, ember, keset, dan beberapa perlengkapan mandi. Ia mulai berkeliling dari satu lapak ke lapak lain, mencoba fokus pada tugasnya.

Namun, bahkan di pasar pun, bisik-bisik itu seakan mengikuti. Seorang ibu pedagang sempat bertanya ramah, “Santri baru ya, Nak? Kok bisa ikut Gus Zizan belanja?”

Dilara tersenyum kaku. “Iya, Bu… diminta bantu saja.”

Ibu itu mengangguk, tapi tatapannya penuh rasa ingin tahu.

Di sisi lain pasar, seorang santri putra yang sedang membeli sarung melihat mereka dan tersenyum miring. “Eh, itu kan yang katanya dekat sama Gus Zizan,” bisiknya pada temannya.

Bisikan itu terdengar samar di telinga Dilara, membuatnya memegang erat kantong plastik di tangannya.

Selesai belanja, mereka berjalan kembali ke pondok. Matahari mulai naik, mengusir kabut, namun justru membuat kepala Dilara terasa panas. Ia tak banyak bicara sepanjang jalan, hanya sesekali menjawab singkat pertanyaan Gus Zizan.

Sesampainya di gerbang, beberapa santri putri yang baru selesai mencuci baju langsung menghentikan aktivitasnya, menatap mereka berdua. Salah satunya bahkan berbisik sambil tertawa kecil, lalu melirik tajam ke arah Dilara.

Gus Zizan tampaknya tidak mempedulikan itu. Ia membantu Dilara menurunkan barang-barang belanjaan di teras aula, lalu berkata, “Terima kasih sudah membantu. Kalau ada yang bertanya, bilang saja ini tugas dari saya.”

Dilara mengangguk. “Baik, Gus. Terima kasih juga…”

Namun begitu ia masuk asrama, situasinya berubah. Dewi dan Mita sedang duduk di ranjang mereka, dan Salsa berdiri di dekat pintu. Wajah Salsa terlihat tegang.

“Lara… kamu tahu nggak, gosipnya sekarang udah sampai ke telinga beberapa ustadzah,” kata Salsa dengan suara pelan namun penuh tekanan.

Dilara menatapnya kaget. “Apa? Kok bisa cepat sekali?”

“Ya itu… Wulan yang ngomong. Katanya kamu berduaan di pasar sama Gus Zizan, belanja barang-barang pribadi. Dia muterbalikkan cerita, Lara.”

Dilara merasa perutnya mual. Ia ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Ia hanya duduk di tepi ranjang, memegang kepalanya yang berdenyut.

“Lara…” Salsa mendekat, menatapnya penuh kekhawatiran. “Kalau ini makin besar, takutnya ada yang lapor ke Kyai. Dan kalau sampai begitu…”

Salsa tak melanjutkan kalimatnya, tapi Dilara bisa menebak akhirannya.

Malam itu, saat pengajian berlangsung, Dilara benar-benar merasa semua mata tertuju padanya. Bahkan ketika Gus Zizan memulai ceramahnya, ia merasa sorot mata sebagian santri lebih sering mengarah padanya ketimbang kitab di pangkuan.

Dan saat pengajian selesai, sesuatu yang tidak ia duga terjadi. Seorang ustadzah senior memanggilnya dari dekat pintu, wajahnya datar dan suaranya tegas.

“Dilara, setelah ini ikut saya ke kantor ustadzah. Ada yang ingin saya tanyakan.”

Suara itu menggema di telinganya, membuat langkahnya goyah. Ia tahu, badai yang selama ini hanya berputar di antara bisik-bisik gosip… kini mulai bergerak ke pusat kekuasaan pondok.

*

Dilara mengikuti ustadzah senior itu dengan langkah berat. Setiap ayunan kakinya terasa seperti menyeret beban yang tak terlihat. Lorong menuju kantor ustadzah begitu sunyi, hanya terdengar suara sandal ustadzah beradu dengan lantai semen.

Setibanya di depan pintu kayu cokelat itu, ustadzah mengetuk tiga kali sebelum membukanya. Aroma wangi kayu manis bercampur bau kertas tua langsung menyeruak. Kantor itu sederhana—sebuah meja besar di tengah, rak kitab di dinding, dan kursi-kursi kayu di sisi ruangan.

“Duduk, Dilara,” ujar ustadzah itu tegas.

Dilara menuruti, tangannya ia letakkan di pangkuan agar tidak terlihat bergetar.

Ustadzah duduk di kursinya, menatap lurus ke arah Dilara. “Saya mendengar kabar kurang menyenangkan tentang kamu dan Gus Zizan.”

Dilara menelan ludah. “Kabar… apa, Ustadzah?” suaranya hampir tak terdengar.

“Bahwa kamu berduaan di luar pondok tanpa pendamping, pergi ke pasar, dan… membeli barang-barang pribadi dengan uang Gus Zizan.” Nada suaranya tidak meninggi, tapi dingin dan tajam.

Dilara buru-buru menggeleng. “Tidak, Ustadzah. Saya diminta membantu membeli perlengkapan asrama putri. Semua yang kami beli untuk pondok.”

Ustadzah itu menghela nafasnya. “ Kalau begitu, siapa yang menyebarkan cerita berbeda? Dan kamu ini santri baru, kenapa bisa melakukan hal ini?”

Dilara terdiam. Ia tidak mau menyebut nama Wulan, meski hatinya ingin sekali. Tapi sebelum ia sempat menjawab, pintu diketuk lagi.

Seorang ustadzah lain masuk—dan di belakangnya, Wulan berdiri dengan wajah datar, bibirnya mengerucut seperti menahan senyum.

“Ustadzah, ini Wulan. Katanya dia yang tahu kejadian itu,” ujar ustadzah yang baru masuk.

Ustadzah senior menoleh. “Benar, Wulan?”

Wulan melangkah maju, menundukkan kepalanya seolah sedang sopan, tapi matanya melirik ke arah Dilara. “Saya tidak bermaksud memfitnah, Ustadzah. Saya cuma cerita ke teman-teman. Soalnya saya lihat sendiri Gus Zizan dan Dilara keluar pondok pagi-pagi, lalu pulang berdua dari pasar. Kan aneh, Ustadzah… biasanya kalau belanja ada ustadzah atau santri lain yang ikut.”

Dilara menatapnya tak percaya. “Itu tugas dari Gus Zizan untuk saya, Wulan. Kenapa kamu putar-balik ceritanya?”

Wulan mengangkat bahu. “Saya cuma bilang apa yang saya lihat. Kalau orang lain mengartikan lain, itu bukan salah saya. Apalagi kalau berita ini sampai ke telinga Ummi Latifah, pasti kamu kena masalah.”

Ustadzah senior mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. “Cukup. Saya tidak mau ada gosip seperti ini di pondok. Dilara, mulai besok kamu tidak pergi berdua dengan Gus Zizan lagi. Kalau ada tugas keluar, harus ada ustadzah yang mendampingi. Mengerti?”

Dilara menunduk. “Mengerti, Ustadzah.”

Pertemuan itu selesai, tapi rasa panas di dada Dilara belum reda. Saat ia keluar, Wulan berjalan di belakangnya sambil berbisik lirih, cukup keras untuk membuat darahnya mendidih.

“Lain kali hati-hati, Dilara. Orang di sini gampang salah paham.”

Dilara tidak membalas. Ia hanya mempercepat langkah, kembali ke asrama.

Malam itu, ia sulit tidur. Kata-kata ustadzah bergema di kepalanya, begitu juga tatapan puas Wulan. Ia merasa seperti orang yang diseret ke pusaran gosip tanpa bisa melawan.

Keesokan harinya, saat sedang menyapu aula, suara langkah pelan mendekat. Ia menoleh, dan di sana Gus Zizan berdiri.

“Dilara,” panggilnya dengan nada serius. “Saya dengar ada yang memanggil kamu ke kantor ustadzah tadi malam. Apa yang mereka katakan?”

Dilara ragu sejenak. “Hanya… gosip, Gus. Mereka pikir saya dan Gus—”

“Saya tahu,” potong Gus Zizan, suaranya pelan namun mantap. “Jangan khawatir. Saya akan bicara dengan ustadzah.”

Dilara ingin mengucapkan terima kasih, tapi kata-kata itu tercekat. Ia tahu, pembicaraan itu justru bisa memancing gosip baru. Namun, tatapan Gus Zizan saat itu memberi sedikit kelegaan—seakan ia tidak sendiri dalam badai ini.

Yang tidak mereka tahu, di balik pintu aula, Wulan kembali menguping… dan bibirnya membentuk senyum penuh rencana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!