Esok harinya - Pukul Enam Pagi
Anna terbangun dengan ekspresi meringis menahan rasa nyeri. Ia duduk sambil memegang pαyυdαrαnya yang terasa sakit. Setelah itu, ia segera turun dari kasur dan berjalan cepat menuju tas yang tergeletak di atas sofa. Ia membuka tas itu lalu mencari pompa ASI. Setelah menemukannya, Anna langsung menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
Anna pun membuka bajunya dan memposisikan pompa ASI itu di pαyυdarαnya. Sesekali ia meringis saat melihat banyak ASI yang keluar.
Anna belum menikah dan bahkan belum pernah melakukan hubungan intim. Namun, akibat lonjakan hormon, pαyυdαrάnya mengeluarkan ASI. Hal ini tidak berbahaya dan bisa saja terjadi pada remaja. Oleh karena itu, Anna tidak terlalu panik meski beberapa bulan terakhir pάyύdαranya sering mengeluarkan ASI, walau ia selalu merasa nyeri bahkan sakit.
Anna merasa lega saat pάyΰdάrαnya sudah terasa ringan dan tidak nyeri lagi. Ia bergegas membuang ASI yang dipompa, lalu keluar dari kamar mandi dan bersiap menyiapkan keperluan Nicholas.
Dean menatap Anna dan Nicholas yang sedang berdiri di hadapannya. Pemandangan itu membuatnya merasa kesal sekaligus iri. Anna dengan telaten memasang dasi untuk Nicholas, sementara Nicholas hanya menatap Anna dengan tatapan dalam dan serius.
"Bikin iri aja, ahh jadi kangen sama ayang," pikir Dean dalam hati.
Anna tersenyum lembut, lalu berkata, "Oke, udah selesai."
Nicholas dengan ekspresi datar mengingatkan, "Kamu pulang gih, tapi sebelum jam 10 kamu harus udah di kantor."
Anna mengernyit, lalu bertanya, "Tapi kan jam 10 kita ada rapat di resto B, Pak?"
Nicholas menjawab singkat, "Nggak, rapatnya di kantor aja."
Anna mengangguk tanpa protes.
********
Pukul 09.10 Pagi
Suasana kantor pagi itu masih cukup tenang, hanya terdengar suara ketikan keyboard bercampur dengan dengung AC yang stabil. Anna sudah berada di meja kerjanya sejak setengah jam lalu, sibuk menata beberapa dokumen sekaligus memeriksa surel masuk. Letak mejanya strategis—tepat di depan pintu ruangan milik Nicholas—membuatnya menjadi garda terdepan sebelum siapa pun bisa menemui sang bos.
Tangannya yang sedang memegang pulpen terhenti ketika terdengar suara ketukan pelan di permukaan mejanya. Anna mengangkat kepala, keningnya sedikit berkerut. Sosok yang berdiri di hadapannya langsung ia kenali. Seorang wanita dengan penampilan rapi namun sikapnya penuh percaya diri—Angelina, sepupu jauh sang bos.
Anna berdiri secara refleks, membungkuk tipis sebagai bentuk sopan santun.
"Selamat pagi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?" sapanya ramah, menjaga nada suaranya tetap profesional.
"Apa Kak Nicho ada di dalam?" tanya Angelina tanpa basa-basi, matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang kerja Nicholas.
"Ya, Pak Bos ada di dalam," jawab Anna tetap sopan. "Tapi beliau sedang mengerjakan beberapa hal. Lagi pula, setengah jam lagi beliau akan mengadakan rapat. Kalau Nona sudah membuat janji sebelumnya, saya akan sampaikan pada Pak Nicholas."
Angelina menghela napas singkat lalu melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Anna dengan pandangan datar.
"Aku bukan orang asing. Aku ini saudara sepupu Kak Nicho. Memangnya ada peraturan yang bilang kalau keluarga harus bikin janji dulu untuk ketemu sama Kak Nicho?"
"Maaf, Nona," Anna menatapnya lurus, nada suaranya tetap terjaga. "Memang tidak ada peraturan resmi yang tertulis, tapi Pak Nicholas memerintahkan saya untuk tidak langsung memberi izin pada siapa pun yang ingin bertemu beliau—meskipun itu orang tuanya sendiri."
Tatapan Angelina berubah tajam.
"Heh, kamu mau ngelabui aku ya?" nada suaranya meninggi. "Jangan cuma karena kamu sekretaris pribadinya Kak Nicho terus kamu jadi kurang ajar. Kamu mau aku laporin ke orang tuanya Kak Nicho?"
"Maaf, Nona. Saya hanya menjalankan perintah. Kalau memang Anda sudah membuat janji, saya akan langsung memberitahu Pak Nicholas. Tapi kalau belum, sebaiknya Nona menghubungi beliau dulu untuk membuat janji," jawab Anna, kali ini dengan nada sedikit lebih tegas, namun wajahnya tetap netral.
Wajah Angelina mulai memerah, entah karena marah atau tersinggung.
"Kamu siapa berani ngatur-ngatur aku? Kamu cuma orang dari kalangan bawah yang kebetulan beruntung kerja di sini!" katanya dengan nada merendahkan.
Tanpa menunggu tanggapan, Angelina melangkah cepat ke arah pintu ruang kerja Nicholas. Tindakannya yang membuka pintu begitu saja tanpa permisi membuat Anna panik. Anna segera menyusul Angelina.
"Kak Nicho..." panggil Angelina dengan suara yang dibuat manja, nyaris mendayu.
Di dalam ruangan, Nicholas dan Dean sedang duduk berseberangan di meja kerja, sibuk memeriksa tumpukan berkas. Mendengar suara itu, keduanya sontak mengangkat kepala. Tatapan Nicholas langsung berubah—dingin, datar, dan nyaris tanpa ekspresi.
Anna yang berdiri di ambang pintu bisa merasakan atmosfer ruangan mendadak berat. Perubahan ekspresi itu begitu jelas hingga ia pun merasakannya menusuk. Dean melirik sekilas ke arah Anna, seakan membaca situasi yang sedang memanas.
“Maaf, Pak, saya sudah memberi pengertian pada Nona Angel ta—”
Ucapan Anna terhenti mendadak ketika Angelina menyela, nadanya meninggi tanpa sedikit pun rasa segan.
“Kak, gimana Kakak bisa mempekerjakan orang kayak dia?” ucap Angelina, menatap Anna dengan pandangan sinis yang menusuk. “Dia terang-terangan ngusir aku, padahal aku ini keluarga Kak Nicho. Dia juga nggak tahu malunya bilang kalau orang tua Kak Nicho aja nggak bisa masuk ke sini. Perusahaan ini katanya menjunjung tinggi kesopanan, kan? Tapi kok bisa perempuan model kayak gini kerja di sini? Kak, jangan tertipu sama wajah lugunya. Sifat dia tuh sangat-sangat nggak mencerminkan karyawan yang baik.”
Tatapan Anna tetap tenang, meski jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu ucapannya akan terdengar tegas, tapi ia tidak bisa membiarkan tuduhan itu dibiarkan menggantung.
“Nona, maaf sekali lagi! Saya hanya mengikuti perintah dari Pak Nicho, dan saya sudah menjelaskan pada Anda bahwa kalau Anda tidak memiliki janji dengan Pak Nicho maka an—”
“Lo makin kurang ajar ya!” potong Angelina kasar, langkahnya maju setengah meter mendekati Anna. “Nyahut mulu lo, anj—”
BRAKKKK!!!
Suara benturan keras membuat meja besar di hadapan Nicholas bergetar. Semua orang di ruangan itu—Angelina, Anna, dan Dean—terlonjak kaget.
Angelina langsung mematung. Napasnya memburu, dan ia menelan ludah dengan kasar ketika mendapati tatapan Nicholas yang sedingin baja. Mata pria itu menusuk seperti belati, penuh amarah yang ditekan.
“Semua yang dikatakan oleh sekretaris saya ke kamu adalah perintah dari saya,” ucap Nicholas, suaranya rendah namun setiap kata terdengar jelas dan tegas. “Kalau ada yang melanggarnya, saya nggak akan segan. Orang tua saya aja menghormati keputusan dan aturan yang saya buat. Kamu yang bahkan bukan keluarga inti, berani sekali meremehkan aturan yang saya buat.”
Angelina mulai kehilangan keberaniannya. “Kak, bu-bukan begitu... a-aku...” suaranya bergetar, kedua tangannya saling menggenggam di depan tubuhnya.
“Keluar!” perintah Nicholas, tatapannya tak goyah. “Sekali lagi saya melihat kamu menginjakkan kaki di sini, kamu lihat saja akibatnya.”
“Tapi Kak—”
“KELUAR!!!” bentaknya, kali ini lebih keras, membuat udara di ruangan terasa semakin berat.
Angelina terlonjak mundur, wajahnya pucat. Tanpa berani berkata lagi, ia berbalik dan melangkah cepat ke arah pintu. Namun sebelum benar-benar pergi, ia sempat berhenti, menoleh, dan menatap Anna dengan sorot mata penuh kebencian. Bibirnya bergerak, mengumpat diam-diam tanpa suara.
Anna hanya menarik napas panjang, mencoba mengabaikan tatapan itu.
“Kembali ke meja kamu,” ujar Nicholas singkat, suaranya sudah kembali datar. Ia menunduk lagi, fokus pada tumpukan berkas di depannya.
Anna membungkuk hormat, keluar dari ruangan, menutup pintu dengan perlahan, lalu berjalan kembali menuju mejanya.
“Dasar wanita gila, bikin mood hancur aja,” gumamnya kesal sambil menjatuhkan diri di kursinya.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Anna menghadapi wanita seperti Angelina. Sialnya, hampir semua wanita yang pernah datang dengan sikap semacam itu adalah keluarga jauh sang bos. Mereka memanfaatkan hubungan darah untuk mendekati Nicholas, dan tidak jarang ada yang kelakuannya dua kali lipat lebih parah dari Angelina. Kalau saja mereka bukan keluarga sang bos, Anna sudah pasti akan memberi pelajaran, karena kelancangan mereka jelas melewati batas kesopanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments