Malam yang larut dan hati yang tak tenang

Malam kian larut. Suasana rumah mulai tenang setelah acara buka kado usai. Beberapa orang telah kembali ke kamar masing-masing, kehangatan keluarga perlahan memudar bersama embun dini hari yang mulai menggigit udara.

Haedar dengan lembut menyarankan Sofia untuk tidur di kamarnya. Ia sendiri memilih untuk beristirahat di ruang tamu. "Biar kamu istirahat nyaman, Ay. Om di luar aja," ujarnya pelan. Sofia sempat menolak, tapi sorot mata lembut Haedar tak bisa ia bantah. Lelaki itu terlalu baik. Terlalu banyak menjaga batas, terlalu banyak menahan perasaan yang mungkin tak seharusnya ada.

Sementara itu, Zayn dan Aaryan memutuskan untuk kembali ke rumah Zayn karena semua pakaian Aaryan ada di sana. Mereka berencana kembali esok pagi.

Namun malam itu, Sofia tak bisa memejamkan mata. Jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Tenggorokannya kering, dan pikirannya tak berhenti berputar. Ia bangkit pelan, berniat ke dapur untuk mengambil segelas air putih.

Saat melintas di ruang tamu, langkahnya terhenti. Pandangannya tertumbuk pada sosok Haedar yang tengah terlelap meringkuk di sofa. Tidak ada bantal. Tidak ada selimut. Lelaki itu tidur dengan tubuh menggigil dalam dingin malam. Sejenak Sofia menatapnya lama, dadanya terasa hangat oleh rasa iba… dan sesuatu yang lebih dari sekadar simpati.

Tanpa ragu, Sofia berbalik ke kamar. Ia mengambil selimut tebal dan bantal empuk. Dengan hati-hati, ia mengangkat kepala Haedar dan meletakkan bantal itu, lalu menyelimutinya. Gerakannya penuh kelembutan, seperti seorang istri yang diam-diam mencintai suaminya dalam diam. Setelah memastikan Haedar nyaman, Sofia pun kembali ke kamar.

Namun ia tak tahu, Haedar yang tadi tampak terlelap kini membuka matanya perlahan. Senyum tipis tergambar di wajahnya. Matanya memandang punggung Sofia yang perlahan menjauh.

"Tuhan… apakah aku salah mencintai gadis itu? Keponakanku sendiri..." bisiknya dalam hati. Lalu ia kembali memejamkan mata dengan hati yang tak tenang.

***

Fajar menyingsing perlahan. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun Sofia telah selesai mandi. Rambutnya masih basah, tergerai di bahu. Ia membuka jendela kamar Haedar, membiarkan udara pagi yang sejuk mengalir masuk. Pendingin ruangan ia matikan, lampu kamar pun dimatikan. Tangannya dengan cekatan merapikan tempat tidur Haedar.

Tak lama, Haedar masuk ke kamar dengan handuk kecil menggantung di pundaknya, rambutnya juga masih basah. Ia membuka pintu kamar lebar-lebar, memastikan semua terlihat wajar. Ia tahu betul bagaimana cepatnya orang menaruh curiga.

"Ay, tolongin Om bentar, ya?" ucap Haedar sembari tersenyum.

"Boleh. Mau dibantu apa, Om?" jawab Sofia dengan ramah.

"Tolong siapin baju buat Om bawa ke batalion," katanya sambil menatap lemari.

"Oke, Om." Sofia mengangguk, lalu membatin dalam hati, “Berasa jadi istrinya, ya...”

"Abis ini kamu siap-siap, kita berangkat bareng. Om sekalian anter kamu pulang, kan Om bawa mobil sendiri," lanjut Haedar sembari meneguk air putih.

Sofia menoleh.

"Aya tinggal jilbaban aja nih, boleh gitu aja?" tanyanya.

"Ya udah, gak papa," jawab Haedar sambil tersenyum tipis.

Suara seseorang memecah percakapan mereka. "Mau balik terus, nak?"

Haedar dan Sofia menoleh. Nenek mereka berdiri di ambang pintu.

"Iya, Nek," jawab Haedar sembari menyisir rambutnya.

Sofia berjalan mendekat ke arah Haedar, lalu berkata, "Tunduk dikit, Om."

Ia membenarkan kerah baju Haedar, mengancingkan kancing bajunya yang belum rapi, lalu melipat lengan baju itu dengan cermat. Semua dilakukan dengan kelembutan yang nyaris menyayat hati.

Nenek hanya tersenyum melihat pemandangan itu. "Andai kalian bukan paman dan keponakan, mungkin kalian sangat serasi," gumamnya pelan.

Sofia tersipu, sejenak lupa bahwa neneknya masih berdiri di ambang pintu.

"Om, kopinya jangan lupa diminum ya, Aya ambilin sarapan dulu," ujarnya seraya bergegas ke luar kamar.

Sang nenek menyusul dengan senyum hangat, lalu berkata, "Carilah istri seperti Sofia ya, nak."

Haedar hanya diam. Kata-kata itu menampar lembut hatinya yang sedang berperang.

***

Sofia menyiapkan sarapan Haedar dibantu oleh ibunya Haedar. Namun tatapan dari ibu bertubuh gempal itu terasa berbeda. Ada sinis yang tak bisa disembunyikan. Sofia tetap tenang, tak membalas sepatah kata pun.

"Berasa istrinya, ya," sindir perempuan itu.

Sofia hanya tersenyum tipis. Hatinya tak ingin membuat keributan di pagi yang masih tenang.

Setelah makanan dan minuman siap, Sofia berkata pada ibunya Haedar, "Nek, Aya ke kamar dulu ya, mau nganterin sarapan Om Haedar."

"Ya sudah, habis itu kamu sarapan juga sebelum pulang," sahut ibunya Haedar sambil tersenyum.

Namun wanita bertubuh gempal itu masih saja memandang sinis. Sejak lama ia merasa risih dengan kedekatan Sofia dan Haedar. Meski hubungan darah mereka bukan langsung, tetap saja ia tak suka.

Hubungan keluarga mereka memang cukup rumit. Ibu Sofia adalah keponakan dari ibu Haedar. Ayah Zayn dan Haedar adalah sepupu. Nenek Zayn adalah nenek buyut Sofia. Jika dilihat, sebenarnya hubungan mereka jauh. Tapi bagi sebagian orang, batas itu tetap dianggap tak boleh dilanggar.

Sofia menyerahkan sarapan ke Haedar. Lelaki itu tersenyum tulus.

"Pagi ini Om serasa punya istri yang sayang banget," gumamnya sambil menatap Sofia dengan lembut.

"Kamu gak sarapan Ay?" tanya Haedar.

"Aya gak berani makan nasi, Om. Nanti malah ngantuk, bahaya di jalan," candanya.

Haedar tertawa kecil. "Ay, di ransel Om ada roti ransum. Ambil aja, kamu suka kan?"

Sofia langsung berbinar. "Beneran, Om?"

"Iya, buruan ambil. Masih ada beberapa kemasan."

Sofia membuka ransel itu, matanya bersinar senang seperti anak kecil. "Wah, ini lumayan! Buat Aya semua ya?"

"Ambil lah," jawab Haedar sambil tertawa kecil.

Zayn tiba-tiba masuk.

"Apaan tuh?" tanyanya.

"Ransum," jawab Haedar.

"Kamu suka, Ay?"

"Banget!"

"Om banyak di rumah, nanti Ay om ambilin ya," ujar Zayn.

"Ok lah, cepetan ya, Aya 20 menit lagi pulang," sahut Sofia.

Zayn langsung melesat pergi.

---

Barang-barang dimasukkan ke mobil. Beberapa bingkisan untuk Sofia juga tak lupa dibawa. Sejak kecil, keluarga Haedar tak pernah membiarkan Sofia pulang dengan tangan kosong. Itu adalah bentuk cinta dalam diam yang selalu dijaga.

Saat hendak pulang, beberapa adik-adik Haedar memprotes Sofia karena tak menginap lebih lama. Aaryan bahkan memberikan kado kecil, membuat Sofia tertawa.

"Pengantinnya gak dikasih hadiah, malah Kak Sofia yang dikasih," protes Dinda dari belakang.

Aaryan hanya menjawab, "Iri?"

"Biasa aja," sahut Dinda.

Dinda dan suaminya, Damian, juga ikut mengantar Sofia dan memberinya bingkisan kecil.

"Ini apa sih? Bukannya hadiah buat kalian?" tanya Sofia bingung.

"Gak papa, Kak. Anggap aja hadiah ulang dari kami," ujar Damian.

"Udah, gak usah nolak," tambah ibu Haedar.

Sofia akhirnya menerima dengan senyum hangat. "Makasih ya, Dinda, Damian."

Senyum mengembang di wajah mereka.

"Hati-hati di jalan ya, Kak," ucap mereka bersamaan.

Sofia menoleh ke belakang, menatap rumah itu untuk terakhir kalinya pagi itu. Rumah yang selalu terasa seperti pulang. Rumah di mana hatinya selalu tertambat… pada seseorang yang sebenarnya tak boleh ia cintai.

Tapi bagaimana bisa hati memilih siapa yang harus dicintai?

Dan bagaimana jika diam-diam, cinta itu juga kembali padanya?

Terpopuler

Comments

Tadeo Soto

Tadeo Soto

Wah, ga terasa udah kelar aja. Makasih thor!

2025-10-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!