Kamar 1825

Malam merambat lambat di Berlin.

Anna mengetuk pintu kamar Jonathan dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memeluk tablet. Ia mengenakan sweater krem lembut dan celana panjang berbahan katun gelap. Rambut panjangnya di uraikannya begitu saja, wajahnya polos tanpa riasan.

Pintu terbuka. Jonathan berdiri di baliknya dengan kaos hitam pas badan dan celana lounge panjang. Sama halnya dengan Anna. Jonathan pun tampak lebih berbeda di matanya kali ini. Tidak ada jam tangan, tidak ada sepatu kulit, tidak ada jas mahal. Tapi auranya… tetap sama, dominan.

“Masuklah,” katanya, menyisih sedikit.

Kamar yang cukup luas dan mewah dengan hanya satu orang di dalamnya, pencahayaannya hangat, tidak menyilaukan. Di meja kecil dekat jendela, dua botol air dan satu piring kecil berisi potongan apel terlihat belum tersentuh.

Anna duduk di sofa, membuka tabletnya.

“Saya sudah siapkan revisi terakhir untuk pembukaan dan ringkasan. Ingin saya jelaskan sekarang, Mr. Jonathan?”

Jonathan duduk di sofa seberang, satu kakinya disilangkan santai. Ia mengangguk.

Anna mulai menjelaskan dengan suara pelan tapi jelas. Tangannya sesekali menunjuk detail di layar. Pria itu mendengarkan, namun pandangannya tidak selalu ke tablet. Kadang ke tangan Anna, kadang ke wajahnya yang serius.

“Kenapa kau selalu terlalu tegang?” tanyanya tiba-tiba.

(Membuat anna menghentikan bicaranya)

“Saya tidak ingin ada yang terlewat, Mr. Jonathan.” Jawab Anna tenang.

Jonathan mengangguk pelan. Lalu meraih sepotong apel dari piring dan mengunyahnya perlahan.

“Coba ini,” katanya sambil menyodorkan piring ke Anna.

Anna sempat ragu, tapi mengambil satu potong. Ketika ia menggigit, Jonathan berkata pelan,

“Lihat? Tak semuanya soal kontrol dan efisiensi. Kadang... cukup menikmati yang ada.”

Anna menelan apel itu dengan sedikit kaku.

“Apakah ini bagian dari evaluasi kinerja saya?” tanyanya setengah bercanda.

“Bisa jadi,” jawab Jonathan cepat. “Atau hanya bagian dari... mempelajari manusia.”

Anna tertawa pelan, hampir tak terdengar. Tapi Jonathan tetap memperhatikannya.

Kali ini Anna bisa sedikit relex.

Ia melanjutkan menjelaskan urutan materi, meski kini nadanya lebih ringan. Sesekali Jonathan bertanya, dan sesekali ia menggoda dengan komentar kecil yang nyaris tak bisa dibedakan apakah itu serius atau hanya permainan.

Saat semuanya selesai, Anna menutup tabletnya.

“Saya akan kembali ke kamar, Mr. Jonathan. Sudah larut.”

Jonathan menatapnya sebentar. Lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu.

"Kau tidak ingin istirahat di sini nona Anna."

"Bagaimana Mr.Jonathan." Anna mencoba tegar, berusaha meyakinkan dirinya bahwa ucapan itu salah.

“Kau tahu, aku pernah punya banyak asisten,” katanya pelan sambil membuka pintu. “Tapi baru kali ini... aku merasa seseorang benar-benar memilikinya.”

Anna lega, ia yakin boss nya itu hanya coba menggoda nya lagi.

“Saya hanya menjalankan tugas,” katanya pelan.

“Begitu ya?” Jonathan tersenyum tipis. “Kalau begitu, jangan berubah.”

Anna mengangguk singkat. “Selamat malam.”

“Selamat malam, Nona Anna.”

Pintu tertutup perlahan. Anna berdiri sebentar di lorong, lalu berbalik menuju kamarnya. Tapi langkahnya terasa lebih berat daripada sebelumnya.

Di tangannya, tablet sudah mati. Tapi di benaknya... masih terlalu banyak yang menganggu di benak Anna.

Keesokan harinya

Pukul 08.45

Anna berdiri di sisi ruangan, mengecek satu per satu salinan materi presentasi dan daftar hadir. Rambutnya dikuncir rapi ke belakang. Blazer biru tua membingkai tubuhnya dengan tegas, mencerminkan profesionalisme yang sudah ia latih sejak awal.

Beberapa investor Jerman mulai memasuki ruangan, disambut dengan senyum sopan dan anggukan oleh Anna. Bahasa Inggris mereka bercampur logat khas, tapi Anna tidak terlihat gentar.

Pintu ruangan terbuka.

Mr. Jonathan melangkah masuk. Mengenakan setelan hitam dengan dasi arang. Wajahnya serius, dan matanya langsung tertuju ke arah Anna — hanya sekilas, tapi cukup membuat napasnya tercekat.

“Kita mulai dalam tiga menit,” ucapnya singkat padanya.

Anna mengangguk. “Semua sudah siap, Mr. Jonathan.”

Jonathan berdiri di depan layar, membuka presentasi dengan bahasa Inggris yang fasih dan berwibawa. Anna mendampingi di sisi kiri layar, mengatur transisi slide dan menanggapi pertanyaan teknis dengan ketepatan nyaris sempurna.

Saat sesi tanya-jawab berlangsung, seorang investor paruh baya dengan jas abu terang bersandar sedikit ke depan, menatap Anna dengan senyum yang terlalu akrab. Seperti menyiratkan sesuatu.

“I must say, your assistant is quite impressive,” katanya sambil melirik ke arah Anna. “Young, precise... and charming.”

Anna tetap tenang. Tapi Jonathan... menghentikan kalimatnya sejenak, lalu tersenyum kecil—tapi matanya dingin.

“She’s not just impressive,” jawab Jonathan pelan tapi tajam. “She’s irreplaceable. And very professional. Let’s keep this meeting that way.”

Suasana sempat menegang dua detik, lalu kembali normal saat investor itu tertawa kecil, meminta maaf, dan mengalihkan topik.

Anna tetap diam, tapi di dalam hatinya ada sesuatu yang bergerak. Ia tidak tahu harus tersanjung, terganggu, atau... merasa terlindungi.

Beberapa Jam Kemudian – Lobi Hotel

Rapat selesai. Jonathan berjalan lebih dahulu, lalu berhenti sejenak di depan lift, menunggu Anna yang membawa beberapa dokumen tambahan.

“Nona Anna kerja yang bagus,” Puji Jonathan tanpa menoleh kearah lawan bicaranya itu.

“Terima kasih, Mr. Jonathan.”

“Dan jangan pedulikan komentar tadi. Investor macam itu memang lebih suka bicara daripada berpikir.”

Anna menahan senyum. “Saya tidak tersinggung.”

Jonathan menoleh perlahan, matanya menatap dalam.

“Kau seharusnya tersinggung.”

Lift terbuka. Mereka masuk bersama, berdiri bersebelahan.

Hening. Sampai akhirnya Jonathan berbicara lagi.

“Setelah ini kau bebas. Gunakan soremu. Tapi tetap jaga ponselmu tetap aktif.”

Anna menatapnya sekilas. “Baik, Mr. Jonathan.”

“Dan jangan terlalu lama berdiri di bawah sinar matahari. Kulitmu terlalu pucat.”

Anna terdiam. Ia tahu itu bukan perintah. Tapi tetap terasa seperti... perhatian. Yang tidak ia minta.

Pintu lift terbuka di lantai mereka. Jonathan keluar lebih dulu.

Anna menyusul, dengan langkah tenang — meski pikirannya tidak lagi setenang biasanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!