"Riko, lepaskan Melati!" teriak Rosidah.
Melati semakin mengeratkan pelukannya. "Ayah... ayo, pulang, Yah," bisiknya.
Dengan amarah yang membara, aku menatap Rosidah. "Jika kalian tidak bisa merawat Melati, biar aku saja," ucapku lantang, penuh penekanan di setiap kata.
"Diam!" bentak Ferdi, anak Rosidah, yang baru saja keluar dari rumah. Teriakan itu menggema, menghentikan amarahku sejenak.
Melati ketakutan. Tubuhnya bergetar di pelukanku. Aku semakin mengeratkan pelukan, menariknya ke dalam dekapan. Aku merasa bersalah. Seharusnya Melati tidak mendengarkan pertengkaran orang dewasa yang kasar. Dia terlalu kecil untuk semua ini. Aku akan melindunginya.
"Kami sedang mendidik Melati, Melati tidak boleh bodoh seperti ibunya," ucap Ferdi.
Astaga. Perkataan macam apa ini? Aku yang disakiti Laras tidak pernah menjelekkannya di depan Melati. Aku tetap menggambarkan Laras sebagai sosok ibu yang baik untuk Melati. Aku melindungi Melati dari kenyataan pahit, sementara mereka malah meracuni pikiran anak sekecil itu.
Mendidik? Apa itu kata mendidik bagi mereka? Seperti inikah cara mendidik anak agar disiplin? Melati adalah anak yang cerdas. Dia mudah mengerti, asalkan diberi pengertian dengan baik. Tapi dia juga keras kepala, apalagi jika yang bicara keras. Apa mereka tahu itu? Aku yang selama ini mengurusnya, aku yang tahu..
"Membiarkan anak menangis di tepi jalan apa bisa disebut mendidik? Bagaimana kalau dia tertabrak?" ucapku lantang. Aku tak peduli lagi dengan kesopanan. Yang ada di pikiranku hanya keselamatan Melati.
"Apa hak kamu, ha?" Ferdi membentak, matanya tajam menusuk. "Kamu bukan siapa-siapa Melati!"
"Melati anakku!" teriakku, refleks. Aku tak boleh membiarkan Melati tahu aku bukan ayah kandungnya. Aku tak boleh membiarkan dia tahu ayah dan ibu kandungnya telah mencampakkannya. Melati harus tumbuh tanpa terluka. Aku akan melindunginya, dengan kebohongan ini, jika memang itu yang terbaik.
"Riko, lepaskan Melati!" bentak Rosidah.
"Tidak akan pernah," jawabku lantang, mendekap Melati semakin erat.
"Riko, Melati bukan..."
"Diam! Atau aku beberkan semuanya ke tetangga mengenai kejadian empat tahun lalu," ancamku.
Aku tahu mereka sangat menjaga nama baik keluarga. Jika aku ceritakan bahwa Laras hamil di luar nikah, mereka pasti akan malu.
"Ayah... ayo pulang, aku takut," bisik Melati.
Aku menepuk-nepuk punggungnya, menenangkannya. "Tenang, Ayah selalu ada untuk kamu," ucapku.
Dengan amarah yang membara, aku menatap mereka. "Jangan pernah mengambil Melati lagi dariku. Aku tak sudi melihat Melati disakiti. Aku hanya punya satu nyawa, dan akan kupertaruhkan untuknya."
Aku membawa Melati naik motor. Ia duduk di depanku, memelukku erat. Kularikan motor dengan perlahan, tak berani terlalu cepat. Melati tidak memakai jaket, kaos kaki, atau kacamata. Aku tak berani membawanya bepergian seperti ini. Aku boleh sakit, tapi tidak dengan Melati. Kalau Melati sakit, akulah yang paling menderita.
Melati tertidur di pelukanku saat aku membawa motor. Sesampainya di kosan, aku memarkirkan motor lalu menggendongnya masuk. Hatiku miris melihatnya. Wajahnya kusam, sedikit tirus. Rambutnya acak-acakan. Aku mengepalkan tanganku. Tadinya, aku berharap mereka akan merawat Melati dengan baik. Setidaknya, meskipun Melati tidak bersamaku, dia akan hidup lebih layak. Tapi, baru tiga hari berpisah, Melati sudah seperti ini.
Aku pergi ke dapur, menanak nasi. Mencuci piring yang sudah tiga hari menumpuk, tak tersentuh. Entahlah, semuanya terasa malas tanpa Melati. Tapi sekarang dia kembali. Aku harus bangkit. Kusapu dan kuberikan kamar mandi. Melati sudah kembali ke kosan, dia harus hidup nyaman walau serba sederhana.
Aku pergi ke warung, membeli lauk untuk makan siang. Sepulang dari sana, Melati sudah terbangun.
"Ayah, mandi yuk," ucapnya.
Lihatlah Melati, dia bukan anak yang susah diatur. Saat dia merasa tidak nyaman, dia akan minta mandi. "Ayo sayang, kita mandi," ucapku.
Aku menggendong Melati, badannya terasa ringan, seolah baru saja disiksa oleh kehampaan. Di kamar mandi, kubiarkan dia berdiri sendiri. Anak pintar. Belum genap empat tahun, tapi ia sudah bisa memegang sikat gigi, menggosoknya dengan gerakan yang kuajarkan.
"Ayah... ceritain lagi dongengnya," bisiknya.
Aku tersenyum. "Kalau Melati malas sikat gigi, nanti zombie datang mencari anak yang mulutnya bau," jawabku, suaraku sengaja kuubah menjadi lebih dalam. Melati tergelak. Aku mengajarinya dengan cara ini. Cara yang sederhana, namun penuh cinta.
Selesai mandi, aku membantu Melati memakai baju.
Anak itu cerdas—selalu memilih bajunya sendiri.
Kalau tak sesuai seleranya, dia akan protes.
Kami sering berdebat soal warna, model, bahkan kaus kaki.
Tapi justru di situlah letak indahnya mengurus anak.
Kadang aku bertanya-tanya…
Apa mereka tidak menyesal pernah membuang Melati begitu saja?
Aku baluri tubuh kecilnya dengan minyak telon, kutaburkan bedak, kupakaikan baju pilihannya.
Lalu kuambil sisir, merapikan rambutnya perlahan.
Kini, Melati berdiri di depanku.
Bersih. Wangi. Cantik seperti semula.
Seperti tidak pernah disakiti siapa pun.
“Ayah, jangan biarkan orang jahat ambil aku lagi,” kata Melati. Mulutnya manyun, tapi justru bikin gemas.
Aku tersenyum, mengusap kepalanya.
“Ayah nggak akan biarkan lagi. Kemarin itu… karena yang datang kakek dan nenekmu. Tapi sekarang—ajaga melati tak boleh ada yang mengambil melati.”
“Mereka itu monster, Ayah… celigala…” kata Melati dengan wajah masam.
Aku tersenyum tipis, meski hati sedikit pedih.
“Mereka tetap keluargamu, Nak. Mereka sayang, hanya belum tahu cara menunjukkannya.”
Aku tak ingin Melati tumbuh dengan benci
“Yah… mereka bilang aku bukan anak Ayah,” ucap Melati pelan. Matanya menunduk, bibirnya gemetar.
Hatiku tersayat.
Karena itu memang benar…
Tapi bagaimana bisa aku menjelaskan, bahwa cinta tak selalu butuh darah yang sama?
“Menurut Melati, gimana?” tanyaku pelan, menatap wajah mungilnya.
“Mereka monster… mana aku percaya sama mereka. Hanya Ayah yang sayang sama aku,” gumamnya lirih.
Aku menarik napas, menahan sesak.
“Kalau Melati sayang Ayah… ayo makan dulu, ya. Biar Ayah nggak sedih.”
“Oke, Ayah. Apa pun makanan dari Ayah pasti enak. Di sana aku malas makan, mukanya kayak kodok semua,” katanya polos, membuatku tertawa kecil.
Aku mengambil nasi dan mulai menyuapinya.
Melati selalu makan lahap asal aku yang menyuapi.
Sambil makan, ia tak henti bertanya ini-itu—tentang sekolah, langit, bahkan kenapa nasi putih, bukan ungu.
Kadang jawabanku masuk akal, kadang asal-asalan. Tapi Melati tetap mengangguk, seolah semua ucapanku adalah kebenaran paling suci di dunia.
Seperti biasa, aku akan mendongeng sebelum Melati tidur.
Aku tidak ingin Melati terbiasa dengan gadget—belum waktunya. Dan itu harus dimulai dariku. Saat bersamanya, ponsel selalu kusilent. Fokusku hanya untuknya.
Tapi kadang Melati merengek, minta main ponsel. Sinta sering bermain HP di depan Melati, dan anak sekecil itu... cepat sekali meniru.
Mendidik anak memang butuh keteladanan dan kekompakan. Ada pepatah bilang, anak bukan pendengar yang baik, tapi peniru yang hebat.
Malam itu, setelah dongeng selesai, Melati memelukku.
Pagi datang lebih cepat dari yang kuinginkan.
Seperti biasa, Melati mengigau dalam tidurnya. Tangan dan kakinya bergerak gelisah.
“Monster jelek… jangan ganggu Ayaku…” gumamnya pelan.
Aku menggeleng pelan, tersenyum pahit.dalam mimpinya saja dia ingin melindungiku
Pagi ini, aku mulai rutinitas seperti biasa: menyiapkan sarapan untuk Melati.
Tok-tok.
Pintu kosanku diketuk.
Saat kubuka, dua pria berseragam polisi berdiri di ambang pintu.
“Saudara Riko, Anda harus ikut ke kantor polisi. Ada laporan penculikan anak.”
Aku terdiam.
Di belakang mereka, berdiri Ferdi—dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Jadi… sejauh inikah mereka ingin menghancurkanku?
Bahkan setelah semua yang kulakukan untuk Melati?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
Ninik
g di dunia nyata g di dunia novel selalu saja org baik pasti ditindas difitnah dimanfaatkan
2025-08-05
0
Nandi Ni
ikan gabus ikan bandeng,emang dasar pak Ferdi gendeng.
2025-08-06
0
🏘⃝Aⁿᵘ𝓪𝓱𝓷𝓰𝓰𝓻𝓮𝓴_𝓶𝓪
kalian satu kk kan? gimana konsepnya 😂
2025-08-05
0