Mei menjadi bulan yang cukup hangat untuk kota Malang. Matahari bersinar begitu cerah dengan semilir angin lembut yang bersahutan.
Daun-daun dari pohon tua berguguran bagai hujan di tengah pagi yang terik. Sesekali hujan masih datang meski tak sesering bulan-bulan sebelumnya. Bunga-bunga bermekaran menyambut kemarau yang akan segera datang
Aroma cairan pembersih kaca menguar dengan lembut bersama suara desisan pelan dari botol semprot.
"Piye, Ndu? Kamu jadi ke Jogja?" tanya seorang perempuan yang mengenakan seragam karyawan.
Sewindu menoleh sekilas pada perempuan itu sebelum akhirnya kembali dengan kegiatannya — membersihkan permukaan meja. Dia tersenyum sambil menghela nafas pelan.
"Ya gitu lah, Mbak Ras," Gadis itu menegakkan tubuhnya yang sebelumnya membungkuk, "Tapi, kalau nggak lolos lagi berarti memang belum waktunya aku pergi ke Jogja, Mbak."
Laras yang sedang mengelap tumpukan piring bersih itu mendongak. "Memang hasilnya sudah keluar, Ndu?" tanyanya.
Sewindu menggeleng, namun sorot matanya seolah menyiratkan keraguan akan kemampuannya sendiri. "Belum, kan aku baru tes kemarin. Tapi, kalau dari perasaanku kayaknya nggak lolos lagi, Mbak."
Sewindu ingat betapa kewalahannya dia dalam mengerjakan soal kemarin. Banyak materi yang dia pelajari dari buku latihan soal hilang sepenuhnya.
Semburan tawa renyah terdengar dari seorang pria yang duduk di balik meja kasir. Kumis tipis memayungi bibirnya yang cenderung melengkung ke bawah, memberikan kesan galak di wajah tegas itu.
Sewindu menoleh ke arah sumber suara. "Romo senang anaknya nggak lolos tes kedua kalinya?" tanyanya dengan lantang.
Pria itu mengusap dagunya yang bersih dan terbelah. Pandangannya naik pada anaknya yang masih berdiri dengan serbet dan semprotan air pembersih di tangannya.
"Romo kan sudah bilang toh, Ndu? Kuliah itu bisa di mana saja, termasuk di Malang ini," kata Romo sambil mengetukkan penanya beberapa kali di atas buku yang ada di hadapannya.
Pria berwajah galak itu menarik tubuhnya dan bersandar pada sandaran kursi kayu. "Romo juga masih nggak ngerti, kenapa kamu ngotot sekali mau kuliah di Jogja, Ndu."
"Kampus di Malang ini juga banyak yang bagus loh, Ndu. Banyak orang dari daerah lain berebut kuliah di sini. Lah, kamu sudah enak tinggal di sini, ndak perlu merantau buat kuliah di tempat bagus, kok ya masih saja gaya-gayaan mau merantau."
Mendengar kalimat panjang dari Romo membuatnya bersungut samar. "Windu juga bingung, kenapa Romo ndak mau banget kalau Windu merantau? Wong ya Windu nggak bakal aneh-aneh di kota orang loh, Romo...."
Terhitung satu tahun sudah sejak kelulusan Sewindu dari sekolah menengahnya. Kemarin adalah tes kedua yang dia lakukan untuk lolos ke kampus yang dia inginkan sejak lama. Namun, kemarin dia benar-benar kehilangan fokus pada tesnya.
Entah mengapa jalannya seolah dihalangi dari berbagai arah. Restu dari Romo seolah menjadi faktor yang paling memengaruhi dirinya selama persiapan tes itu.
"Sing penting iku restu wong tuwo, Nduk. Kalau orang tua tidak merestui, mau kamu lari sampai gobyos juga bakal susah tercapai."
Laras yang sebelumnya membuka topik itu meringis samar. Dia merasa bersalah, seolah menyalakan api dan membiarkannya membesar begitu saja di antara Romo dan Sewindu.
Sementara itu, Sewindu meremas kain serbet di tangannya. Matanya memandang malas ke arah Romo yang kembali fokus dengan buku keuangan di hadapannya.
Sewindu langsung pergi begitu saja menuju dapur. Tepatnya menghampiri Ibu yang sedang memasak dengan karyawan lain di sana.
"Ate nandi? Iku mejane belum dilap semua!" tegur Romo lantang.
Suara itu terdengar sampai ke telinga Ibu yang sedang mengaduk bumbu. Dia melirik pada Sewindu yang datang dengan wajah kusut.
Gadis itu tak sama sekali menjawab ucapan Romo barusan. Sewindu hanya bungkam sambil membilas serbet yang dia gunakan sebelumnya.
"Romo-mu ngomong kok nggak diwangsuli toh, Nduk?" Ibu akhirnya membuka suara.
Sebenarnya dari dapur ini pun Ibu masih bisa mendengar apa saja yang dibicarakan oleh anak dan suaminya barusan. Wajar saja jika Sewindu ngambul begitu.
Sewindu mematikan keran dan membalikkan badannya. "Lah, Romo loh, Bu--"
"Dijawab, Nduk." Ibu mengulang ucapannya.
Sewindu mengembuskan nafas pelan dengan bibir yang manyun. "Iya, Romo! Ini masih ganti serbet yang baru!"
Gadis dengan rambut panjang yang diikat setengah itu memandang sebentar pada Ibu. Sorot matanya meminta pembelaan dari Ibu yang masih sibuk mengaduk bumbu di dala kuali.
"Kono!" usir Ibu pelan pada Sewindu yang masih memandanginya.
Langkah berat Sewindu kembali membawanya keluar dari dapur. Dengan kain serbet baru di tangannya, dia melewati Romo begitu saja.
......................
Mata di balik lensa kacamata minus itu berusaha fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Jalanan asing yang belum pernah dia lalui seumur hidupnya.
"Di depan itu belok kanan, Nu!" pinta seorang pria yang duduk di sampingnya.
Wisnu mengerutkan keningnya samar. Pasalnya, itu bukan jalan untuk menuju villa yang disewa oleh keluarganya.
"Bukannya lurus, Yah?" tanya Wisnu keheranan, sementara Ayah bersandar santai sambil melihat jalanan di depannya
Pria itu menggeleng. "Ke kanan. Ayah masih ingat jalanan ini," sahutnya yakin.
"Tapi, ini di maps masih lurus, Yah."
Bunda yang sebelumnya hanya diam di kursi belakang, kini menoleh pada anaknya. "Kamu nggak mau sarapan dulu tah, Nu? Nggak luwe tah kamu ini?"
Wisnu membulatkan mulutnya sambil manggut-manggut, paham. Menuruti ucapan Ayah sebelumnya, Wisnu membelokkan roda kemudinya ke kanan. Dia juga menutup aplikasi maps di ponselnya.
Di jalanan ini, Wisnu menurunkan kecepatan berkendaranya. Sesekali dia melirik pada Ayah yang katanya sudah hafal dengan jalanan kota ini.
Malang menjadi kota pilihan Bunda untuk melepas jenuh. Kali ini adalah kali pertama bagi Wisnu untuk menginjakkan kakinya di kota ini, namun tidak untuk Ayah dan Bunda yang sudah sering ke kota ini.
Ayah tiba-tiba menegakkan tubuhnya. "Itu! Sebelah kiri!"
Wisnu yang kaget langsung menepikan mobil mereka di bahu kiri jalan seperti yang Ayah katakan. Beruntung jalanan pagi ini bisa terbilang cukup lengang.
Di depan mereka, memang benar berdiri sebuah restoran yang bisa dibilang cukup besar. Bangunan itu bahkan memiliki dua lantai untuk pengunjung mereka.
Dari pintu kaca yang mengkilap, tampak seorang gadis yang sedang mengusap meja dengan serbet di tangannya. Sesekali dia juga menyemprotnya dengan cairan pembersih.
Berbeda dengan Ayah dan Bunda yang sudah bersiap turun, Wisnu masih betah di tempatnya. Papan kecil bertuliskan tutup menarik perhatiannya.
"Masih belum buka, Yah. Cari yang lain aja."
Tapi, ucapan Wisnu barusan dibalas dengan pintu mobil yang ditutup cukup kencang. Ayah dan Bunda sudah turun dan berjalan lebih dulu.
Suara lonceng kecil terdengar nyaring begitu pintu kaca itu terbuka. Ayah dan Bunda melangkah masuk dengan senyuman ramah di wajah mereka.
Sewindu mendongak dan bertemu tatap dengan mereka. "Maaf, kami belum buka. Mungkin nanti Bapak dan Ibu bisa kembali sekitar 30 menit la--"
"Brahman!" seruan lantang itu terdengar dari balik tubuh Sewindu.
Gadis itu menoleh ke arah Romo yang baru saja kembali dari dapur. Pria berwajah garang itu untuk pertama kalinya tersenyum dengan mata berbinar.
"Panggilkan Ibu-mu, Ndu!"
Romo melangkah cepat menuju seseorang yang berada di ambang pintu. Dia memeluk erat seorang pria yang ada di sana.
"Suwe ora ketemu kowe, Yud! Kangen loh aku iki," ucap Ayah, tangannya menepuk pelan bahu Romo.
Ayah menoleh ke belakang. Wisnu yang dia kira masih ada di dalam mobil ternyata sudah berdiri di belakangnya. "Salim, Nu!"
"Iki anakku, Wisnu jenenge. Ra tau ketemu toh?" kata Ayah memperkenalkan Wisnu pada Romo.
Sementara itu, Sewindu kembali datang bersama Ibu. Senyuman juga terlihat di wajah Ibu begitu melihat sepasang suami-istri yang ada di sana.
"Sehat, Mbak?" tanya Ibu basa-basi pada Bunda. Dia juga menyambut Wisnu yang mengulurkan tangannya.
Bunda dengan senyuman ramahnya mengangguk. "Aku selalu sehat, Wid."
Di sela sapaan hangat itu, Romo menoleh pada Sewindu yang masih berdiri canggung di dekat mereka. "Ini teman Romo waktu masih di Jogja, Ndu. Salim dulu!"
Sewindu mendekat, sebelah tangannya masih melingkar di lengan Ibu tanpa mau melepasnya. Satu persatu dia menyalami sepasang suami-istri yang dia kira pelanggan tadi.
"Loh, wis dadi cah perawan. Ayune talah anakmu, Wid!"
Ibu hanya tersenyum mendengarnya. Dia melepaskan tangan Sewindu yang masih melingkar di lengannya. "Wis gede tapi sek gelendotan nang ibune."
Seolah berada di dunia yang berbeda, Ayah dan Romo sudah asik dengan obrolan mereka meski masih berdiri di dekat pintu. Sementara itu, Bunda tersenyum memandang pada Sewindu.
"Duduk dulu, Mbak Ratna! Aku mau minta anak-anak bikinkan makanan sama minuman di belakang," ucap Ibu sambil berbalik. Dia menoleh pada Sewindu memintanya untuk mengantarkan ke salah satu meja yang ada di sana.
"Kalian nggak mau kenalan dulu?"
Suasana mendadak hening begitu Bunda bertanya. Semua mata kini tertuju pada Sewindu dan Wisnu yang masih sama-sama diam.
Wisnu mendongak dan menyimpan ponselnya. Dia melirik pada Sewindu sebentar sebelum mengulurkan tangannya.
"Panggil Wisnu saja," katanya memperkenalkan diri.
Sewindu mengangkat pandangannya pada pria tinggi itu. Dia menyambut uluran tangan dari Wisnu.
"Sewindu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Nurhikma Arzam
bagus nih buat aku yang bukan orang jawa bisa belajar 😁
2025-08-19
1
Mary_maki
Ceritanya bikin aku merasakan banyak emosi, bagus bgt thor! 😭
2025-08-05
1