Pagi ini, langit kota tertutup mendung tipis.
Bukan hujan, tapi cukup membuat suasana terasa dingin.
Liora memutuskan untuk pergi sendiri seperti yang dikatakan pria kemarin.
"Mau pergi sekarang?" tanya Livia
"Iya. Kamu gak usah khawatir. Aku akan baik-baik saja kok. Jaga saja toko buku ini." ujarnya
"Yayayaya. Pokoknya jangan lakuin yang aneh-aneh." balas sahabatnya yang cerewet itu.
Liora menunggu taksi dan taksi yang datang Pak Roni lagi. Ia duduk di kursi belakang taksi, memandangi jalanan yang berlalu cepat.
Pak Roni, sopir langganannya, menyapa seperti biasa.
“Mau kemana hari ini, Non?”
Aku tersenyum kecil
“Ke tempat studio tato Vendrell, Pak.”
Beliau mengangguk dan mulai mengemudi ke arah yang ditujukan.
"Jadi Non, kamu berencana mau buat tato sekarang?" tanya Pak Roni sambil melihat kaca spion
"Iya Pak. Saya mau coba sekali saja dulu. Kalau memang sesuai dengan keinginan, saya akan mencoba untuk yang kedua kali." ucap Liora
Pak Roni mengangguk. Setelah setengah jam perjalanan, mereka akhirnya sampai. Taksi berhenti tepat di depan studio itu.
The Vendrell Tattoo House.
Bangunan bergaya industrial modern dengan dinding kaca gelap. Tak ada papan neon, hanya ukiran nama yang sederhana namun mencolok. Sekali melihat, orang tahu tempat ini bukan untuk siapa saja.
Begitu Liora melangkah masuk, suara lonceng pintu menyambut, tapi kali ini tak ada rasa gugup.
Liora tahu dia ditunggu.
Zeke berdiri di balik meja resepsionis, mengenakan kemeja hitam rapi, dengan ekspresi datarnya yang khas.
“Miss Evianne, ikut saya,” ucapnya langsung tanpa basa-basi.
Liora mengikuti langkahnya menyusuri lorong panjang berwarna abu-abu gelap. Dindingnya dihiasi pigura kaca berisi sketsa-sketsa tato, tapi semuanya tampak berbeda. Bukan desain umum, tapi lebih seperti potongan cerita yang hanya dimengerti oleh orang yang mengalaminya.
Langkah Zeke terhenti di depan sebuah pintu berwarna hitam doff, dengan handle perak memanjang. Dia membuka pintu itu tanpa berkata-kata, memberi isyarat agar Liora masuk.
Ruangannya luas, jauh lebih besar dari bayangan studio tato yang dia sangka. Dinding-dindingnya terbuat dari beton ekspos yang dipoles halus, tapi tidak menciptakan kesan dingin.
Di salah satu sisi, terdapat dinding kaca penuh yang menghadap ke taman dalam, dengan cahaya alami yang masuk lembut, memantulkan siluet pepohonan.
Di tengah ruangan, ada kursi tato hitam berdesain elegan, bukan kursi standar dengan besi kasar.
Di sekitarnya, meja kerja kayu dengan permukaan marmer hitam, rapi tanpa peralatan berserakan.
Tak ada bau menyengat tinta atau alkohol.
Aroma ruangan ini seperti aroma kertas tua yang bercampur dengan wangi kayu cendana.
Lukisan-lukisan abstrak terpajang di dinding, sebagian besar hitam-putih, dengan coretan merah tipis seolah sengaja memberi aksen tajam.
Semua terasa seperti galeri seni pribadi, bukan sekadar studio.
Drevian berdiri di dekat jendela, membelakangi Liora, mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung, memperlihatkan tato di lengannya yang mendetail, seekor naga dengan mata perak.
"Saya permisi." ucap Zeke lalu membiarkan bossnya dengan gadis ini berdua.
Dia menoleh perlahan, sorot matanya tetap tenang.
“Datang sendiri, bagus.”
Liora berdiri tegang di tengah ruangan. Hari ini Ia memakai kemeja putih polos dengan celana panjang hitam, pakaian yang sangat sederhana, tapi kontras di antara wanita-wanita yang biasanya datang ke tempat ini dengan pakaian yang lebih mencolok.
Drevian menatapnya sekilas, dari ujung kaki hingga kepala, namun tatapannya tidak menilai.
Lebih seperti membaca. Dan entah kenapa, tatapannya yang tanpa ekspresi itu membuatnya merasa lebih ‘terlihat’ daripada komentar-komentar kosong yang biasa ia dengar.
“Duduk,” katanya, menunjuk kursi di tengah ruangan.
Liora duduk perlahan, merasakan kulit kursi yang dingin namun nyaman.
Drevian mengenakan sarung tangan hitam, mengambil alat tato dari laci, gerakannya pelan namun penuh presisi.
“Aku tidak menanyakan desain apa yang kau inginkan,” ucapnya tiba-tiba.
“Karena aku tak berniat mendengarkan permintaan orang yang belum tahu ceritanya sendiri.”
Liora mengerutkan kening, tapi sebelum ia sempat protes, dia melanjutkan,
“Aku tahu kamu tak datang kemari untuk menjadi seperti orang lain.”
Liora terdiam.
Drevian duduk di sampingnya, memeriksa lengan kirinya yang kecil, jemarinya menyentuh kulitnya tanpa menyentuh. Seolah membaca tekstur kulitnya lewat udara.
“Lengan ini,” katanya, suaranya datar, “terlalu jujur untuk disamarkan dengan gambar yang tak bermakna.”
Dia tersenyum tipis, namun senyum itu lebih mirip kilatan pisau.
“Jadi biarkan aku yang memutuskan, ya?”
Liora menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, namun ia hanya mengangguk.
Suara mesin tato mengisi ruangan, tapi entah kenapa, rasanya lebih seperti dentingan piano di ruangan sunyi.
Tangannya bekerja dengan konsentrasi penuh.
Tak ada obrolan basa-basi, tak ada pertanyaan random seperti di studio biasa.
Hanya suara jarum yang perlahan menyentuh kulinya, membentuk garis demi garis yang bahkan ia tak tahu bentuknya.
Liora menahan napas, tapi rasa sakitnya bukan hal yang ingin ia hindari. Rasanya justru menegaskan bahwa ia ada.
Setelah beberapa saat, Drevian meletakkan alatnya, melepas sarung tangannya. Dia mengusap lengan kecil Liora dengan lembut, memperlihatkan tato mungil berbentuk bunga kecil dengan kelopak yang seolah hampir terjatuh.
“Ini bukan tentang kelembutan,” ucapnya, matanya menatap tatonya, bukan wajahnya.
“Ini tentang bertahan, saat semua hal di sekitarmu mencoba menjatuhkanmu.”
Liora menatapnya, hatiku terasa berat, tapi anehnya, nyaman.
Drevian berdiri, kembali ke mejanya. Tanpa memandang Liora lagi, dia berkata,
“Jangan ceritakan ini ke siapapun. Hari ini, kamu bukan pelanggan. Kamu kanvasku.”
Liora tahu, dari cara dia mengatakannya, ini baru permulaan.
"Berapa harganya?" tanya Liora sedikit gugup
"Harga? Kau benar menanyakan harga?" Drevian mendekati Liora, berdiri didepannya.
Liora semakin gugup. Ingin menjawab tapi suaranya seperti ada yang menahan.
"Apakah kau tidak mendengar apa yang aku katakan tadi? Kau bukan pelanggan tapi kau kanvasku, mengerti." ucapnya sambil mengernyit.
"Oh. Baik." ucap Liora penuh kegugupan.
Liora melepaskan gulungan kemejanya dan menutupi tato dilengannya seolah-olah orang tak boleh tahu jika Ia perempuan pertama yang ditato oleh Drevian.
"Kalau begitu saya permisi." ucap Liora
Drevian memperhatikan Liora pergi dari ruangannya. Tubuh mungil yang dilapisi pakaian sopan membuatnya semakin tertarik. Dia yakin gadis ini tak seperti wanita lain yang datang padanya hanya dengan tanktop dan celana pendek.
Zeke masuk lagi kedalam ruangan Drevian.
"Bagaimana boss? Apakah anda tertarik dengan gadis itu?" tanya Zeke
"Hmm. Saya belum bisa memastikan. Tapi saya bisa melihat dari matanya. Dia begitu polos dan murni. Saya bisa merasakan belum ada pria yang menyentuh tubuh mungilnya itu."
Zeke mengerti. Dia juga merasa gadis itu berbeda. Setiap hari ada saja wanita yang datang dan kadang ada juga yang memaksa untuk langsung bertemu dengan Drevian. Tapi ia dengan lantang menolak dan mengusir wanita ja*ang itu.
Liora lalu kembali ke taksi, disitu Pak Roni tak menanyakan apapun. Pak Roni mulai mengendarai hingga sampai ke toko buku. Liora memberikan ongkos dan berterima kasih pada Pak Roni karena telah sabar menunggunya.
"Mana tatonya?" ucap Livia tiba-tiba yang langsung muncul didepan Liora.
Liora terkejut, jantungnya hampir copot.
"Tapi ini hanya kamu saja yang boleh tahu, ya." ucap Liora
"Iyalah, iya." Livia memutar matanya.
Liora mengajak Livia ke belakang toko mereka. Itu adalah rumah mereka yang langsung dilengkapi dengan ruang tamu. Mereka duduk disofa
"Ini tatonya." Liora mengangkat lengan kemejanya dan menunjukkan tato bunga
Livia melihatnya. Tato itu tak seperti yang Ia bayangkan. Ini tato yang berbeda.
"Cantik. Seleramu bagus juga." ujar Livia
Liora mengangguk dan tersenyum. Ia tahu tato ini bukan dilukis sembarangan. Ini adalah karya seni yang begitu menyatu dengan kulit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments