Seminggu kemudian ....
Setelah menjalani pengobatan intensif dan masa pemulihan yang panjang, Aiden dan Rachel akhirnya pulang ke rumah besar keluarga Salvador. Rumah itu berdiri megah dengan pilar-pilar putih dan taman luas, namun bagi Rachel, kini tempat itu terasa lebih dingin daripada rumah sakit. Saat mobil berhenti, pelayan membukakan pintu dan Nenek Hilda menyambut mereka di depan tangga marmer.
“Ayo, kita makan! Semua sudah Grandma siapkan untuk kamu,” kata Nenek Hilda sambil tersenyum manis pada Aiden. “Kamu harus banyak makan makanan bergizi agar cepat pulih.” Tatapannya penuh kasih, hanya untuk Aiden.
Rachel yang masih dalam tubuh Aiden melirik sejenak ke arah tubuhnya sendiri. Ia tahu, kali ini dirinya akan kembali merasakan dinginnya penolakan.
Ternyata benar saja. Begitu Rachel hendak masuk ke ruang makan, Hillary datang menghampiri. Wanita itu menyapa Aiden dengan sopan. Namun, segera menghentikan langkah Rachel dengan tatapan sinis.
“Sedang apa kamu di sini?” bisiknya, suaranya seperti pisau yang menembus kulit. Ia meraih tangan Rachel—tubuh Aiden—dan mencengkeramnya dengan keras.
Rachel meringis. Luka di pergelangan tangannya masih belum pulih. Akan tetapi, Hillary tidak peduli.
“Sana pergi!”
Rachel terdiam. Untuk sesaat, ia kehilangan kata. Hillary tidak pernah sekejam ini ... atau memang selama ini ia buta? Kini Rachel bisa melihat semua perlakuan itu dari sisi Aiden.
“Aku juga mau makan biar cepat sembuh,” ucapnya dengan pelan, mencoba bersikap tegar. Ia melangkah menuju meja makan.
Namun langkahnya langsung dihentikan lagi oleh Hillary. “Tidak ada makanan untukmu! Kalau kamu mau makan, nanti sisa kami. Sana kerjakan pekerjaan rumah!” ucap Hillary dengan nada merendahkan, penuh rasa superior.
Rachel terpaku. Napasnya tercekat.
“Apa? Makanan sisa?” bisiknya dengan mata membulat. Hatinya tercekat. Dulu, ia mengira itu hanya fitnah. Tapi kini, ia melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri.
“Apa yang kalian lakukan, hah?!” bentak Rachel dengan nada tinggi dan aura garang. Suaranya menggelegar seperti halnya Aiden ketika tengah murka. Namun, nada tajam itu terdengar aneh keluar dari tubuh seorang wanita yang dikenal lembut dan penurut.
Dua pelayan wanita menyeretnya ke arah dapur belakang dengan paksa. Langkah mereka kasar, tanpa belas kasih. Kaki Rachel berusaha untuk bertahan di lantai, sementara tubuh ringkihnya berusaha melawan, tetapi sia-sia.
Peluh membasahi pelipisnya, nafasnya terengah, dan luka di lengannya makin nyeri diguncang gerakan paksa. “Apa ini? Rupanya tubuh Rachel lemah begini?” batinnya gemetar. “Melawan dua wanita saja tidak sanggup.”
Ada rasa frustrasi yang menusuk dadanya—dulu, dengan tubuh Aiden yang tinggi dan berotot, ia bisa menjatuhkan dua orang sekaligus dalam satu gerakan, tanpa berkeringat. Namun kini, ia adalah Rachel. Tubuh ini rapuh. Luka-luka belum kering. Tangan yang biasa memeluk kini hanya bisa gemetar karena dicekik.
“Jangan melawan! Apa kamu ingin dapat hukuman tambahan dari Nyonya Hilda?!” desis salah satu pelayan paruh baya, tangannya mencengkeram lengan Rachel dengan kasar, tepat di luka yang masih basah.
“AAARGH!” Rachel menjerit. Nyeri menjalar seperti petir menyambar dari pundak hingga ke ujung jari. Tubuhnya bergetar menahan rasa sakit. Air mata tumpah begitu saja, bukan karena lemah—tapi karena terhina.
“Diam! Rasakan ini.” Suara itu terdengar dingin sebelum dua kali tamparan keras mendarat di pantat Rachel.
Rachel menggertakkan giginya. Matanya memerah, bukan hanya karena sakit, tapi juga karena marah dan merasa terhina. Marah pada dirinya sendiri. Marah pada sistem yang membiarkan pelayan memperlakukan nyonya rumah seperti budak.
“Berani-beraninya kalian memperlakukan aku seperti ini! Aku ini ... tuan kalian!” teriak Rachel. Suaranya pecah. Namun, justru di balik kalimat itu, terdengar keputusasaan yang tak bisa ditutupi.
Salah satu pelayan, wanita paruh baya yang dikenal pendiam, kini menatap Rachel seperti menatap sampah. “Di rumah ini, tidak ada yang peduli sama kamu, Nyonya. Bahkan Tuan Aiden pun tidak akan pernah membela, apalagi menyelamatkanmu.”
Ucapan itu menghantam dada Rachel seperti palu godam. Tuan Aiden yang mereka maksud adalah dirinya sendiri. Namun, semua orang kini membencinya, menganggapnya tidak berharga hanya karena ia berada dalam tubuh yang dianggap lemah dan menyusahkan.
Senyum pahit tersungging di bibir Rachel. “Apa ini yang kamu rasakan setiap hari, Rachel?” batinnya bergemuruh. “Kamu selalu ditindas dan dijadikan babu di rumah sendiri ... oleh semua orang ... termasuk aku.”
Puncak emosi Rachel meledak. Ia menginjak kuat kaki salah satu pelayan. Lalu satunya. Serangan yang tak diduga membuat keduanya melepaskan cengkeraman dengan teriakan tertahan.
“AAAH! Gila kau!” teriak si pelayan yang lebih tua, wajahnya merah padam. Ia menunjuk Rachel dengan amarah yang meledak-ledak.
“Kenapa?! Kau pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti tadi? Hah!” Rachel balas membentak. Suaranya menggelegar, menggema di dapur kosong. Dada Rachel naik turun, bukan hanya karena kelelahan, tetapi karena kemarahan yang telah lama terkubur dalam tubuh suaminya.
Rachel menatap dua wanita itu dengan mata menyala. Tatapan yang menusuk, seperti Aiden ketika sedang murka.
Lalu, tanpa ragu, Rachel menendang belakang lutut kedua pelayan itu secara bergantian. Kedua wanita itu terjatuh, berlutut tanpa daya di lantai marmer yang dingin. Mereka memekik. Bukan hanya karena sakit, tapi karena kaget. Ini bukan Rachel yang mereka kenal.
“Aku bukan orang yang akan diam ketika diperlakukan semena-mena!” teriak Rachel lantang. Suara yang dulu lembut dan nyaris tak terdengar, kini bergemuruh seperti badai yang menghancurkan ketidakadilan.
Napas Rachel memburu, matanya menyala merah, dan rambutnya berantakan. Namun, posturnya tegak. Ada perubahan aura yang membuat kedua pelayan itu saling melirik cemas. Mereka mulai sadar ada sesuatu yang tidak biasa.
“Kenapa dia ... berbeda?” gumam salah satunya, masih meringkuk di lantai. Napasnya tertahan oleh ketakutan.
Yang satu lagi menggeleng pelan, peluh membasahi pelipisnya. “Nyonya Rachel ... seperti ... seperti bukan dia biasanya.”
Rachel berdiri diam di tengah dapur. Kakinya masih gemetar. Bukan karena takut.
Untuk pertama kalinya, ia tahu rasanya menjadi korban yang disudutkan tanpa suara. Lalu, kali ini ... dia memilih untuk tidak tinggal diam.
Kemudian dengan satu dorongan penuh amarah, Rachel menjatuhkan kepala kedua pelayan itu hingga tersungkur ke lantai. Suara keras menggema di ruang dapur yang lengang. Kedua wanita itu meringis berteriak kesakitan sambil memegangi dahi masing-masing, tak menyangka bahwa Nyonya Rachel—yang biasanya lembut dan penurut—bisa sedemikian garangnya.
Wajah Rachel tampak keras dan dingin. Tak ada lagi gurat kelembutan, tak tersisa cermin ketakutan yang dulu selalu membayanginya. Matanya menyala, penuh bara dendam yang selama ini terpendam. Gaya bicaranya tajam, sorot matanya menusuk seperti elang yang siap mencabik mangsanya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki tergesa—derap sepatu kulit Aiden yang khas, lalu hentakan ringan sepatu Hillary, dan bunyi tongkat kecil Nenek Hilda yang bergema keras saat menabrak lantai marmer. Ketiganya muncul di ambang pintu dapur, serempak tertegun melihat pemandangan tak biasa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ita rahmawati
kalo udah ketuker tubuhnya berarti tenaga juga ya,,lucu dong kalo badan aiden jalannya bergaya rachel dn gk nisa berkelahi kalo ada yg mau mencelakai 🤣🤣
2025-08-04
2
Susi Akbarini
akankah Rachel membela suaminya yg menghukum playan2 itu..
akankah dia mengajak makan suamunya satu meja dengannya dan ganti menghardik hillaru dan nenek...
😀😀😀❤❤❤
2025-08-03
3
Susi Akbarini
bagus Aiden kamu harus balas pelayan2 kurang aja itu..
😀😀😀❤❤❤❤
2025-08-03
3