5

Malam itu, Yun Xiao tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan tentang nama barunya dan keluarga barunya. Ia merasa bersyukur atas kesempatan kedua yang diberikan kepadanya.

Namun, ia juga merasa khawatir. Ia khawatir jika Mo Hui menemukan keberadaannya dan menghancurkan kebahagiaan yang baru saja ia temukan.

Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Ia menatap langit malam yang bertaburan bintang.

"Aku berjanji, aku akan melindungi keluarga ini," gumamnya, Tangannya terkepal. "Aku tidak akan membiarkan Mo hui menyakiti mereka."

Tiba-tiba, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ia berbalik dan melihat Yun Banxia berdiri di ambang pintu.

"Tidak bisa tidur?" tanya Yun Ban Xia lembut.

Yun Xiao menggelengkan kepalanya,"Yah..., begitulah, kepalaku sedikit pusing."

Yun Ban Xia mendekat dan berdiri di sampingnya. "Yun xiao, jangan terlalu memaksakan dirimu untuk mengingat sesuatu. Semuanya butuh waktu."

Xin Lan tersenyum tipis. "Baik, Terima kasih."

Yun Banxia tersenyum dan mengacak-acak rambut Yun Xiao. "Sudah malam, sebaiknya kau tidur. Istirahatlah yang cukup."

Xin Lan mengangguk dan kembali ke tempat tidur. Ia memejamkan mata dan mencoba untuk tidur.

Namun, pikirannya terus melayang-layang. Ia tidak bisa menghilangkan rasa khawatir dan takutnya.

Ia tahu, kehidupan barunya tidak akan mudah. Ia harus menghadapi banyak tantangan dan rintangan.

Namun, ia bertekad untuk tidak menyerah. Ia akan melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarga Yun dan menebus dosa-dosanya.

...

Sinar Mentari pagi di musim semi menyapu lembah Sungai Shan, hangatnya membelai kulit Xin Lan yang basah oleh keringat. Udara segar bercampur aroma tanah basah dan dedaunan muda memenuhi paru-parunya. Di sekelilingnya, tebing-tebing batu besar membelah aliran sungai yang deras, menciptakan panorama alam yang dramatis. Air sungai bergemuruh, irama alamiah yang mengiringi setiap gerakan Xin Lan.

Xin Lan, dengan rambut hitam panjangnya yang terikat rapi, berdiri tegak di atas batu datar yang licin. Tubuhnya lentur, seperti ranting muda yang siap membengkok dan melesat. Ia mengenakan pakaian latihan berwarna putih bersih, sederhana namun elegan, yang kontras dengan keagungan alam di sekitarnya. Di tangannya, sebuah kayu pipih panjang berujung runcing yang menyerupai bentuk pedang .

Gerakannya begitu cepat dan tepat, seperti tarian mematikan. Setiap ayunan pedang kayu, setiap tendangan, setiap lompatan, diiringi oleh desiran angin dan percikan air sungai. Ia melompat dari satu batu ke batu lainnya, keseimbangannya sempurna, seolah ia lahir untuk menari di atas aliran sungai yang deras itu. Pedangnya menari-nari di udara, membentuk pola-pola rumit yang memukau.

Sekilas, ia tampak seperti penari yang anggun, Wajahnya fokus, serius, tanpa sedikit pun kecerobohan. Hanya detak jantungnya yang bergemuruh, berpadu dengan gemuruh sungai, menjadi satu kesatuan yang harmonis.

Di tengah latihannya, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Mata elangnya menatap aliran sungai yang deras, merenungkan setiap gerakannya. Ia mencari kesempurnaan, bukan hanya dalam teknik, namun juga dalam harmoni antara dirinya dan alam.

Kemudian, ia melanjutkan latihannya dengan semangat baru. Gerakannya semakin cepat, semakin kuat, semakin memukau. Pedang kayu yang ia gunakan menyambar dedaunan dan kelopak bunga yang berjatuhan, seperti kilat yang menyambar bumi. Ia berlatih dengan tekun, tekadnya tak tergoyahkan. Ia ingin menguasai seni bela dirinya, bukan hanya untuk melindungi diri, namun juga untuk mengharmoniskan dirinya dengan alam yang begitu agung.

Sinar matahari semakin tinggi, menandakan waktu berlalu. Namun, Xin Lan tetap berlatih tanpa lelah. Ia adalah satu kesatuan dengan alam, dengan Sungai Shan yang deras, dengan batu-batu besar yang membelah alirannya. Ia adalah pendekar muda yang tengah mengukir jalannya menuju kesempurnaan, di tengah keindahan alam yang menakjubkan.Tiba-tiba, dengan gerakan cepat dan tepat, Xin Lan melemparkan sebuah belati kecil yang tersembunyi di balik pakaian latihannya. Belati itu melesat bak anak panah, mengenai tepat sasaran: sebuah pohon sakura yang bermekaran di tepi sungai, bunga-bunga merah mudanya berjatuhan seperti hujan lembut. Gerakannya begitu cepat dan akurat, seolah ia hanya perlu melirik sekilas untuk menentukan targetnya.

"Keluarlah."Ucap Xin Lan dengan nada dingin.

Dari balik pohon sakura, muncullah seorang pemuda yang nampak familiar bagi Xin Lan,Ia adalah Yun Ling, putra kedua dari keluarga Yun.

"Ma... Maafkan aku, kakak kedua, A...aku tidak bermaksud untuk mengganggu latihanmu,A..aku disuruh Ibu untuk mencarimu."Ucap Ling panik.

Xin Lan menoleh, tatapannya tajam namun tidak mengancam. Ia melihat Ling dengan saksama, Ling terlihat ketakutan, tangannya memegang erat sebuah pedang kayu sederhana.

"Kau Berlatih pedang?" tanya Xin Lan, suaranya tenang dan lembut, berbeda dengan aura kuat yang terpancar darinya saat berlatih.

Ling mengangguk cepat.

 "I...iya Aku berlatih sendiri, Ah,Ya Ibu tadi menyuruhku mencari anda, Beliau sangat khawatir Karena anda tiba tiba menghilang."Jelas Ling.

Xin Lan tersenyum tipis, senyum yang jarang terlihat. " Astaga..., Tolong Rahasiakan pada ibu ya! Aku tidak suka Berdiam diri seharian di ranjang, Hei,Jika kau ingin berlatih bersama, aku bersedia membantumu."

Ling terkesiap, tidak menyangka tawaran tersebut. "Benarkah!?"

Xin Lan mengangguk. ia masih merasa aneh dengan nama barunya,"Ayo! Kita mulai dari dasar. Pegang pedangmu dengan benar. Rasakan keseimbangan tubuhmu. Dan ingat, seni pedang bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang ketenangan pikiran."

Xin Lan kemudian mengajarkan Ling teknik dasar memegang pedang, cara menjaga keseimbangan, dan langkah-langkah sederhana namun efektif. Ling belajar dengan tekun, menyerap setiap petunjuk dari Xin Lan. Mereka berlatih di tepi sungai, dengan gemericik air sebagai musik latar. Xin Lan, yang biasanya terlihat dingin dan serius, menunjukkan kesabaran dan kelembutan yang tak terduga saat membimbing Ling.

Matahari mulai pergi ke ufuk barat yang menandakan berakhirnya sesi latihan. Ling, walaupun lelah, ia merasa sangat senang. Ia telah belajar banyak dari Xin Lan, tidak hanya tentang seni pedang, tetapi juga tentang pentingnya kesabaran, disiplin, dan harmoni dengan alam. Ia berjanji untuk kembali esok hari, dengan tekad yang lebih kuat untuk menguasai seni pedang. Xin Lan tersenyum, menatap gadis muda itu dengan penuh harapan. Ia melihat potensi besar dalam diri Ling, potensi yang perlu diasah dan dibimbing.

langit Sudah mulai menggelap dengan gradasi jingga dan ungu. Ling, masih sedikit gemetar karena sisa-sisa latihan yang melelahkan, akhirnya ia ikut duduk di samping Xin Lan di tepi sungai. Air sungai mengalir tenang, menciptakan irama menenangkan. Ia masih terpesona oleh keahlian Xin Lan.

"Kakak kedua!... Terima kasih banyak atas bimbinganmu hari ini. Aku belajar banyak sekali! Aku belum pernah merasakan gerakan pedang secepat dan sehalus itu sebelumnya." Ia sedikit menunduk, matanya berbinar-binar penuh kekaguman.

Xin Lan mengangguk acuh tak acuh "Sudahlah ,Kau sendiri juga cukup berbakat. Jika kau terus berlatih dengan Teknik yang ku ajarkan tadi dengan tekun aku yakin kau akan melampaui ku."

Pemuda itu tersenyum malu-malu, tetapi matanya masih penuh rasa ingin tahu "Aku mengerti. Tapi... bolehkah aku bertanya beberapa hal lagi? Aku sangat penasaran..."

menatap Ling shan sebentar, menilai ketulusan pemuda itu "Tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan."Sembari membaringkan tubuhnya.

menarik napas dalam-dalam, berusaha memberanikan diri "Se... sebenarnya Darimana Nona berasal? Aku belum pernah melihat seseorang se-terampil kakak di desa ini bahkan Di seluruh wilayah Qing shui!. Gerakan kakak... itu sangat berbeda. Seperti... seperti tarian kematian yang memukau."

Xin Lan hanya tersenyum tipis "Entahlah...Aku tidak terlalu ingat.. Yang kuingat hanyalah sebuah nama Tiandou ." Ia berbohong dengan sangat lancar, menutupi identitas aslinya.

"Ssstt..ugh!" Xin Lan berpura-pura memegangi kepalanya, ekspresinya menunjukkan rasa sakit yang tiba-tiba.

"Ma...maafkan aku kakak kedua, a...aku terlalu Memaksamu." Ling segera mendekat, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.

Xin Lan tersenyum tipis, melepaskan tangannya dari kepala. "Tidak apa-apa, Ling. Aku hanya sedikit pusing. Mungkin karena terlalu lama berlatih." Ia mengusap rambut Ling pelan. "Ayo, kita kembali ke rumah. Bibi Yun pasti sudah khawatir."

Mereka berdua berjalan kembali ke desa, Ling terus bercerita tentang impiannya menjadi pendekar pedang hebat, sementara Xin Lan mendengarkan dengan senyum samar. Dalam hatinya, ia merasa sedikit lega. Kebohongan kecil itu berhasil mengalihkan perhatian Ling. Namun, ia tahu, cepat atau lambat, masa lalunya akan mengejarnya.

Setibanya di rumah, aroma masakan Bibi Yun menyambut mereka. Namun, kehangatan itu sirna seketika saat Bibi Yun melihat Xin Lan. Wajahnya yang tadinya berseri-seri berubah menjadi mendung. Ia menghampiri Xin Lan dengan langkah cepat, matanya menyala-nyala.

"Yun Xiao! Dari mana saja kau?!" bentak Bibi Yun, suaranya menggelegar. "Ibu mencarimu ke mana-mana! Kau tahu betapa khawatirnya Ibu?!"sambil mencengkram erat kedua bahunya.

Xin Lan terkejut mendengar bentakan Bibi Yun. Ia tidak pernah melihat wanita itu semarah ini. Ia menundukkan kepalanya, merasa bersalah.

"Bu, Aku hanya berjalan-jalan sebentar," jawab Xin Lan lirih, berusaha meredakan amarah Bibi Yun.

"Berjalan-jalan?!" Bibi Yun semakin naik pitam. "Kau masih belum pulih sepenuhnya! Kau seharusnya istirahat di tempat tidur! Kau tahu tidak, jantung Ibu hampir copot karena khawatir!"

"Ibu, Kakak Kedua tidak menghilang! Dia mengajariku berlatih pedang di tepi sungai!" seru Ling dengan bersemangat, tanpa menyadari situasi yang sedang terjadi.

Bibi Yun menatap Xin Lan, lalu menatap Ling. "Berpedang?!" tanyanya, nada suaranya berubah menjadi dingin dan menusuk. Ia tidak menyangka Xin Lan akan melakukan hal yang sebodoh itu.

Xin Lan hanya tersenyum tipis, merasa semakin bersalah karena telah membuat Bibi Yun khawatir dan marah. "Hanya sedikit saja, Bibi. Aku tidak ingin Ling terlalu lama menunda latihannya."

"Sedikit katamu?!" Bibi Yun mencubit lengan Xin Lan dengan gemas. "Kau ini memang keras kepala! Kau tidak memikirkan perasaan Ibu sama sekali!"

"Aduh, ibu! Sakit!" rintih Xin Lan, berusaha melepaskan cubitan Bibi Yun, walaupun sebenarnya Xin Lan tidak merasakan apa apa.

Bibi Yun semakin mengeratkan cubitannya. "kau baru saja sembuh dari lukamu! Berpedang di sungai yang dingin bisa membuatmu sakit lagi!"

"Maaf, ibu. Aku tidak memikirkannya," jawab Xin Lan lirih, merasa semakin bersalah.

Bibi Yun melepaskan cubitannya dan berkacak pinggang, Kemudian memeluk Xin Lan, Bibi Yun menghela napas panjang. Ia merasa bersalah karena telah memarahi Xin Lan, namun ia juga merasa lega karena telah mengungkapkan kekhawatirannya.

...

"Tidak bisa tidur?" tanya Yu Zhang lembut.

Xin Lan menggelengkan kepalanya. "Aku hanya... merasa sedikit bersalah."

Yu Zhang mendekat dan berdiri di sampingnya. "Kau tidak perlu merasa bersalah, Yun Xiao. Bibi Yun hanya khawatir padamu."

Xin Lan menghela napas panjang.

Yu Zhang tersenyum tipis. "Aku mengerti perasaanmu .Tapi, kau harus ingat, kau tidak bisa selalu melakukan apa yang kau inginkan. Kau harus memikirkan perasaan orang lain juga."

Xin Lan terdiam sejenak. Ia tahu, Yu Zhang benar. Ia tidak bisa egois. Ia harus belajar untuk mengendalikan diri dan memikirkan perasaan orang lain.

"Terima kasih," ucap Xin Lan tulus.

Yu Zhang tersenyum dan mengacak-acak rambut Xin Lan. "Sudah malam, sebaiknya kau tidur. Istirahatlah yang cukup."

Xin Lan mengangguk dan kembali ke tempat tidur. Ia memejamkan mata dan mencoba untuk tidur.

.....

Terpopuler

Comments

·Laius Wytte🔮·

·Laius Wytte🔮·

Thor, aku sudah tidak sabar untuk baca kelanjutannya!

2025-08-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!