BAB 5 PULANG KE RUMAH

.Lukas dan Galih serempak menoleh ke sumber suara. Seorang pria paruh baya dengan jas rapi dan wajah dingin berdiri di ambang pintu.

"Pak Leon..." desis Galih, terkejut. Itu pengacara keluarganya.

Lukas tersenyum miring. "Oh, Pengacara Leon. Sudah lama kita tak bertemu. Kebetulan sekali kau datang. Aku sedang ingin mengambil seluruh harta keluarga Baskara... hari ini juga."

Nada suaranya ringan, tapi maknanya seperti pisau yang siap menusuk.

Kalau Leon sudah muncul, lebih baik masalah ini segera diselesaikan.

Galih hanyalah pria bodoh—dalam tekanan, dia nyaris menyerahkan segalanya: harta, istri, dan anaknya… tanpa perlawanan berarti. Tapi tidak dengan Leon.

Leon bukan orang biasa. Di balik sikap tenangnya, tersimpan otak tajam dan naluri bertarung yang tak bisa diremehkan.

Beri dia sedikit waktu saja, dan dia bisa membalikkan keadaan—bahkan di tengah permainan paling kotor sekalipun.

“Mengambil alih harta?” tanya Leon dengan nada tenang namun penuh tekanan.

“Atas dasar apa Anda ingin mengambil seluruh kekayaan keluarga Baskara?” lanjutnya, menatap Lukas tajam tanpa gentar.

“Tentu saja… karena si anak haram itu sudah mati,” ucap Lukas dengan nada datar, tanpa emosi.

“Sesuai perjanjian, keluarga Baskara harus menyerahkan seluruh hartanya padaku. Bukankah begitu?” lanjutnya sambil menatap Leon tajam, seolah kemenangan sudah di genggaman.

“Sepertinya Anda berniat bermain curang, Tuan,” ucap Leon tenang, namun sorot matanya menyiratkan kewaspadaan.

Nada suaranya tetap datar, tapi mengandung sindiran tajam. Ia tidak menggertak, tapi jelas menunjukkan bahwa ia tak akan membiarkan permainan kotor itu berjalan begitu saja.

"Apa maksudmu, hah?" bentak Lukas, nadanya mulai meninggi, menyiratkan ketidaksenangan.

“Meratakan keluarga Baskara? Itu hal mudah bagiku. Aku tak perlu berbuat curang untuk menghancurkan mereka,” lanjutnya dengan sorot mata tajam, penuh amarah yang ditahan.

“Reza masih hidup. Jadi, atas dasar apa Anda mengatakan dia sudah mati?” ucap Leon dengan nada datar.Tak ada ketakutan sedikit pun di wajahnya. Tatapannya tajam, tenang, dan penuh keyakinan.

“Omong kosong!” bentak Lukas, suaranya mulai meninggi.

“Anak buahku sudah menyelidiki langsung ke lokasi kejadian. Mobilnya terbakar hebat! Mana mungkin dia bisa selamat dari itu semua?”

“Kecelakaan?” Leon mengerutkan kening, ekspresinya tampak heran.

“Kapan Reza mengalami kecelakaan?” tanyanya, nada suaranya tetap tenang, namun ada ketajaman dalam ucapannya—seolah ia sengaja memancing Lukas untuk membuka lebih banyak celah.

“Hahaha… Anda memang tidak tahu banyak soal klien Anda,” tawa Lukas sinis, suara tawanya menggema dingin di ruangan.

“Rugi sekali keluarga Baskara membayar Anda mahal-mahal, tapi tak tahu apa-apa. Pengacara seperti Anda hanya pandai bicara, bukan menyelamatkan.”

Ucapannya bukan sekadar hinaan—itu provokasi yang disengaja, untuk menguji ketenangan Leon dan menegaskan siapa yang merasa paling berkuasa di ruangan itu.

“Reza tidak pernah mengalami kecelakaan,” ucap Leon tenang, matanya menatap lurus ke arah Lukas.

“Dia hanya sedang berolahraga di gunung dan terpeleset jatuh ke jurang. Tapi jurangnya tidak terlalu dalam... dan yang paling penting, Reza saat ini ada bersamaku.”

Kata-katanya pelan, tapi setiap suku kata seperti tamparan keras bagi Lukas. Dalam satu kalimat, Leon membalikkan keadaan.

“Omong kosong! Jangan membual, dan jangan coba-coba berbuat curang padaku!” bentak Lukas, emosinya memuncak.

“Aku tidak berbohong,” sahut Leon dengan tenang, seolah tak terpengaruh amarah di depannya.

“Andre… bawa Reza ke sini.”

Tak lama kemudian, langkah cepat terdengar dari arah lorong. Seorang pria muda muncul, tubuhnya dibalut perban, wajahnya penuh lebam dan luka.

Itu Reza.

“Hantu!”

Teriakan melengking itu memecah keheningan ruangan. Semua orang refleks menoleh ke arah suara.

Ternyata itu suara Vanaya—gadis muda yang sedari tadi diam-diam menguping dari balik pintu. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak menatap Reza yang penuh luka.

“Anak buahku menemukan Reza di pinggir jalan,” jelas Leon dengan tenang. “Katanya, dia mengalami kecelakaan—terjatuh dari tebing saat mendaki. Semua perbekalannya dirampok orang tak dikenal.”

Leon menatap Lukas sejenak sebelum melanjutkan, “Berhari-hari ia menggelandang tanpa arah. Sampai akhirnya, dalam kondisi lemah dan luka-luka, dia ditemukan di kantor polisi oleh timku.”

Penjelasannya lugas, tapi cukup untuk mengguncang Lukas—karena semua rencana yang ia susun, kini mulai runtuh.

Lukas menatap tajam ke arah Reza. Wajah pria itu lebam, ada perban melilit di kepalanya, tubuhnya tampak lemah namun masih berdiri tegak.

Dengan perlahan, Lukas merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel. Ia membuka sebuah foto, lalu mencocokkannya dengan sosok yang berdiri di hadapannya.

Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail—bentuk wajah, luka, postur tubuh. Ia mengamati berkali-kali, mencoba mencari celah, berharap itu hanya tipuan.

Namun hasilnya tetap sama.

Foto di ponselnya dan pria yang berdiri di depannya... adalah orang yang sama. Reza masih hidup. Dan itu membuat Lukas menggertakkan gigi dalam diam.

“Dia tidak memakai topeng, bukan?” tanya Lukas curiga, suaranya sedikit menegang.

Leon menanggapi tanpa tergesa, nada bicaranya tetap datar namun mantap.

“Datang saja seminggu lagi, periksa sendiri. Jika masih ragu, silakan minta tes DNA. Cocokkan dengan Pak Galih, dan kau akan tahu jawabannya.”

Tak ada nada membela lebih kepada menantang jika tidak percaya buktikan saja sendiri tidak usah terlalu banyak argumen.

Lukas mengutuk dalam hati informasi yang diberikan anak buahnya. Mereka memberinya laporan yang keliru—atau lebih parah lagi, palsu.

Tapi di sisi lain, logikanya tetap berteriak: Mana mungkin seseorang bisa selamat setelah terjun ke jurang, lalu mobilnya meledak? Itu mustahil.

Apalagi, ia memiliki mata-mata di rumah Baskara. Ia sudah melihat sendiri rekaman penyiksaan terhadap Reza—rekaman yang seharusnya jadi bukti bahwa anak itu takkan mungkin bertahan.

Namun hari ini, dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Reza berdiri di depannya. Masih hidup, walau wajahnya penuh lebam. Dan itulah yang membuat Lukas terdiam

"Sudahlah, Tuan Lukas. Masih ada waktu tujuh tahun lagi. Harapan Anda masih panjang," ucap Leon tenang, senyumnya tipis namun menusuk.

Pengacara gila... gerutu Reza dalam hati, menatap Leon dengan wajah setengah pasrah.

Bukannya menyelesaikan masalah, dia justru menambah daftar musuhku. Jadi selama tujuh tahun ke depan, aku akan jadi buruan mafia? Hebat… benar-benar hebat.

Akhirnya lukas pergi tanpa hasil dalam hati dia berkata, bagaimana mungkin orang yang sudah disiksa sampai sekarat terus dibuang bersama mobilnya masih bisa hidup, dalam perjalanan dia terus menyusun rencana dan laporan pada ayahnya,

Sementara itu, pikiran Galih berkecamuk. Ia tak tahu harus merasa bahagia atau justru marah.

Seharusnya ia lega karena hartanya tidak raib. Tapi di balik itu, ada rasa kecewa yang sulit disembunyikan—karena hidupnya terasa seperti permainan yang diatur oleh Darman… lewat Reza.

Leon menatap Galih dengan serius. Suaranya tenang, tapi tajam seperti pisau.

“Pak Galih, ini yang terakhir kalinya saya membela Anda.”

“Anda harus menjaga anak Anda dengan baik. Banyak pihak mengincar nyawanya sekarang.”

“Dan satu hal lagi... Anda tahu tabungan Tuan Darman di Swiss? Jumlahnya melonjak tajam.”

Leon mendekat, menurunkan suaranya. “Hanya saya yang tahu soal itu. Dan Anda harus menjaga Reza… setidaknya sampai dia berusia 25 tahun.”

Peringatan itu terasa seperti vonis. Galih diam. Dadanya sesak, seolah baru menyadari—bahwa permainan Darman belum berakhir... justru baru saja dimulai.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!