Emily duduk di sofa ruang tamu, seperti terdakwa di ruang sidang. "Aku nggak tahu dus itu dari mana. Sumpah, Yah. Aku nggak pernah beli alat itu, apalagi pakai. Aku bahkan nggak tahu itu bisa ada di dalam tas aku."
Rakha menghela napas, tapi matanya tetap menusuk.
"Jangan sumpah dulu. Disa bilang kamu ke apotek."
"Iya, aku ke apotek! Tapi bukan buat beli alat itu. Jari aku luka, aku beli plester! Mau bukti? Ini, luka di jempolku!" Emily mengangkat tangannya yang memang masih tertutup perban kecil. Riska yang membantu membungkus lukanya di UKS. Emily memang random, jari aja bisa masuk ke rautan pensil.
Indira melangkah mendekat, menggenggam bahu Emily.
"Mas, Emily dari kecil nggak pernah bohong sama kita. Masa kamu percaya sepenuhnya sama Disa? Anak itu bahkan bukan saksi yang jelas, cuma bilang ‘melihat’ dari luar."
Rakha menatap istrinya sebentar, lalu kembali menatap Emily. “Tapi benda itu ditemukan di tas kamu. Dan itu cukup untuk merusak reputasi kamu... dan keluarga kita.”
Emily terisak. “Aku tahu. Aku tahu betapa pentingnya nama baik keluarga ini. Makanya aku nggak akan pernah main-main soal beginian, Yah…”
Rakha memijat pelipisnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa goyah sebagai ayah. Antara percaya, marah, kecewa, dan bingung bercampur menjadi satu.
“Jadi kamu nuduh Disa bohong?” tanya Rakha.
“Disa bohong atau nggak, aku nggak tahu. Tapi yang jelas, aku nggak naro dus itu di tas aku. Entah siapa yang masukin. Mungkin di kelas... mungkin waktu aku tinggal tas aku di meja…” suara Emily melemah.
Indira duduk di sofa. “Ada kemungkinan kamu dijebak, Emily. Kamu itu bar-bar, iya. Tapi urusan aturan sekolah kamu selalu disiplin. Bunda tahu kamu terlalu takut buat bikin malu keluarga besar.”
Rakha masih diam. Namun tatapannya mulai berubah. Ada keraguan di sana.
Lalu bel rumah berbunyi.
Ding-dong.
Salah satu pembantu rumah membuka pintu. Ternyata Disa berdiri di ambang, dengan wajah datar dan ponsel di tangannya.
“Aku cuma mau kasih bukti,” katanya sambil masuk tanpa permisi. Ia memutar layar ponsel, memperlihatkan rekaman video CCTV dari luar apotek. Terlihat jelas Emily berdiri di depan kasir dan menerima sebuah kantong kecil.
“Tuh, lihat sendiri. Jelas banget dia beli dus itu.”
Emily mendekat, melihat layar. Lalu... matanya membelalak.
"YA AMPUN! Itu bukan aku yang ambil dus itu! Kasirnya salah ngasih! Aku nggak periksa isinya karena buru-buru masuk sekolah!"
Rakha langsung berdiri. “Kamu masih nyimpan struknya?”
Emily buru-buru mengambil dompet kecilnya, mengaduk-aduk isi dalamnya—dan benar. Struk kecil dari apotek masih tersimpan. Ia menyerahkannya langsung ke ayahnya.
Rakha membacanya pelan.
Plester luka ukuran kecil – 1 pcs
Total: Rp 5.000
Rakha menatap Emily. Lalu menatap Disa.
“Kenapa kamu nggak cek dulu isi dus itu sebelum nuduh Emily?” tanyanya datar.
Disa mulai gelagapan. “Aku... aku cuma ingin kasih tahu apa yang aku lihat... Aku pikir—”
“Kamu pikir kamu bantu,” potong Indira dingin. “Padahal kamu hampir menghancurkan sepupu kamu sendiri.”
Disa menunduk. Rakha akhirnya bersuara, nadanya tegas namun tidak meledak.
“Mulai hari ini, kita akan cari tahu siapa sebenarnya yang masukkan dus itu ke tas Emily. Dan kamu, Disa, mulai sekarang, berhenti sok jadi detektif. Urus urusan kamu sendiri.”
Disa diam. Lalu pergi tanpa bicara.
Emily akhirnya terduduk. Beban yang menyesakkan dadanya mulai terangkat, meski belum sepenuhnya hilang. Rakha mendekat, menepuk pundaknya perlahan.
"Ayah minta maaf. Ayah terlalu cepat menilai."
Emily menangis pelan. "Aku cuma pengin Ayah percaya sama aku…"
Rakha tidak menjawab. Tapi pelukan singkatnya sudah cukup sebagai jawaban.
***
Rakha menghela napasnya berat, sepertinya hari ini memang harus ia lalui tanpa ketenangan. Baru saja dia sampai di kantor, Danish Aditya,sang ayah memintanya untuk ke rumah sore nanti setelah pulang dari kantor.
"Kenapa secepat itu beritanya sampai ke papa?" gumamnya. Ia mencurigai seseorang tapi dia tidak punya cukup bukti.
Sore hari tiba, dengan langkah gontai ia keluar dari mobil dan memasuki halaman rumah masa kecilnya yang sedikit suram.
Beberapa anggota keluarga telah berkumpul di ruang tengah, duduk membentuk lingkaran tak resmi—seolah sedang menghadiri sidang tertutup.
Di tengah ruangan duduk Danish, sang papa, pria sepuh yang disegani bukan hanya karena usianya, tapi karena ketegasannya memegang kehormatan keluarga. Pandangannya tajam menelusuri setiap wajah yang hadir.
“Rakha,” ucap Danish pelan, tapi terdengar jelas. “Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan Emily.”
Rakha menarik napas, ia menatap ke depan. “Sudah saya periksa semua, Pa. Dus kecil itu bukan milik Emily. Struk dari apotek membuktikan bahwa dia hanya membeli plester luka. Dan soal tuduhan Disa, ternyata hanya berdasarkan dugaan. Tidak ada bukti kuat.”
Langit seakan runtuh.
Tiba-tiba, Andri—adik bungsu Rakha sekaligus ayah dari Disa—menepuk meja dengan suara keras.
“Jadi kamu bilang anakku bohong? Disa itu nggak akan ngomong kalau dia nggak lihat sendiri!”
Rakha menoleh, tajam. “Dia mungkin lihat, tapi yang dia simpulkan salah. Dan itu yang hampir menghancurkan Emily.”
Rakha juga tidak mengerti kenapa semua orang yang ada di dalam ruangan ini seperti sudah hafal kejadiannya.
Disa, yang duduk di sisi ibunya, menatap Rakha dengan wajah murung. “Aku nggak bohong, Om. Aku lihat Emily bawa dus itu. Aku cuma—”
“Kamu hanya ‘lihat’ dari luar, Dis,” potong Rakha, suaranya dingin tapi tenang. “Kamu tidak pernah tahu isi kantongnya, kamu tidak tahu isi struknya, dan kamu tidak tanya langsung ke Emily.” Rakha tidak terima. "Bukankah kamu juga sudah lihat struknya di rumah siang tadi?"
Ibunya Disa, Nita, ikut bersuara, nadanya tajam.
“Kak Rakha terlalu membela anak sendiri. Jangan tutup mata. Aku dan Disa pernah lihat Emily main sama laki-laki, sore-sore, di luar sekolah.”
Seketika semua kepala menoleh pada Emily.
Emily terbelalak. “Itu... bukan cuma aku dan satu cowok, Tante! Aku nggak main berdua! Di situ ada Riska, ada Rama, bahkan ada Kak Dimas! Kita lagi ngerjain tugas kelompok, sambil nongkrong di kafe depan taman!”
“Bukan berarti kamu bisa duduk seenaknya di luar sama laki-laki, Emily,” sergah Nita lagi, suaranya seperti menyiram bensin ke api.
“Aku nggak ngelakuin hal yang salah! Cuma karena aku duduk bareng cowok, bukan berarti aku—” suara Emily gemetar, wajahnya memerah antara marah dan terhina.
“Jangan naik suara, kamu itu bicara sama orang tua!” bentak Andri.
Rakha berdiri, matanya tajam, membentengi Emily dengan tubuhnya.
“Cukup!” katanya lantang. “Ini bukan forum untuk menghakimi anak saya berdasarkan asumsi. Kalau Papa ingin tahu siapa Emily sebenarnya, tanya langsung. Tapi jangan nodai nama anak saya hanya karena dia nongkrong di tempat umum bersama teman-temannya!”
Danish menatap semua orang. Lama. Lalu menatap Emily yang menunduk dengan tubuh gemetar.
“Kamu sering keluar sore-sore, Emily?”
Emily menelan ludah, tapi menjawab dengan jujur. “Iya, Opa. Tapi aku nggak pernah pergi sendiri. Selalu bareng teman-teman. Kami belajar, kadang makan, kadang ngobrol. Tapi aku tahu batas. Aku nggak pernah melakukan yang memalukan keluarga ini.”
Suasana kembali hening.
Indira merapatkan duduknya kepada Emily, memegang tangannya.
“Pa... tolong jangan hukum Emily hanya karena dia aktif bersosialisasi. Di masa sekarang, kita nggak bisa pakai kacamata sempit untuk menilai semua dari luar.” Indira merasa terhina dengan Ucapan Nita.
Sejak masuk ke keluarga besar, Nita memang sering aktif di keluarga. Lebih tepatnya mereka sering tinggal di rumah Danish dengan alasan untuk menemani Danish di masa tuanya.
Danish menatap Emily sekali lagi. “Kalau satu hari nanti ketahuan kamu bohong... kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi.”
Emily mengangguk mantap. “Aku tahu, Opa.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti sejam, Danish akhirnya berkata,
“Baik. Masalah ini ditutup. Tapi pengawasan tetap jalan. Dan... Andri, Nita... jaga anak kalian juga. Jangan mudah melempar tuduhan sebelum semua jelas.”
Nita tersinggung, tapi tak menjawab. Disa hanya menunduk, entah malu atau kesal karena tidak mendapat pembelaan.
Sore itu, semua orang akhirnya pulang dengan pikiran masing-masing.
Tapi satu hal yang tak bisa dibantah: Emily telah berdiri tegak menghadapi badai.
Dan mungkin, badai berikutnya belum selesai.
***
Hari-hari setelah kejadian di rumah Danish, sekolah tak lagi terasa sama bagi Emily. Pandangan teman-teman berubah—beberapa hanya berani menatap dari jauh, beberapa lagi bisik-bisik sambil tertawa pelan setiap kali ia lewat.
Gosip telah menyebar.
Dan seperti biasa, gosip tak pernah adil.
Di kelas semua temannya sudah tahu, mereka menjadi menjauh. Bahkan Riska, teman sebangkunya yang dulu paling setia, mulai waspada. Bukan karena percaya gosip, tapi karena takut terseret.
Dan saat itu juga, di waktu yang sama, di sebuah kafe kecil tak jauh dari kampus, seseorang baru saja membuka ponselnya dan membaca pesan panjang dari temannya.
“Lo tahu pacar lo bawa test pack ke sekolah? Berita ini rame banget di Twitter anak-anak SMA Favorit depan kampus.”
Deg
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments