Bab 4

Sepi, di ruang rawat inap, seorang diri Dila diselimuti kesedihan. Ia hanya bisa mengusap tangan dan kaki bapak yang menahan rasa sakit. Tetapi Dila tahu, bapak hanya pura-pura kuat di depan anak dan istri. Dila tidak tega melihat penderitaan pak Umar seperti itu. Jika ginjal bapak masih lengkap, mungkin saja sakitnya tidak separah sekarang. Entah kepada siapa ginjal bapak diberikan? Ketika dia bertanya kepada ibu dan Najwa seolah mereka menutupi.

"Sebaiknya kamu pulang, terus istirahat sayang..." titah bu Aminah yang baru saja selesai shalat isya bersama Najwa. Dada Aminah terasa teriris setiap kali menatap putrinya yang selalu menangis.

"Aku mau shalat dulu, Bu" Dila berdiri dari sisi pak Umar, meminjam mukena Najwa hendak ke luar kamar. Berdoa, jalan terbaik yang harus Dila lakukan.

"Mau aku temani, Kak?" Najwa was-was melihat jalan Dila yang agak limbung.

"Tidak usah, Bapak yang butuh perhatian kita, Dek" Dila berpesan, ketika ia sedang shalat, Najwa tidak boleh meninggalkan bapak ke mana-mana.

Najwa mengangguk patuh, lalu mengantar Dila ampai pintu. Setelah Dila tidak terlihat lagi, Najwa kembali ke pinggir ranjang bapak yang sudah ditemani ibunya.

Tok tok tok.

"Kok Kakak balik lagi ya, Bu" Najwa menoleh ke arah pintu.

"Ibu yakin bukan Kakak kamu itu, Nak" bu Aminah menyuruh Najwa membuka pintu.

Najwa mengangguk, kakinya melangkah ke depan pintu, kemudian menarik handle. Mata Najwa membelalak lebar ketika melihat siapa yang datang. Pria yang ia kagumi tiba-tiba datang ke rumah sakit. "Bukanya putra tuan Ahmad tinggal di Jakarta" batin Najwa. Jantung Najwa berdebar kencang, tapi menyembunyikan di balik senyuman. Namun, betapa malunya Najwa, ketika Abdullah bersikap dingin.

"Kami ingin menjenguk Pak Umar, Nak" ucap Ghina yang tiba belakangan bersama tuan Ahmad.

"Mari, Nyonya... Tuan..." Najwa membuka pintu lebih lebar, menyilakan tiga orang itu masuk. Abdullah mengikuti papa mama yang sudah berdiri si samping pasien. Sementara Najwa menyempatkan diri untuk mengerjakan pr di luar ruangan.

"Tuan..." lirih Umar, ketika membuka mata rupanya sang majikan berada di sampingnya. Ia mencoba untuk bangun, tetapi tangan Ahmad segera menahan tengkuk Umar.

"Kamu jangan bergerak dulu, Mar" tuan Ahmad membungkuk membetulkan posisi tidur Umar. Ahmad pun bertanya kepada Ghina, kenapa Umar bisa separah ini? Padahal ketika ia datang ke rumah tempo hari, Umar masih bisa ngobrol.

"Suami saya ada masalah dengan ginjalnya Tuan... Nyonya..." Aminah bercerita dengan air mata berderai.

Sepi di ruangan itu, semua sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri.

Aminah tidak menyalahkan Ahmad, donor ginjal dulu atas kemauan suaminya sendiri. Ketika itu Ahmad hampir mati, tapi tidak menemukan pendonor yang cocok. Maka, Umar maju bersedia diperiksa dan ternyata cocok.

Tuan Ahmad menarik napas panjang, ginjal Umar bermasalah? Dan ini gara-gara dirinya. Jika sampai terjadi sesuatu dengan Umar, ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Cepat atau lambat, keluarga Umar akan menyalahkan dirinya. Andai saja ginjal Umar masih utuh tentu tidak akan serawan sekarang. Ahmad melirik Abdullah yang hanya diam seribu bahasa. Ia berharap hati Abdullah tersentuh melihat penderitaan Umar dan akan memantapkan hati untuk menikahi putri pertama Umar.

Ahmad menarik tangan Abdullah menjauh dari tempat itu. "Kamu harus memberi keputusan." ucapnya penuh penekanan.

Abdullah hanya diam, menatap kosong ke depan. Tidak ada bayangan indah kedepannya menjalani hidup berumah tangga bersama wanita yang tidak ia cintai.

"Tolong Papa, Dul. Jika kamu tidak segera menikahi putri Umar, kamu mau? Anak itu akan menyalahkan, Papa di kemudian hari..." Ahmad memohon. Rupanya itu tujuan Ahmad menikahkan putranya.

"Baik Pah, saya nikahi wanita itu" Abdullah akhirnya memutuskan, walaupun ia berpikir bahwa sang papa tidak adil. Bapak dan anak itu kembali ke pinggir tempat tidur.

"Putri sulung kamu kemana Ami?" Ghina ingin berkenalan dengan calon menantu. Ia pun sama sekali belum pernah bertemu kakak Najwa.

"Dia sedang shalat Nyonya" Aminah berpikir jika saat ini Dila sedang berdoa sambil menangis demi kesembuhan bapak.

"Umar, kamu cepat sembuh ya, kami akan mengurus pernikahan anak kita agar segera terlaksana."

"Baik Tuan"

Keluarga Ahmad pun akhirnya pulang. Namun, sayang sekali karena tidak bisa bertemu Dila.

Hingga sebulan kemudian, pak Umar sudah lebih baik, bahkan sudah dibawa pulang sejak tiga minggu yang lalu. Pernikahan sederhana pun segera dilaksanakan di kediaman pak Umar. Semua biaya ditanggung oleh keluarga pria.

Dila berdiri di depan cermin, menatap gaun putih yang terhampar di tubuhnya. Cantik memang, tapi kecantikan itu tidak sempurna, karena tertutup oleh matanya yang bengkak. Walaupun mencoba untuk tersenyum hanya karena di hadapan kedua orang tuanya. Pernikahan paksa membuat hati Dila compang camping, hanya tetesan air mata yang mampu membuat hatinya sedikit lega. Dila merasa terjebak dalam situasi itu, tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar. Ia merasa menjual dirinya karena calon mertua yang royal memberikan ini itu untuk keluarganya. "Calon mertua? Hahaha..." Dila tertawa dalam tangis.

MUA yang berdiri di belakang Dila terkejut, rupanya hati calon pengantin wanita saat ini telah terguncang, entah apa sebabnya.

"Saya terima nikah dan kawinya, Nadila Putri binti Umar, dengan perhiasan emas, tunai"

"Saaah..."

Suara di luar kamar bagaikan tombak yang menembus jantung Dila, ia banting bokongnya di depan meja rias. Nyawanya terasa ingin melayang, tapi berusaha untuk kuat.

"Astagfirullah..." ucap Dila, lagi-lagi air matanya melunturkan perona wajah yang sudah dibetulkan oleh MUA.

"Seharusnya kamu bahagia Dek, tapi kenapa kamu menangis terus?" Tanya perias, seketika tangannya bergerak membersihkan air mata Dila dengan tisue. Ia hampir putus asa, karena lagi-lagi harus membetulkan riasan wajah Dila. Padahal di luar, ijab kabul telah usai.

"Tidak usah dirias lagi, Mbak... Biar aku begini sajaaa..." Dila menolak dengan suara serak. Percuma saja dandan, karena pria yang telah menjadi suaminya pun belum tentu akan menyambut dirinya dengan baik.

"Dila... sekarang kita keluar sayang..." Aminah pun muncul, tapi tertegun di pintu kamar, karena mendengar tangis putrinya yang menyayat hati.

Sementara itu di depan penghulu, Abdullah masih merenung tentang nama wanita yang sudah sah menjadi istri. "Nadila Putri? Kok namanya sama dengan Dila?" Abdullah bertanya-tanya dalam hati. Namun, siapa wanita yang saat ini menjadi istri, tak mengubah rasa cintanya kepada Silfia.

"Maafkan aku Silfia, andai saja aku bisa, rasanya ingin pergi jauh yang hanya ada kita berdua." Pikiran Abdullah kemana-mana. Ia merasa bersalah kepada Silfia karena tidak menepati janji.

Langkah kaki pengantin wanita berjalan ke arahnya, digandeng wanita muda yaitu Najwa. Namun, Abdullah berpaling ke arah lain, seolah enggan menatap wajah wanita yang sudah sah menjadi istri.

"Ka-Ka, Kak Abdullah" Dila gagap berkali-kali menyebut nama Abdullah.

Sementara Abdullah, mendengar suara serak memanggil namanya, mau tak mau menatap pengantin wanita itu. "Kamu?"

...~Bersambung~...

Terpopuler

Comments

Zeni Supriyadi

Zeni Supriyadi

Thor gpp Abdullah belum cinta ke Dilla, tp jgn buat Dul jahat sm Dilla. Semoga Dul bisa menerima pernikahannya sm Dilla dan mau belajar mencintai Dilla. Lupakan Silfia Dul jodoh dari Allah lebih baik dari pada pilihan kamu

2025-07-23

9

🌷💚SITI.R💚🌷

🌷💚SITI.R💚🌷

jangan sampe si dul nyakitin dila krn dia merasa bersalah sm si selfi dan jangan smp dila di madu jangan mau ya dila

2025-07-24

1

neng ade

neng ade

terkejut ya Dilla.. pasti lah itu .. seharusnya sih di pertemukan dulu ya sebelum acaranya ..

2025-07-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!