Chapter 2: Kekuatan Baru

Dingin yang mencekam masih merayapi tulang Raka, namun kini bukan dingin yang menusuk karena lapar atau kedinginan, melainkan sensasi dingin yang bersih, seolah setiap sel tubuhnya telah dibasuh oleh energi esensial. Ia membuka mata perlahan. Langit-langit jembatan layang masih sama bobroknya, coretan grafiti masih sama cabulnya, dan bau pesing masih tercium samar. Tapi kini, semua itu terasa berbeda. Lebih tajam. Lebih nyata.

Gelandangan di sekitarnya masih meringkuk dalam stupor mereka, tak menyadari bahwa transformasi luar biasa baru saja terjadi di tengah mereka. Raka bisa mendengar detak jantung mereka—teratur, lemah, kontras dengan detak jantungnya sendiri yang kini berdenyut kuat, seperti mesin yang baru disetel ulang. Ia mendengar desiran angin yang membawa partikel debu, bahkan bisa merasakan getaran mikroskopis dari lalu lintas di atas jembatan. Dunia terasa seperti orkestra yang kini bisa ia dengar dengan sempurna.

Ia bangkit perlahan, menguji keseimbangan tubuhnya. Gerakannya terasa ringan, efisien, seolah gravitasi tak lagi memegang kendali penuh atas dirinya. Otot-ototnya, yang dulu kaku dan ringkih karena kurang gizi, kini terasa padat dan penuh tenaga yang mengalir seperti sungai deras. Ia mengepalkan tangannya—bukan untuk mengusir dingin, melainkan untuk merasakan kekuatan yang berdenyut di setiap serat tangannya.

Suara itu kembali bergema, kini bukan lagi bisikan asing melainkan resonansi yang terasa akrab, seperti suara hati nuraninya yang baru.

"Kau telah bangkit, senjataku," bisikan itu menggema di benaknya, lebih jelas, lebih mendesak dari sebelumnya. "Dunia menantimu. Tapi sebelum kau bertindak, kau harus memahami. Memahami musuhmu. Memahami sistem yang mereka bangun untuk menghancurkan planet ini."

---

Raka membutuhkan tempat untuk bereksperimen tanpa menarik perhatian. Ia mengingat sebuah gedung tua yang pernah ia lihat saat mengamen—bekas pabrik tekstil yang bangkrut, terbengkalai di pinggiran Jakarta Utara. Perjalanan ke sana memakan waktu hampir dua jam dengan berjalan kaki, melewati gang-gang sempit dan jalan setapak yang hanya dikenal anak jalanan.

Namun perjalanan itu memberinya kesempatan pertama untuk merasakan perubahan pada dirinya. Setiap langkah terasa ringan namun bertenaga. Ia bisa melompati selokan lebar tanpa kesulitan, memanjat tembok tinggi dengan mudah, bahkan bergerak dalam kegelapan seolah memiliki penglihatan malam yang sempurna. Yang lebih menakjubkan, otaknya memproses lingkungan sekitar dengan kecepatan luar biasa—menghitung jarak, menganalisis kekuatan material, bahkan memperkirakan berat suatu objek hanya dengan melihatnya.

Gedung bekas pabrik itu sempurna. Lantai beton yang retak, dinding bata yang mulai rapuh, dan atap yang sebagian runtuh memberikan ruang eksperimen yang ideal. Di sinilah Raka mulai menguji batas-batas kemampuannya.

Ia mulai dengan hal sederhana—melompat. Bukan sekadar lompatan manusia biasa, melainkan loncatan yang membawanya melesat vertikal hampir tiga meter, tubuhnya melayang sejenak di udara sebelum mendarat tanpa suara. Ia mencoba lagi, kali ini dengan fokus yang lebih intens. Otaknya seolah menghitung medan gravitasi, dan ia bisa mengontrol kecepatannya turun, bahkan "berdiri" di udara selama beberapa detik.

Kekuatan fisiknya juga luar biasa. Ia mengulurkan tangan ke dinding beton yang retak. Dengan sedikit tekanan, retakan itu membesar, lalu seluruh bagian dinding runtuh menjadi puing. Namun yang lebih menakjubkan adalah kemampuannya memanipulasi objek tanpa menyentuh. Ia menatap sebuah puing besi, berkonsentrasi, dan besi itu mulai melayang, berputar di udara, lalu terdistorsi menjadi bentuk spiral yang aneh.

Ini bukan sihir—otaknya memahami hal itu dengan jelas. Ini adalah pemahaman instingtif akan energi, massa, medan elektromagnetik, dan bagaimana memanipulasinya. Seolah-olah seluruh fisika alam semesta kini terasa seperti instrumen yang bisa ia mainkan.

Tapi dengan kekuatan besar datang kebutuhan akan kontrol. Raka menghabiskan berhari-hari di gedung itu, berlatih mengendalikan kemampuannya. Ia belajar bergerak tanpa meninggalkan jejak, memanipulasi objek dengan presisi tinggi, bahkan meredam aura kekuatannya agar tidak terdeteksi oleh indra normal manusia.

---

Setelah merasa cukup menguasai kemampuan fisiknya, Raka mulai fokus pada aspek yang lebih kompleks: memahami sistem yang ingin ia hancurkan. Tantangannya adalah bagaimana seorang anak jalanan bisa mengakses informasi yang biasanya tersembunyi dari kalangan bawah.

Solusi pertama datang dari kemampuan baru otaknya yang bisa memproses informasi dengan kecepatan fantastis. Koran bekas yang biasa ia abaikan kini menjadi tambang data. Ia mengumpulkan koran bekas dari tempat sampah, warung-warung, bahkan mencuri dari tumpukan koran lama di kantor-kantor kecil. Setiap artikel, iklan, bahkan kolom kecil ia baca dan analisis. Otaknya menghubungkan informasi yang tersebar, mencari pola, dan membentuk gambaran besar yang tak terlihat oleh mata biasa.

Langkah berikutnya adalah menguasai akses internet. Jakarta penuh dengan wifi gratis yang tidak terlindungi—dari kafe-kafe, perpustakaan umum, pusat perbelanjaan, hingga kantor-kantor kecil yang keamanan digitalnya lemah. Dengan kemampuan barunya memanipulasi medan elektromagnetik, Raka bisa "meretas" sinyal wifi bahkan dari jarak jauh. Ia tidak perlu duduk di kafe; cukup berdiri di luar sambil pura-pura mengamen, ia sudah bisa mengakses internet melalui smartphone bekas yang ia temukan dan perbaiki sendiri.

Internet membuka dunia informasi yang tak terbatas. Dengan kecepatan baca dan analisis yang fantastis, Raka menyerap ribuan artikel, laporan keuangan publik, profil pejabat, bahkan dokumen-dokumen yang bocor di forum-forum bawah tanah. Ia bisa membaca sepuluh artikel dalam waktu yang dibutuhkan orang normal untuk membaca satu paragraf, sambil otaknya terus menganalisis dan menghubungkan informasi.

Yang lebih mengerikan adalah kemampuannya "menguping" komunikasi elektronik. Dengan fokus yang intens, ia bisa mendeteksi sinyal ponsel yang lemah, bahkan menangkap percakapan yang tidak terenkripsi. Duduk di warung kopi dekat gedung perkantoran, ia bisa mendengar lusinan percakapan sekaligus, memilah informasi penting, dan mencatat kelemahan para koruptor yang sering membicarakan bisnis kotor mereka melalui telepon.

---

Perpustakaan Nasional Jakarta menjadi salah satu tempat favorit Raka. Berpura-pura sebagai anak jalanan yang ingin belajar, ia menghabiskan jam demi jam menyerap buku-buku sejarah, ekonomi, politik, dan sosiologi. Pustakawan yang simpati bahkan memberikan kartu akses gratis, tidak tahu bahwa mereka sedang membantu menciptakan monster intelektual.

Setiap informasi yang ia serap semakin memperkuat argumen Bumi dalam benaknya. Ia membaca tentang revolusi industri yang mengawali kerusakan lingkungan skala besar, sistem keuangan yang menciptakan kesenjangan mengerikan, perang yang tak berkesudahan demi kekuasaan dan sumber daya. Data statistik tentang kemiskinan, korupsi, dan kehancuran ekosistem menjadi bahan bakar untuk kemarahannya.

Namun ada satu kisah yang membuat Raka berhenti sejenak dalam proses radikalisasinya. Ia menemukan artikel lama di arsip perpustakaan tentang "Bapak Tulus," seorang pensiunan guru SD yang mendedikasikan hidupnya untuk mengajar anak-anak jalanan di Jakarta, termasuk di area tempat Raka dulu mengamen.

Artikel itu bercerita tentang perjuangan Bapak Tulus yang tak kenal lelah—menggunakan uang pensiunnya untuk membeli buku bekas, menyediakan makanan untuk anak-anak yang kelaparan, bahkan tidur di kelas-kelas darurat yang ia bangun sendiri. Namun kisahnya juga penuh kepahitan: dana bantuan yang diselewengkan pejabat, izin yang dipersulit birokrasi, intimidasi dari preman lokal yang merasa terancam. Artikel itu berakhir dengan kematian Bapak Tulus yang kesepian, dikelilingi buku-buku usangnya, tanpa ada yang mengenang perjuangannya.

Untuk sejenak, Raka merasakan sesuatu yang hampir terlupakan—simpati. Ia bahkan mengingat samar sosok pria tua yang dulu sering memberikan roti dan susu kepada anak-anak jalanan. Apakah itu Bapak Tulus? Percikan kemanusiaan itu bertahan hampir sepuluh detik sebelum suara Bumi kembali mendominasi.

"Kebaikan adalah kelemahan di hadapan keserakahan." bisik suara itu, seolah mengomentari pergolakan batin Raka.

Raka menghembuskan napas panjang. Simpatinya pada Bapak Tulus berubah menjadi pembenaran baru. Bahkan orang sebaik itu pun tidak bisa mengubah sistem yang busuk. Kebaikan tanpa kekuatan hanya akan diinjak-injak. Kematian Bapak Tulus yang sia-sia hanya membuktikan bahwa pendekatan lembut tidak akan pernah berhasil.

---

Minggu-minggu berikutnya, Raka menghabiskan waktunya mengamati para elit korup yang menjadi targetnya. Dengan kemampuan barunya, ia bisa "menguntit" mereka tanpa terdeteksi. Ia mempelajari rutinitas mereka, kebiasaan pribadi, jaringan koneksi, bahkan kelemahan psikologis dari percakapan yang ia sadap.

Jakarta di matanya kini bukan lagi sekadar kota melainkan organisme raksasa yang sakit. Jalan-jalan macet menunjukkan kegagalan perencanaan kota yang korup. Gedung-gedung tinggi yang mencakar langit adalah manifestasi keserakahan yang mengabaikan dampak lingkungan. Lampu-lampu gemerlap di malam hari menyembunyikan kegelapan moral di baliknya.

Dari pengamatannya, Raka mengidentifikasi beberapa target utama: seorang bupati yang terkenal karena proyek-proyek fiktifnya, pengusaha real estat yang merusak hutan lindung, dan komisaris perusahaan tambang yang mencemari sungai. Mereka semua terhubung dalam jaringan korupsi yang melibatkan pejabat tinggi hingga preman jalanan.

"Kau telah melihat wajah asli mereka, Raka Adiputra," bisikan Bumi kembali.

Raka tersenyum—sebuah senyum dingin yang tidak mencerminkan kebahagiaan melainkan tekad. Ia telah memahami medan perangnya. Kekuatan fisik supernya akan menjadi pedang terakhir, tapi kejeniusannya dan kemampuannya memanipulasi informasi akan menjadi pisau bedah yang membusukkan sistem dari dalam.

Ia akan membuat mereka menderita tidak hanya secara fisik, tetapi juga mental, sosial, dan ekonomi. Seperti ia menderita seumur hidupnya. Tapi kali ini, ia yang memegang kendali.

Malam itu, duduk di atap gedung tua tempat ia berlatih, Raka menatap gemerlap lampu kota Jakarta. Setiap titik cahaya adalah kehidupan manusia, dan sebagian besar dari mereka—menurut pemahaman barunya—adalah parasit yang menggerogoti Bumi. Waktunya untuk memulai pembersihan.

Ini hanyalah permulaan.

Episodes
1 Chapter 1: Kelahiran Seorang Algojo
2 Chapter 2: Kekuatan Baru
3 Chapter 3: Bayangan Manipulasi
4 Chapter 4: Kartu-kartu Jatuh
5 Chapter 5: Sistem Tertutup
6 Chapter 6: Kejatuhan Sang Dewa Uang
7 Chapter 7: Berlin & Pilar Pertahanan yang Runtuh
8 Chapter 8: Jepang & Menggila di Negara Inovasi
9 BONUS CHAPTER: Ngopi Santai Bareng Penulis – Q&A Babak 1
10 Chapter 9: The Cleansing Begins - Jakarta Inferno
11 Chapter 10: Gelombang Kehancuran - Menelan Nusantara
12 Chapter 11: Paris, Kota Cahaya yang Terpadamkan
13 Chapter 12: Big Apple Terkoyak - Kiamat di New York
14 Chapter 13: Gemuruh di gurun - dubai yang terkubur
15 Chapter 14: Debu Emas di Tanah Merah: Afrika Terbakar
16 Chapter 15: Raungan Rimba Purba - Amazon Membalas
17 Chapter 16: Bisikan Kebajikan di Tengah Sunyi - Arib dan Benih Baru
18 Chapter 16.5
19 BONUS CHAPTER: Ngopi Santai Bareng Penulis – Q&A Babak 2
20 Chapter 17: Fajar yang Menipu - Bayangan di Surga
21 Chapter 18: Ketenangan yang Menyesatkan - Penjaga Surga Terakhir
22 Chapter 19: Percikan Keraguan dan Suara Dari Masa Lalu
23 Chapter 20: Bayangan Pengkhianatan dan Langkah Pertama
24 Chapter 21: Pelarian dan Bisikan Asing
25 Chapter 22: Pulau Asli dan Penjaga Lain
26 Bab 23: Visi yang Menghancurkan dan Aliansi Penjaga
27 Bab 24: Panggilan Penjaga dan Bayangan di Antartika
28 Bab 25: Menuju Samudra yang Beracun
29 Bab 26: Di Jantung Api- Ujian Kepercayaan
30 Bab 27: Inti Bumi
31 Bab 28: Pertarungan Kehendak di Langit Dunia
32 Epilog
33 #Catatan Penulis
Episodes

Updated 33 Episodes

1
Chapter 1: Kelahiran Seorang Algojo
2
Chapter 2: Kekuatan Baru
3
Chapter 3: Bayangan Manipulasi
4
Chapter 4: Kartu-kartu Jatuh
5
Chapter 5: Sistem Tertutup
6
Chapter 6: Kejatuhan Sang Dewa Uang
7
Chapter 7: Berlin & Pilar Pertahanan yang Runtuh
8
Chapter 8: Jepang & Menggila di Negara Inovasi
9
BONUS CHAPTER: Ngopi Santai Bareng Penulis – Q&A Babak 1
10
Chapter 9: The Cleansing Begins - Jakarta Inferno
11
Chapter 10: Gelombang Kehancuran - Menelan Nusantara
12
Chapter 11: Paris, Kota Cahaya yang Terpadamkan
13
Chapter 12: Big Apple Terkoyak - Kiamat di New York
14
Chapter 13: Gemuruh di gurun - dubai yang terkubur
15
Chapter 14: Debu Emas di Tanah Merah: Afrika Terbakar
16
Chapter 15: Raungan Rimba Purba - Amazon Membalas
17
Chapter 16: Bisikan Kebajikan di Tengah Sunyi - Arib dan Benih Baru
18
Chapter 16.5
19
BONUS CHAPTER: Ngopi Santai Bareng Penulis – Q&A Babak 2
20
Chapter 17: Fajar yang Menipu - Bayangan di Surga
21
Chapter 18: Ketenangan yang Menyesatkan - Penjaga Surga Terakhir
22
Chapter 19: Percikan Keraguan dan Suara Dari Masa Lalu
23
Chapter 20: Bayangan Pengkhianatan dan Langkah Pertama
24
Chapter 21: Pelarian dan Bisikan Asing
25
Chapter 22: Pulau Asli dan Penjaga Lain
26
Bab 23: Visi yang Menghancurkan dan Aliansi Penjaga
27
Bab 24: Panggilan Penjaga dan Bayangan di Antartika
28
Bab 25: Menuju Samudra yang Beracun
29
Bab 26: Di Jantung Api- Ujian Kepercayaan
30
Bab 27: Inti Bumi
31
Bab 28: Pertarungan Kehendak di Langit Dunia
32
Epilog
33
#Catatan Penulis

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!