Chapter 4: Story

Menurut ceritanya, D.A.E. adalah sebuah organisasi asal Amerika Serikat yang memiliki tugas serupa dengan FBI, namun dengan satu perbedaan besar, mereka tidak menangani kriminal biasa, melainkan manusia. Pada tahun 1990, pemerintah menculik sepuluh anak sebagai bagian dari eksperimen rahasia. Dari sepuluh anak tersebut, sembilan di antaranya adalah anak normal, sementara satu anak ternyata memiliki kelainan yang tidak biasa.

Arti "normal" di sini merujuk pada sembilan anak yang diculik untuk dijadikan objek eksperimen—diprogram agar bisa membunuh atau memakan manusia yang dianggap mengganggu pemerintahan. Tugas D.A.E. adalah menghentikan para kanibal hasil eksperimen tersebut.

“Kurang lebih, hanya itu yang bisa ku jelaskan padamu,” ucapnya datar. “Masih ada yang ingin kau tanyakan, Lorenzo?”

Lorenzo sempat menunduk, ketakutan tergambar di wajahnya. Namun beberapa detik kemudian, ia mengangkat kepala dan memberanikan diri menatapnya lagi.

“Kesembilan anak itu… apakah mereka ada hubungannya dengan apa yang terjadi pada Scarlett dan Nyonya Carina?”

Ia langsung menjawab tanpa ragu. “Ya. Hubungannya adalah: Widlie dianggap mengganggu pemerintahan, Scarlett hanya dijadikan ancaman, dan Nyonya Carina... dibayar untuk ikut terlibat.”

“Bayaran apa?”

Ia menunduk sejenak, meletakkan cup caffè latte-nya di atas meja, lalu menatap tajam dengan wajah yang memancarkan aura mengerikan.

“Bayarannya jelas... Jika Widlie tidak mati, maka Nyonya Carina yang akan mati.”

Lorenzo langsung gemetar, tubuhnya menggigil ketakutan. Giginya bergemeletuk, dan napasnya tersengal. “Bi... bisa ka-kau ce... ceritakan se-semuanya?” pintanya dengan suara terbata-bata, hampir tak terdengar.

“Kemarin...

Setelah upacara pernikahan selesai, Widlie dan Scarlett keluar bersama, sementara Nyonya Carina terlihat melangkah lebih dulu, dan tiba-tiba dikepung oleh dua orang berpakaian merah pekat.

Saat itu, Scarlett yang sedang berjalan-jalan sendirian di luar aula pernikahan, setelah meninggalkan Widlie yang masih di kamar mandi, secara tak sengaja melihat pemandangan mengejutkan: Nyonya Carina ditodong pisau di leher oleh salah satu dari mereka.

Scarlett yang melihat kejadian itu langsung diliputi ketakutan.

Dari balik pakaian serba merah yang dikenakan salah satu pria, terdengar suara dingin dan mengancam:

“Widlie Martin, mantan anggota pemerintahan. Bunuh dia... atau wanita tua ini mati. Jika dia masih hidup dan kembali besok ke rumah, wanita tua ini tetap mati.”

“JA—JANGAN BUNUH AKU!!!”

Nyonya Carina menjerit histeris, suaranya menggema di sekitar aula. Tubuhnya gemetar hebat.

Scarlett mendekat perlahan, berusaha menenangkan dengan senyum kecil yang anehnya tampak tenang, terlalu tenang. “Te-tenang saja, Ibu...” ucapnya lirih. “Widlie saja yang akan mati. Ibu akan aman, kok.”

Ia menatap mata Nyonya Carina dalam-dalam. “Ikuti saja mereka... dan malam ini, Widlie sudah tiada.”

Nyonya Carina hanya tersenyum, bukan karena lega, tapi karena merasa aman. Bukannya mengkhawatirkan Widlie atau mencoba menghentikan Scarlett, ia justru memikirkan keselamatannya sendiri.

Sementara itu, Scarlett diam-diam menyiapkan sebuah pisau yang dibelinya dari toserba dekat aula pernikahan.

Malam harinya, tepat pukul 23.30, Scarlett memilih mengendarai mobil sendiri menuju tempat yang telah ditentukan. Dan di sanalah, segalanya meledak, pertengkaran hebat pun terjadi.

Entah bagaimana tepatnya kejadian itu berlangsung. Intinya… Widlie berakhir di rumah sakit. Yang jelas, dia sempat menarik Scarlett ke tengah keramaian, dan sisanya, kurang lebih, kau sudah tahu.

Lorenzo hanya bisa menunduk, rahangnya mengeras. Kekesalan dan kemarahan tampak jelas di matanya saat ia berbisik dengan suara penuh muak:

“Kanibal.”

“Ya... kalau kau ingin membalaskan dendam—entah untuk istrimu, istrinya, ibumu, ibunya, atau siapa pun itu. Bahkan jika demi tujuanmu sendiri sekalipun... ikutlah denganku!” ajaknya, serius.

“Ke mana?” tanyanya singkat.

“Ayo, gabung D.A.E.!”

Lorenzo terdiam sejenak, berpikir sebentar, lalu tanpa banyak pertimbangan, ia berkata: “Baiklah.” Dengan wajah serius, mereka saling menjabat tangan. Dan dari situ… Lorenzo resmi bergabung dengan D.A.E.

Di suatu tempat yang tak diketahui entah di mana, entah pukul berapa, hanya ada ribuan bangunan hitam berdiri membisu, tanpa satu cahaya pun yang menyala.

Namun di antara lautan kegelapan itu, satu bangunan tampak berbeda. Sebuah gudang tua, terang benderang dari dalam, seolah menyembunyikan sesuatu yang tak seharusnya terlihat.

Di tengah gudang itu, tampak seorang pria dan seorang wanita berdiri berhadapan.

Wanita itu berkulit putih, berambut merah bergelombang yang terurai lembut, dan mengenakan gaun putih one-piece yang sederhana namun anggun.

Di hadapannya, pria berkulit cokelat manis berdiri dengan rambut hitam acak-acakan dan setelan pesta berwarna hitam kontras, namun serasi dalam suasana yang ganjil itu.

Mata sang wanita tampak dipenuhi ketakutan, memancarkan warna merah menyala yang kontras dengan aura gelap yang perlahan membungkus tubuhnya.

Sementara itu, mata sang pria bersinar dengan kegembiraan aneh, gelap, pekat, dan penuh kegelapan yang tak menyisakan cahaya sedikit pun.

“Th-Thomas... ke-kenapa ka-kau te-terlihat begitu me-menakutkan?” tanyanya dengan suara gemetar, kata-katanya terbata-bata karena rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan.

Tanpa menjawab, Thomas langsung membungkuk dan menggigit lehernya. Wanita itu tersentak sesaat, lalu tersenyum kecil, rona merah mulai merayapi wajahnya.

“Aaaahhhnn...” desahnya pelan. “Thomas, nakal... Kalau memang ingin melakukannya—”

Kalimatnya terputus. Ia merangkul tubuh Thomas, kedua tangannya melingkar erat di punggungnya.

Tubuh Thomas semakin mendekat, lalu perlahan ia melepaskan gigitannya. “Maaf, ya,” ucapnya pelan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Soalnya... Jane kelihatan cantik sekali malam ini. Aku tidak tahan lagi. Makanya, aku cari tempat khusus, hanya untuk kita berdua malam ini.”

Senyum kecil Thomas dibalas dengan senyuman penuh kenikmatan dari Jane. “Thomas...” bisiknya pelan, seraya mengangkat kepalanya perlahan. Thomas mengikuti gerakannya tanpa ragu.

Kini posisi mereka begitu dekat. Kepala Jane berada di sisi kiri, sejajar dengan telinga kirinya, sementara Thomas berada di sisi kanan, berhadapan langsung dengan telinga kanannya. Jarak di antara mereka nyaris lenyap, hanya menyisakan keheningan yang penuh ketegangan.

“Tho-masss... bolehkah aku memakanmu hari ini?” bisiknya pelan, nada suaranya terdengar seperti permohonan, namun ada sesuatu yang mengendap di balik kelembutannya.

Wajah Thomas memerah seketika. Ia menunduk sedikit, lalu mengangguk pelan. “I-iya... Si-silakan,” jawabnya gugup, suaranya nyaris berbisik.

Begitu diizinkan, ia mengeluarkan pisau dari saku gaun di sisi kanannya. Gerakannya tenang, nyaris tanpa suara. Tanpa ragu, ia langsung menusukkannya... tepat ke jantung Thomas.

Seketika, darah mengalir dari mulut Thomas. Tubuhnya ambruk, terbaring tanpa daya di lantai gudang. Jane langsung menaiki punggungnya, senyum lebar terpahat di wajahnya, matanya terpejam seolah menikmati setiap detik.

Dengan gerakan lembut namun mengerikan, ia mulai memutar kepala Thomas perlahan tapi pasti. Bola mata Thomas mengecil, dipenuhi ketakutan. Lehernya berderak, mengikuti putaran hingga akhirnya... krek... putus.

Setelah lehernya terputus, Jane mengangkat kepala Thomas dan melemparkannya lurus ke depan.

Kepala itu melayang dan menghantam sebuah kotak besi besar. Pintunya yang terbuka sedikit langsung terayun lebar saat kepala itu menembusnya.

Tanpa ragu, Jane berdiri. Ia mengulurkan tangan kanannya, perlahan menggeser masuk ke dalam kotak besi yang kini terbuka sepenuhnya.

Setelah seluruh tubuhnya masuk, Jane melemparkan bagian tubuh itu ke dalam kotak, dengan posisi yang sama seperti saat ia melemparkan kepala Thomas.

Perlahan, ia menutup pintu kotak besi besar itu.

Sebuah senyum lebar muncul di wajahnya. Senyuman penuh kenikmatan… dan ketidaksabaran yang menggelegak dalam diam.

Beberapa menit yang lalu sebelum kejadian...

Sebuah gedung kaca menjulang tinggi, dikelilingi area parkir yang luas. Di bagian depannya, berdiri gerbang masuk-keluar utama. Struktur logam kokoh yang membatasi dunia luar dan dalam.

Tepat di tengah sisi luar gerbang itu, Thomas berdiri termenung...

Hingga tiba-tiba, Jane muncul dari belakang dan membisikkan suara pelan tapi mengagetkan,

“Baa.”

“Uwaaah!” serunya kaget, tubuhnya sedikit terdorong ke depan.

“Huhh...” Ia mengembuskan napas, lalu tersenyum kecil begitu menyadari siapa yang mengejutkannya.

“Jane... Oooh... fufufu.” Ia tertawa pelan. “Ada hal menyenangkan hari ini, ya?” tanyanya sambil menatap Jane dengan rasa penasaran.

Senyum lebar Jane membuatnya penasaran. “Ti-tidak ada kok,” jawab Jane cepat, masih dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya.

“Oh iya! Mau kencan lagi hari ini?” ajaknya dengan nada ceria, matanya berbinar penuh harap.

Thomas tersenyum lebar, rona merah tampak di pipinya. “I-Iya...,” jawabnya singkat, tapi penuh rasa senang yang sulit disembunyikan.

Jane langsung menggenggam erat tangan kanan Thomas. Tanpa banyak kata, mereka melangkah bersama keluar dari gedung tempat mereka bekerja, menuju tempat kencan pertama mereka. Sebuah bar minuman yang menyimpan banyak cerita di balik cahaya remangnya.

“Pwaaahhh... nikmat sekali.” Ia bersandar sambil memegang erat botol kaca berisi wine, senyum puas tergambar di wajahnya.

“Bartender! Isi lagi gelasku!” perintahnya lantang pada pria di balik meja, matanya masih berbinar oleh efek minuman.

Bartender mengangguk singkat, lalu mengambil gelas kaca yang baru saja diletakkannya di atas meja. Dengan gerakan terlatih, ia mengisi gelas itu hingga penuh.

Setelah selesai, ia menyodorkannya dengan sopan. “Silakan.”

“Terima kasih.” Ia menerima gelas itu dengan senyum puas.

Jane, yang duduk santai di sisi kanan tengah tanpa menyentuh minuman, hanya tersenyum lebar. “Thomas kuat juga ya soal minum-minum,” pujinya sambil memperhatikannya dengan tatapan kagum.

“Tentu saja... hiks,” jawab Thomas sambil tersenyum goyah, cegukan kecil terdengar di ujung kalimatnya.

“Ja-Jane... Tidak minum, ya? Hiks,” lanjutnya dengan nada mabuk, menatap Jane sambil tertawa pelan.

Jane tetap tersenyum lebar, lalu menjawab dengan nada menggoda, “Tidak dulu. Hari ini, aku hanya ingin melihatmu yang minum.”

Senyumannya berubah menjadi lebih nakal, dan Thomas yang mulai limbung tapi belum sepenuhnya kehilangan kesadaran, segera mengambil keputusan.

“Ba-bartender, u-uangnya kutaruh di sini aja, ya,” ucapnya terbata sambil meletakkan beberapa lembar uang di meja.

“Oke.”

Thomas langsung berdiri dari tempat duduknya, dan Jane pun ikut berdiri. Ia menatap Thomas dengan rasa penasaran. “Eh? Kenapa buru-buru? Kita baru sebentar di sini, lho!”

Thomas langsung berjalan keluar dari bar, tanpa mengucap sepatah kata pun. Jane mengikutinya dengan langkah cepat, hendak bertanya lagi, namun tiba-tiba Thomas menoleh dan berkata dengan senyum kecil:

“Jane, ikut aku.”

“Ba-Baiklah.”

Tanpa banyak bertanya lagi, ia memutuskan untuk mengikuti Thomas malam ini.

Sesampainya di depan gudang bekas, Thomas membalikkan badan ke kanan, sementara Jane ke kiri. “Ja-Jane, ayo masuk ke dalam,” ajaknya dengan sedikit gugup.

Jane tersenyum lebar dan langsung menerima ajakannya. “Ya.”

Kini, senyuman lebarnya berubah menjadi senyum penuh kenikmatan. “Tubuh Thomas keren sekali... fufufu,” gumamnya, memiringkan kepala ke kanan.

“Seharusnya kau tidak melakukannya,” bisiknya pada kepala dan tubuh Thomas yang tergeletak terpisah.

Dengan cepat, Jane meraih tangannya dan langsung menggigitnya. Gigi normalnya berubah menjadi taring tajam, mirip milik seekor harimau. “Mmm... Pwahh...” desahnya penuh kenikmatan.

“Tempat seperti ini memang sempurna... untuk menyantap pria polos sepertimu.”

Setiap bagian tubuh ia santap satu per satu, tanpa meninggalkan secuil pun. Dimulai dari kulit yang dikoyak perlahan, lalu darah yang disedot hingga tetes terakhir.

Tulang-tulang dikunyah, remuk dalam gigi tajamnya. Kedua bola mata dicabut, jantung dikeluarkan masih berdetak, usus, lambung, dan paru-paru dicabik bergantian. Biji... dan akhirnya, otak.

Setelah yang tersisa hanyalah bercak darah, Jane melangkah pergi dari tempat itu. Dengan tenang, ia menuju pintu, membukanya perlahan, melintasinya tanpa suara, lalu menutupnya kembali, seolah tak pernah terjadi apa pun di sana.

Di tengah ruangan, kedua tangannya yang berlumuran darah terangkat perlahan, memperlihatkan mata yang membara oleh obsesi dan kenikmatan yang nyaris gila.

“Memakan pria polos itu memang... n-i-k-m-a-t,” bisiknya, dengan senyum yang tak sepenuhnya manusiawi.

Ia langsung berjalan ke arah kanan, menghilang tanpa jejak. Tak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam gudang itu.

Tak ada saksi mata. Tak ada yang pernah masuk ke dalam. Seperti gudang tua yang benar-benar telah ditinggalkan serta... terlupakan oleh waktu.

Di rumah Widlie, dan di gudang tua yang terlupakan itu, seseorang berdiri tegak, tersenyum lebar, menatap pemandangan di depannya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!