"Naura! Apa kamu di dalam? Keluarlah, selama kita di sini, jangan lewatkan hal yang sangat langka ini. Ikut aku ke kebun apel. Kita akan memetik apel dan sayuran langsung dari kebunnya!"
Suara David menggema dari halaman villa. Ia berdiri dengan jaket tipis berwarna hijau tua, celana pendek selutut dan topi di tangannya.
Dari dalam, Naura masih menyisir rambut panjangnya yang lembab, sisa mandi barusan. Ia sempat menatap wajahnya di cermin, mengatur napas, dan menahan detak jantungnya yang entah kenapa, berdebar sejak suara David terdengar.
Sore ini ia akan pulang ke Surabaya.
Namun, yang lebih membebani pikirannya bukan soal bagaimana akan pulang. Melainkan soal David. Kakak ipar yang pagi tadi, dalam candaan yang tak bisa ia lupakan, sempat mengatakan hal yang membuat jantungnya nyaris melompat dan wajahnya terbakar.
“Naura, apa yang Kakak katakan tadi hanya bercanda.” kata David sambil bersandar di pintu, ada rasa menyesal telah mengkhianati Kinanti.
"Aku juga bercanda kok, Kak Davit," ucap Naura sambil tersenyum manis, menyembunyikan semua gejolak yang berloncatan dalam dadanya. Seolah semua baik-baik saja.
David tersenyum lega, lalu menyerahkan keranjang anyaman bambu padanya. "Nanti sayur dan buah yang kamu petik ditimbang. Bayarnya sesuai beratnya, jadi jangan kalap, ya."
Keduanya berjalan berdampingan menembus jalan setapak kecil yang membelah kebun apel. Aroma dedaunan, tanah basah, dan wangi apel merah yang matang membaur menyelimuti udara pegunungan yang sejuk.
David berjalan lebih dulu, kadang menengok ke belakang memastikan Naura tidak tertinggal. Sesekali dia menjulurkan tangan memetik apel merah ranum, lalu meletakkannya ke keranjang yang Naura bawa.
Tidak banyak yang mereka bicarakan, tapi keheningan itu justru terasa nyaman. Bukan sepi yang kikuk, melainkan diam yang mengerti.
"Kayaknya sebelum pulang kita masak kentang dan wortel. Kamu bisa masak kan?" ujar David tiba-tiba sembari jongkok mencabut beberapa batang wortel dari tanah.
“Em, bisa. Tapi nggak seenak masakan Mbak Kinanti sih,” sahut Naura sambil berjongkok ikut mencabut kol dan sawi.
David tertawa. "Masakan yang dari tanganmu pasti tetap enak."
Naura terdiam. Itu kalimat sederhana. Tapi diucapkan dengan suara yang terlalu hangat... terlalu lembut untuk hanya sekadar candaan.
Mereka berpindah ke petak sawi, dan saat Naura mencoba menarik sebatang sayuran, ia tiba-tiba berteriak.
“Aaaak! Ulat! Kak! ULAT!” teriaknya sambil lari ke arah David dan — tanpa sempat berpikir — memeluk tubuh pria itu sangat erat.
Pelukannya bukan sekadar ketakutan. Tangan Naura mencengkeram punggung David, wajahnya menempel di dada pria itu, dan nafasnya tercekat karena ngeri yang bercampur dengan rasa aman yang aneh.
David terpaku. Jantungnya berdegup keras, bukan karena ulat, tapi karena pelukan itu. Tangannya sempat terangkat, ragu-ragu, sebelum akhirnya perlahan menepuk bahu Naura menenangkan.
Namun, dalam sepersekian detik itu, tubuh mereka terlalu dekat. Nafas mereka terlalu saling terasa. Dan godaan itu… terlalu nyata.
“Sudah, sudah... cuma ulat kecil.” Suara David menegang. Ia menggenggam lengan Naura dan berusaha menjauhkan tubuh gadis itu dari pelukannya. Tapi tangan Naura tidak melepas.
Naura mendongak, wajah mereka hanya terpisah beberapa senti. “Aku… beneran takut ulat,” bisiknya dengan suara pelan.
Mata mereka bertemu. Tatapan itu tak seharusnya ada di antara mereka. Tatapan penuh debaran yang mengandung larangan, tetapi tak bisa dihindari.
David mundur satu langkah, lalu membalikkan badan. “Ayo pulang,” katanya cepat. “Aku rasa kita sudah cukup panen hari ini.”
Naura menunduk dan mengikuti, tak lagi berkata apa-apa.
***
Di dapur villa, David sibuk membersihkan wortel dan kentang, berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi. Tapi bayangan wajah Naura yang terlalu dekat masih menempel di benaknya. Tatapan matanya, aroma tubuhnya, pelukannya…
Sial. Ini salah. Dia kakak iparnya.
Tapi sejak kehamilan Kinanti memasuki trimester akhir, sejak malam-malam panjang David hanya ditemani suara jangkrik dan angin gunung, sejak Naura datang dan mengisi ruang kosong itu dengan tawa dan kepolosan… dia mulai merasa hidupnya bergerak ke arah yang tak seharusnya.
Naura datang ke dapur membawa baskom kecil berisi sawi dan kol. “Aku potong-potong ya, Kak?”
David mengangguk tanpa menoleh. “Tapi kamu hati-hati… jangan terlalu dekat dengan pisau,” gumamnya sambil terus mencuci.
Naura diam sejenak. “Kak David takut aku kenapa-kenapa?” tanyanya pelan.
David menoleh. Sorot mata gadis itu tampak lain. Ada sesuatu yang mengendap di sana, mungkin sama dengan yang ia rasakan.
"Yusuf tadi izin sama aku, dia pengen jemput kamu, apa kamu mau dijemput dia."
"Aku nggak suka sama Yusuf, Kak."
"Anggap saja teman, siapa tahu perasaan Yusuf padamu akan berguna, kalau hanya berteman saja, pasti tidak ada salahnya kan."
David menatap Naura lama sekali, lalu menghela napas. “Kamu nanti pulang duluan, aku naik taxi sendirian, sudah terlanjur pesan."
Naura berhenti memotong. Ia menoleh. “Kakak senang aku pulang bareng Yusuf?”
David tak menjawab. Ia hanya kembali membalik kentang di wajan.
Tak lama masakan sudah matang, mereka segera menata ke meja, menikmati makan siang berdua, di meja kecil dengan posisi duduk berhadapan.
Setelah makan bersama dengan lauk sayur rebus dan sambal dadakan yang mereka buat di dapur, Naura berdiri di depan jendela kamar. Ia menatap ke arah gunung, di mana cahaya matahari mulai turun perlahan.
Koper kecilnya sudah terisi. Yusuf akan datang tiga puluh menit lagi.
David mengetuk pintu kamar. “Sudah siap?”
Naura menoleh, tersenyum. Tapi senyumnya kali ini tak lagi semanis tadi siang. Ada getir di sudut bibirnya.
“Sudah. Tapi aku belum sempat bilang terima kasih.”
David berdiri di ambang pintu. Mereka saling pandang beberapa detik.
“Naura… jangan pikirkan apa-apa soal hari ini. Aku... aku terlalu nyaman. Tapi kita harus tahu batas, ini semua tidak benar.”
Naura mengangguk. Tapi tiba-tiba ia melangkah maju. Hanya satu langkah. Tapi cukup untuk membuat David panik.
"Aku tahu, Kak. Tapi sekarang aku tahu rasanya nyaman sama orang yang seharusnya tidak bisa kamu peluk?"
David menahan napas. Dia tahu Naura cantik dan menarik, Naura juga punya perasaan yang sama dengannya. Akankah memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain-main.
"Aku tahu ini salah. Tapi pelukan tadi... aku merasa hangat dan nyaman, terimakasih Kak." Naura tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.
David memeluk Naura, Naura menerima pelukan hangat kakak iparnya. Airmatanya jatuh membasahi dada bidang sang Kakak.
Malam turun perlahan di villa kecil itu. Hujan tipis-tipis mulai turun, menimpa atap dan menciptakan denting halus yang ritmis.
Suara kodok dan serangga mulai bersahutan di kejauhan, menciptakan simfoni alam yang biasanya menenangkan… tapi malam ini terasa berbeda.
“Aku akan pulang.” Kalimat itu seharusnya jadi penutup cerita. Tapi nyatanya, justru malam ini jadi permulaan sebuah bab yang sama sekali tak direncanakan.
“Belum. Tadi ada pesan dari Yusuf, katanya telat dua jam karena jalanan macet, kabut di tikungan juga sangat bahaya, dia mengemudi dengan pelan-pelan.”
David melepaskan Naura dan duduk di kursi kayu seberang jendela. Keduanya diam. Hanya suara hujan yang memecah senyap.
“Kak…” suara Naura pelan.
“Hm?”
"ini akan jadi kenangan yang indah, dan mungkin akan sulit aku lupakan."
David menoleh, keningnya berkerut. “Aku ingin kamu lupakan semua setelah kita tiba di Surabaya.
Naura berjalan mendekat dan sedih. “Nggak bisa Kak. Nggak akan lupa dengan mudah."
Naura menatap David dengan tatapan dalam. Matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih, tapi karena bingung dengan dirinya sendiri.
“Kenapa cuma kamu yang bisa bikin aku merasa seperti ini? Padahal aku tahu kamu suami kakakku…”
David berdiri, menghampiri jendela, lalu berdiri membelakangi Naura. David pria normal, dia juga berada dalam persimpangan yang sulit.
Setelah berusaha keras untuk melawan hasratnya, terlihat Naura juga tidak menyerah. "Ini salah Naura, kamu juga harus ingat jasa jasa Kinanti yang berjuang ingin kamu jadi dokter. Bagaimana kalau dia tahu yang kita lakukan."
Naura berdiri pelan, menghampiri David, lalu berdiri di belakangnya. Hujan makin deras. Petir sesekali menyambar.
Naura berjalan lebih dekat di belakang Kakak iparnya, ingin memeluk David dari belakang. "Cinta ini lebih besar dari apapun."
David terkejut, Naura semakin berani mengungkapkan perasaannya.
Naura perlahan menyentuh lengan David dari belakang. “Kak… jangan berpura-pura kuat. Kita berdua tahu… ada sesuatu di antara kita yang tidak pernah kita harapkan… tapi ada.”
David berbalik.
Kilatan petir dan denting hujan, David menatap Naura seperti seorang pria menatap wanita, bukan adik ipar. Bukan keluarga. Tapi sosok yang entah bagaimana bisa mengisi kekosongan yang beberapa Minggu ini ia simpan sendiri.
"Naura... jangan lanjutkan..."
Tapi Naura tetap berdiri di situ, menatapnya, dan mengucap satu kalimat yang menggetarkan:
“Aku nggak butuh dimiliki, Kak. Aku cuma pengen tahu… kamu pernah menginginkanku, meski cuma malam ini.”
"Naura kamu yakin? Kamu menginginkannya?" Davit menangkup wajah Naura dan melihat lebih dekat, David ingin sekali tahu kebenaran ucapan Naura.
"Iya," kata Naura menatap David tajam, nafas hangat Naura menyentuh wajah David, menandakan jarak yang sangat dekat.
David dan Naura lalu saling memejamkan mata, bibir mereka saling bertautan, cukup lama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Yunia Spm
definisi ipar adalah maut sebenarnya....
2025-08-08
1