Bab 4 – “Satu Janin, Seribu Luka”

Malam itu, hujan turun deras. Kilat sesekali membelah langit gelap. Vira duduk di kamar, menyulam selimut bayi yang belum tentu akan terpakai. Di meja, teh hangat sudah hampir dingin. Jam menunjukkan pukul 11 malam, dan seperti biasa, Vito belum pulang.

Namun tiba-tiba…

Tuk… tuk…

Suara pintu depan terdengar. Vira segera berdiri, membuka pintu kamar, dan mendengar langkah kaki yang berat dari arah bawah.

Vito masuk rumah dengan jaket setengah basah, wajah lelah, dan mata merah. Bau alkohol menguar dari tubuhnya.

“Vito?” panggil Vira pelan.

Vito mendongak, memandangi Vira sejenak. Tatapannya kosong. Ia menaiki tangga dengan langkah berat, mendekat, dan tanpa sepatah kata pun, menarik tangan Vira masuk ke kamar.

“Vito, kamu mabuk… duduk dulu, aku buatin teh—”

Namun Vito mendorongnya ke tempat tidur. Tatapan matanya tajam, seperti mencari pelampiasan.

“Vito… kita belum pernah…”

“Ssst…”

Vira gemetar. Tapi ia tidak melawan. Ia tidak ingin menyakiti harga diri Vito.

> “Mungkin… ini yang akan membuatnya berubah. Mungkin… dia hanya butuh aku di sisinya malam ini.”

Vira membiarkan suaminya menguasai tubuhnya. Tak ada pelukan. Tak ada ciuman manis. Hanya tubuh yang dingin, kasar, dan emosi yang tak bisa ia mengerti.

Keesokan harinya, saat Vira bangun, Vito sudah tidak ada. Hanya bantal yang dingin dan bekas luka merah di pergelangan tangannya sendiri, karena ia menggenggam seprai terlalu erat semalam.

---

Beberapa bulan telah berlalu

Dari luar, kehidupan mereka tampak sempurna. Rumah mewah. Istri yang cantik dan lembut. Suami sukses dan berkharisma. Tapi di balik pintu tebal rumah besar itu, hanya Vira yang terus berjuang sendiri.

Ia mulai terbiasa dengan keheningan. Terbiasa makan sendiri. Terbiasa menjahit tanpa ada yang menanyakan kabar. Bahkan terbiasa mengatur jadwal rumah tanpa tahu kapan suaminya akan pulang.

Namun 1 bulan kemudian, perutnya mual, tubuhnya akhir-akhir ini mulai terasa aneh.

Ia sering mual di pagi hari. Kadang merasa pusing, bahkan saat hanya berdiri sebentar. Ia juga lebih sensitif—mudah menangis tanpa alasan jelas.

Awalnya ia pikir itu hanya stres.

Sampai suatu pagi, saat mencuci piring, aroma sabun cuci yang biasa ia pakai justru membuat perutnya bergejolak. Ia menahan muntah dan buru-buru ke kamar mandi. Selama lima menit ia terduduk di lantai, lemas dan bingung.

---

Hari itu, Vira memutuskan pergi ke klinik kecil di dekat taman kota. Ia tak ingin ke rumah sakit besar, takut menimbulkan gosip di kalangan sosialita yang mengenal keluarga Hartawan.

Dokter wanita paruh baya di ruang periksa tersenyum hangat.

“Selamat, Nona Vira. Anda hamil. Usia kandungan sekitar 3 minggu.”

Vira membeku.

Air matanya menetes tanpa sadar.

“Benarkah…? Saya benar-benar hamil?”

“Benar, Bu. Ini berkah besar, apalagi ini kehamilan pertama.”

Vira menutup mulut, menangis pelan. Ini keajaiban. Setelah hari-hari sunyi, luka, dan pengabaian, akhirnya ada satu nyawa kecil yang tumbuh dalam dirinya. Satu alasan baru untuk terus hidup. Untuk terus berharap.

---

Malam itu, Vito pulang sedikit lebih awal.

Vira menyambutnya dengan wajah cerah dan mata berbinar. Ia menyiapkan makanan favorit, menyusun lilin kecil di meja makan, dan bahkan memutar musik lembut di ruang makan.

Vito menatapnya sinis. “Ada acara apa ini?”

Vira menggenggam tangannya dengan ragu. “Aku punya kabar penting…”

Vito menatapnya tajam. “Kabar?”

Vira menarik napas dalam.

“Aku hamil.”

Diam.

Vito menatapnya seperti melihat batu nisan. Bukan kebahagiaan. Bukan keterkejutan. Justru ketidaksenangan yang tak bisa ia sembunyikan.

“Kamu yakin?” tanyanya dingin.

Vira mengangguk. “Tadi pagi aku cek ke dokter. 3 minggu…”

Vito duduk. Menyandarkan kepala. Menghela napas panjang, kesal.

Vira mencoba membaca ekspresinya. “Kamu nggak senang?”

“Aku capek. Jangan mulai drama.” ujar Vito

Vira menggigit bibir. Ia ingin berkata banyak, tapi memilih diam. Ia hanya menaruh tangannya di perut—janin itu tak butuh persetujuan siapa pun untuk tetap tumbuh.

---

Beberapa hari kemudian…

Vito mulai sering berbicara di telepon dengan suara kecil. Ia mulai keluar kota lebih lama. Kadang menginap dua-tiga hari.

Sonia tak lagi datang ke rumah. Tapi Vira merasa sesuatu tak beres. Tatapan Vito makin aneh. Ia kadang menatap perut Vira dengan jijik. Tak pernah menyentuhnya, apalagi mengelus.

Di malam hari, Vira mulai merasa ketakutan. Ia memeluk perut kecilnya erat-erat. “Mama akan lindungi kamu… mama janji.”

Namun ia tak tahu… bahwa janji itu akan segera diuji.

---

Di tempat lain, Vito dan Sonia duduk berdua di sebuah bar rooftop. Mata kota berkelap-kelip di bawah mereka.

Sonia menyender di bahunya, membisik, “Kamu yakin dia hamil beneran?”

Vito menyesap minuman kerasnya. “Dokternya udah bilang. Tapi itu justru bagus.”

“Kenapa?”

Vito tersenyum bengis.

“Kalau dia mati dalam keadaan hamil, citra ‘istri suci’ makin kuat. Dunia akan lebih simpati, dan aku bisa mainkan peran ‘suami berduka’. Semua saham, semua warisan—tak ada yang bisa membantah kalau aku yang paling berhak.”

Sonia menatapnya. “Dan aku?”

“Kamu akan jadi istriku setelah semua ini selesai.”

Sonia tersenyum puas.

Tak ada satu pun dari mereka yang sadar, bahwa langit malam di atas mereka diam-diam menyimpan murka.

---

Di rumah, Vira mulai mencatat perkembangan kehamilan di buku kecil. Ia memberi nama pada calon bayinya. “Kalau perempuan… namanya Anaya. Kalau laki-laki, mungkin Rayan.”

Ia bahkan menjahit baju bayi pertamanya. Kecil, mungil, polos.

Setiap malam ia bicara dengan perutnya. Ia cerita tentang bunga di taman, tentang nasi goreng cabai rawit, tentang masa kecilnya.

“Ayahmu mungkin belum sayang kamu… tapi mama sayang banget. Kamu cahaya di hidup mama…”

---

Seminggu kemudian, Vito mengajak Vira makan malam di restoran mewah. Tiba-tiba, tanpa pemberitahuan. Vira sempat curiga, tapi ia bahagia. Ini pertama kalinya Vito mengajaknya keluar sejak menikah.

Ia berdandan rapi. Mengenakan dress biru laut, dan lipstik merah muda kesukaannya.

Vito bersikap manis. Ia menarik kursi untuk Vira. Memesan menu spesial. Bahkan memuji tampilannya.

Vira mulai berpikir, “Apa mungkin ia mulai menerima aku… karena aku hamil?”

Namun ketika makanan datang, dan Vira mulai makan sup krim yang disiapkan, ia tidak tahu… bahwa di balik kelembutan itu, satu langkah menuju akhir hidupnya baru saja dimulai.

---

Malam itu, saat mereka pulang, Vira merasa lemas. Kepalanya berat. Pandangannya berputar.

Ia mencoba berjalan ke kamar, tapi jatuh di tangga. Vito langsung memeluknya, pura-pura panik. “Vira! Sayang?!”

Vira hanya bisa melihat samar. “Perutku… sakit… ada yang aneh…”

Senyum dingin Vito muncul sesaat—tak terlihat oleh siapa pun. “Tenang… kita ke rumah sakit.”

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!