Di balik pintu kamar Leticia yang tertutup rapat, Petricia berdiri mematung ia meremas-remas ujung gaunnya hingga kainnya terlipat kusut. Dari celah yang kecil, ia bisa mendengar suara tawa Max, sebuah melodi yang dulu ia impikan akan mengisi hari-harinya, sebuah suara yang kini baginya terdengar seperti nada sumbang. Ia bisa membayangkan adegan di dalamnya: Max yang setia menyuapi Leticia dengan penuh kesabaran, tangannya yang lembut mengelus rambut Leticia, dan sorot mata penuh kasih yang dulu Max berikan padanya sebagai seorang teman, kini hanya terarah pada satu orang. Tanpa dia tahu bahwa Max memang sudah jatuh cinta pada Leticia sejak pertama kali mereka bertemu, jauh sebelum semua sandiwara ini dimulai. Amarah yang membara, terasa lebih panas dari api neraka, membakar setiap jengkal dada Petricia. Rencananya yang sudah ia susun dengan begitu sempurna, kini malah telah gagal total, hancur berkeping-keping di depan matanya.
"Sial! Kenapa Max malah semakin lengket seperti lintah?! Dia seharusnya sudah muak dengan Tia yang aneh itu, yang kehilangan ingatan dan tidak bisa diajak bicara dengan normal dan dingin! Apa yang Max lihat dari gadis tanpa ingatan itu? Hanya tubuh rapuh itu? Atau memang dia sebodoh itu sampai tak menyadari ada yang berbeda?" geram Petricia dalam hati, mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih dan kuku-kuku yang panjang menusuk telapak tangannya hingga tangan itu terluka. Rasa sakit fisik itu tidak seberapa dibandingkan dengan rasa sakit di hatinya. Hidungnya kembang kempis menahan napas, berusaha meredam gejolak amarah yang mendidih. Sebuah keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, tanda dari tekanan emosi yang memuncak.
Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecil mereka, sebuah kenangan pahit yang tak pernah pudar dan selalu menjadi bahan bakar dendamnya.
Sejak dulu, Leticia selalu menjadi pusat perhatian. Leticia selalu menjadi yang utama, selalu yang pertama. Petricia selalu menjadi bayangan, menjadi pilihan kedua, meskipun mereka lahir dari rahim yang sama dan memiliki wajah yang identik. **Ini adalah takdir yang tak adil, sebuah kutukan bagi dirinya sejak lahir.**
...~ flashback on ~...
Ia ingat saat ulang tahun mereka yang kelima. Mereka berdiri di depan kue yang sama, tetapi kado untuk Leticia jauh lebih banyak dan lebih besar, karena Leticia yang baik dan mudah berteman dengan siapa saja, bahkan dengan anak-anak dari kalangan biasa, sehingga ia selalu dikelilingi teman yang tulus. Sedangkan Petricia sendiri, dia sudah sombong sejak kecil dan tidak mau berteman dengan orang yang menurutnya miskin, ia hanya mau bergaul dengan anak-anak dari keluarga terpandang, dan itu yang mengakibatkan Petricia merasa dia tak punya teman sejati. Di antara tumpukan kado itu, ada sebuah boneka Barbie edisi terbatas dengan gaun berkilauan yang diimpikannya selama berbulan-bulan. Leticia menerimanya dengan sorakan gembira dan senyum polos yang menyilaukan, sementara Petricia hanya mendapat boneka Barbie biasa yang gaunnya terasa kusam dan lusuh di mata Petricia, seolah itu adalah sisa dari kebahagiaan Leticia. Air mata Petricia yang mengalir karena iri dan benci tidak ada artinya.
"Jangan cengeng Petricia. Mainanmu juga bagus," kata ibunya, tanpa menyadari bahwa yang Petricia inginkan bukanlah mainan, melainkan rasa diperlakukan sama, rasa diistimewakan, bukan diabaikan.
Saat Leticia terpilih menjadi juara kelas, orang tua mereka mengadakan pesta besar, mengundang semua kerabat dan teman, bahkan ada badut dan sulap. Di pesta itu, semua orang memuji Leticia, menyanjungnya seperti pahlawan. Ketika Petricia mendapat nilai yang nyaris sempurna di ujian, hanya selisih satu angka dari nilai sempurna Leticia, mereka hanya memberinya tepukan di punggung. "Bagus, Nak. Tapi apa Leticia ikut? Kalau dia ikut, pasti dia juga bisa menang." Sebuah pujian yang selalu diiringi perbandingan, yang membuat prestasi Petricia terasa hambar dan tak bernilai. Seolah-olah ia harus selalu bersaing dengan kembarannya sendiri, sebuah perlombaan yang tak pernah bisa ia menangkan.
Leticia... Leticia... Leticia... Selalu saja Leticia.
Petricia masih ingat suatu hari ia jatuh dari sepeda dan lututnya berdarah ia menangis kesakitan, namun ibunya justru sibuk memuji Leticia yang berhasil membuat kue pertama kalinya tanpa bantuan. Petricia meringis menahan sakit di kakinya, melihat Leticia mendapatkan semua perhatian. Di lain waktu, Leticia tidak sengaja menjatuhkan bingkai foto dan memecahkannya, tapi dia hanya dimarahi dengan lembut dengan senyum di akhir. Seolah-olah kesalahannya adalah hal yang lucu. Namun, ketika Petricia menjatuhkan vas bunga, ia langsung dihukum di kamar seharian tanpa makan, didisiplinkan dengan keras seolah ia telah melakukan kejahatan besar. Rasanya seperti ia tidak boleh membuat kesalahan, sementara Leticia selalu dimaafkan, seolah ada standar ganda yang berlaku hanya untuknya.
Seolah-olah orang tuanya buta. Mereka tidak melihat bahwa di balik kepolosan dan kecanggungannya, Leticia terkadang keras kepala dan sering membuat kesalahan yang sama. Leticia selalu mendapatkan segalanya dengan mudah, termasuk kasih sayang orang tua yang seharusnya dibagi rata. Dan puncaknya adalah Max. Petricia merasa jatuh cinta pada pandangan pertama, saat awal mula Leticia membawa Max pertama kali ke rumah mereka dan mengenalkan Max sebagai pacarnya. Ia yang selalu berusaha menarik perhatian Max, namun Max hanya melihat Leticia. Max jatuh cinta pada kepolosan Leticia, dan itu adalah sesuatu yang tidak pernah bisa Petricia miliki atau pura-purakan. Rasa sakit itu, melihat Max memilih Leticia, adalah tetesan terakhir yang membuat cawan kesabarannya meluap.
... ~~~ flashback off ~~...
"Kenapa? Kenapa semua hal baik selalu mengarah padamu, Tia? Kenapa kau selalu menjadi yang utama, dan aku selalu menjadi yang kedua? Bahkan Max sekalipun!" gumam Petricia, air mata kemarahan mengalir deras di pipinya, namun ia segera menyekanya dengan kasar, mengganti kesedihan dengan tekad yang dingin dan membatu. Perasaannya campur aduk antara iri, dendam, dan rasa sakit yang dipendam bertahun-tahun. Ini adalah rasa sakit yang telah ia ubah menjadi energi untuk melakukan hal jahat, sebuah kekuatan gelap yang siap ia lepaskan.
Baru-baru ini, saat orang tuanya pulang, ia kembali merasakan perlakuan yang sama. Saat ia sibuk menjelaskan kondisi Leticia, orang tuanya lebih fokus pada Leticia, seolah Petricia hanya ada di sana sebagai narator. "Terima kasih sudah menjaga Leticia," kata ibunya, tanpa sedikit pun kata-kata pujian atas upayanya mengatur rumah selama mereka pergi. "Mama bangga Leticia punya saudari kembar sepertimu," tambah ayahnya, tapi tatapan bangga itu sepenuhnya tercurah pada Leticia, bukan pada dirinya. Semua percakapan kembali tentang Leticia. Seolah-olah ia hanya alat, bukan seorang anak yang juga haus akan validasi.
Di saat Max dan orang tuanya sibuk menyembuhkan "Leticia" yang amnesia, Petricia menyusun rencana baru. Ia sudah gagal membuat Max menjauh. Kini, ia harus mengubah taktik.
Ia memandangi bayangannya di cermin, seringai muncul di wajahnya. "Tidak apa-apa, Leticiaku sayang. Kamu boleh saja amnesia dan mendapatkan seluruh perhatian mereka. Tapi aku akan pastikan hidupmu tidak akan pernah tenang. Aku akan membuatmu menyesal telah mengambil segalanya dariku, bahkan jika itu berarti aku harus berhadapan dengan semua orang," pikir Petricia, suaranya terdengar seperti bisikan beracun. Kali ini ia tidak akan lagi bermain-main dengan jebakan kecil. Ia akan bermain besar, dan panggungnya adalah seluruh rumah ini, dengan semua orang di dalamnya sebagai boneka yang siap ia kendalikan. Namun, untuk melakukan itu semua, ia harus bersabar dulu, menunggu sampai semua orang lengah dan mengira Leticia sudah aman, sebelum ia melancarkan pukulan terakhirnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🦂🍃 CISUN 2 🦂🍃
Jadi emang dari kecil punya otak jahat hhmm 🤔
2025-07-04
4
🟡🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦≛⃝⃕|ℙ$ ⍣⃝Avi 🦐🐾
please petrisia,,, yg kau butuhkan keluar dari rumah, lakukan apapun yg kau mau dengan potensimu yg tak kalah dengan leticia. tutup akses komunikasi walaupun itu keluargamu sendiri. buktikan kau hebat tanpa bayang² mereka dan muncullah ketika kau berada di atas. itu adalah balas dendam terbaik🤧
2025-07-18
1
Srie Handayantie
faktor lingkungan ternyata bisa merubah sgalnya yah, dia kecil udh sombong dan smena2 tpi tak dibantu dirubah sama kedua orang tua nya, sering dibandingkan dgn orang lain jadi dia punya niat jahat .
2025-07-06
4