Setelah Ebha keluar dari kamarnya, Merzi berjalan menuju ruang ganti tempat menyimpan segala pakaian dan aksesorisnya.
Jubah baju tidurnya di lepas dan masukkan ke dalam keranjang baju kotor. Kemudian dia berdiri didepan salah satu lemari tinggi dan lebar berisi berbagai bentuk dress berwarna putih— warna kesukaannya.
Jemarinya bergerak dari kiri ke kanan, memilah dress mana yang akan di gunakan.
Hingga tangannya berhenti ditengah-tengah dress pilihannya. "Ini dia."
Merzi menarik dress itu lalu menempelkan didepan dada. Ini dress baru yang belum di pakainya. Dia akan memakai ini saja.
"Merzi mandi dulu."
Dress-nya yang diambil tadi Merzi gantung, dia akan membersihkan diri terlebih dahulu.
Lima menit berlalu dia selesai dengan aktivitas mandinya. Merzi keluar dari kamar mandi dengan bahtrobe yang membalut tubuh polosnya.
Merzi hanya mandi tanpa keramas, lalu dia segera bersiap memakai baju dan keluar dari kamar.
Dengan sendal rumahan, Merzi menyusuri lorong panjang rumahnya. Para pelayan mulai keluar beraktifitas dengan tugas masing-masing. Dia bisa melihatnya dari lantai dua— letak kamarnya.
Merzi membawa langkah ke lantai dasar. Setiap dia berpapasan dengan pelayan, mereka akan menunduk dan menyapa tak lupa menyampaikan selamat ulang tahun untuknya.
"Selamat pagi, Nona Merzi." Pelayan yang bertugas didapur menyapanya.
"Pagi, Bibi Liney." Balas Merzi tersenyum.
"Selamat ulang tahun, Nona. Apakah ada sarapan khusus yang nona inginkan pagi ini?"
Merzi menggeleng, senyumnya tak pernah lepas. "Terima kasih, Bibi. Sarapan khusus? Hmm…." Merzi mengetuk-ngetuk dagunya berpikir. Sepertinya target berikut yang akan dia jahili adalah bibi Liney.
Melihat Merzi yang berpikir itu, bibi Liney punya firasat tak enak. Bukan hal yang baru jika Merzi senang mengerjai orang-orang apalagi ini adalah ulang tahunnya. Gadis ini begitu senang menyusahkan orang lain.
"Ya, Nona. Katakanlah jika nona ingin sarapan yang berbeda pagi ini."
Merzi menatap bibi Liney yang masih menampilkan senyum. "Baiklah jika bibi memaksa Merzi untuk meminta sarapan khusus."
Memaksa?
Bibir bibi Liney berkedut. Dia tidak memaksa sang nona muda. Dia hanya bertanya.
"Bibi,"
"Ya, Nona?"
"Merzi lupa nama makanan dari daging sapi yang ditambah dengan saus krim dan dumpling roti juga susu krim manis."
Apa? Daging sapi?
Astaga nona, itu adalah menu yang berat untuk sarapan. Pikir bibi Liney dalam benak.
"Svíčková?" Sebut bibi Liney. Makanan khas negara mereka yang sebenarnya adalah menu makan siang atau malam.
"Ah, ya! Svíčková!"
"Nona ingin Svíčková untuk sarapan?"
"Ya, Bibi! Tapi Merzi ingin semua orang makan Svíčková pagi ini." Kata Merzi dengan senyum manis.
"S—semua orang, Nona?" Tanya bibi Liney heran. Bagaimana tidak heran? Svíčková hanya dimakan waktu siang atau malam. Bibi Liney memang lumayan sering membuat menu itu. Tapi tidak untuk pagi.
"Iya, Bibi. Apakah permintaan Merzi terlalu sulit?" Merzi mengubah rautnya menjadi sedih.
Bibi Liney sontak menggeleng. "Tentu saja tidak, Nona. Semua akan menuruti permintaan nona. Apalagi ini adalah ulang tahun nona Merzi, bukan?" Jelas bibi Liney dengan senyum ramah.
Senyum Merzi kembali mengembang. Berhasil juga sandiwaranya.
"Terima kasih, Bibi Liney."
"Sama-sama, Nona."
"Baiklah. Kalau begitu Merzi duluan, Bibi."
"Iya, Nona."
"Sampai nanti, Bibi. Dadah!"
Merzi berbalik dan berlari kecil. Dress pendeknya itu bergoyang mengikuti langkahnya.
"Hati-hati, Nona. Jangan berlari!" Ucap bibi Liney sedikit berteriak. Merzi mengacungkan jempolnya menyiratkan baik-baik saja.
Setelah si nona muda tak terlihat bibi Liney menghela napas. Dia bergumam, "nona Merzi semakin bertingkah saja. Ck ck ck," sambil berlalu ke dapur.
Merzi pergi ke bagian penginapan para pelayan. Disana dia semakin sering disapa. Ucapan-ucapan selamat ulang tahun terus diucapkan, tak terkecuali. Ini adalah hari istimewanya. Dia harus bahagia begitu juga yang lain.
Hingga tibalah dia didepan kamar pelayan paling ujung. Sebelum mengetuk pintu, Merzi merapikan tatanan rambutnya.
"Ehem-ehem," berdehem sedikit lalu tangan kecilnya mulai mengetuk pintu.
TOK! TOK! TOK!
"Ebha."
Itu adalah kamar bodyguardnya. Ebha.
Entah apa tujuannya kesana. Hanya Tuhan dan Merzi lah yang tahu. Dia kembali mengetuk pintu.
"Ebhaaa …. Ini Merzi."
Beberapa kali dia mengetuk pintu tapi masih tak ada sahutan dari Ebha.
"Kenapa tidak ada suara? Apakah Ebha tidak di kamar?" Tanya Merzi pada dirinya sendiri.
Jangan tanya kenapa dia tidak memanggil Ebha dengan panggilan telepon seperti sebelumnya, gadis itu sedang ingin berjalan-jalan dan tentu saja mengerjai Ebha.
Sejenak Merzi berpikir. "Eh, tidak apa kan jika Merzi membuka pintu kamar Ebha? Yah! Pasti tidak masalah. Merzi kan hanya ingin mengecek saja." Katanya diakhiri cekikikan kecil.
Perlahan tangan putihnya memegang gagang pintu. Tidak terkunci. Merzi semakin mendorong pintu. Terbuka. Kepalanya melongok masuk.
"Ebha?" Merzi semakin membuka lebar pintu kamar Ebha lalu membiarkannya tertutup.
"Ebha?" Panggil Merzi lagi. Dia memutarkan pandangan menyusuri kamar Ebha yang tertata rapi ditambah aroma khas lelaki sejati.
Hingga telinganya menangkap suara kran air yang menyala. Merzi menatap asal suara. "Mandi?"
TING!
Gadis itu menjentikkan jari. Ide baru tiba-tiba muncul di kepalanya.
Merzi melangkah mendekati ranjang disamping dinding. Ada baju dan celana yang Ebha pakai tadi. Tergelak tak rapi diatas kasur, mungkin lelaki itu buru-buru meletakkannya. Lalu Merzi mengambil sweater Ebha, dan duduk dipinggir ranjang.
Sweater Ebha begitu besar ditangannya yang kecil. Dia seperti memegang baju raksasa. Lalu tangannya meraih celana Ebha.
"Ck, pakaian Ebha besar-besar sekali. Merzi memegangnya saja keberatan apalagi jika Merzi pakai baju dan celana ini. Entah jadi apa Merzi."
Dia meletakkan kembali celana Ebha diatas kasur tapi kembali mengambil sweater Ebha dan mencium baunya.
"Wangi. Ebha memang selalu wangi. Merzi jadi penasaran Ebha memakai parfum apa."
Setelah mengatakannya Merzi berdiri. Niatnya tadi ingin melihat meja yang ada disamping lemari Ebha. Tapi tidak jadi karena Ebha telah keluar dari kamar mandi. Merzi tetap berdiri ditempat. Melihat Ebha yang mengeringkan rambut sambil bersiul. Sepertinya lelaki ini belum menyadari kehadirannya.
Baiklah mari kita tunggu Ebha sadar jika Merzi ada didalam kamarnya dan sedang melihat gaya seksinya yang sedang mengusak-ngusak rambut.
Dan yeah, ini dia. Ebha mengangkat kepalanya. Lelaki itu tentu terkejut dan tergagap. "Non—nona Merzi? Apa yang—?!"
Sedangkan Merzi? Gadis itu pura-pura terkejut sambil menutup mulut. "Oops! Jadi Ebha sedang mandi ya? Maaf, karena Merzi masuk tanpa ijin."
Bisa Merzi lihat Ebha menghela napas berat. Pasti lelaki ini begitu tertekan. Dia bahkan mengusir Merzi dengan cara halus.
Ganti namanya jika dia langsung menurut. Merzi malah melangkah mundur sambil berkata, "bagaimana jika Merzi ingin menunggu Ebha disini? Menunggu Ebha diatas kasur, Merzi bolehkan duduk disini?"
Lagi-lagi Ebha menghela napas. Dia menutup bagian dadanya yang terekspos dengan handuk yang pakai untuk mengeringkan rambut tadi.
Tidak ada gunanya bernegosiasi dengan sang nona. Hanya menguras kata dan tenaga. Lebih dia undur diri dengan mengganti pakaiannya dikamar dan membiarkan Merzi duduk bebas diatas kasurnya. Harapannya semoga nona muda itu keluar dari kamarnya sebelum dia selesai berganti pakaian.
Tapi itu hanyalah sebuah harapan palsu. Tekad Merzi terlalu besar dan kuat. Lihatlah, gadis itu sekarang berdiri didepan mejanya. Entah melakukan apa.
Merzi mendengar pintu kamar mandi kembali dibuka. Dia berbalik sambil menunjukkan sebuah botol parfum kaca pada Ebha.
"Apakah ini parfum yang Ebha gunakan sehari-hari?" Tanya Merzi.
Ebha mendekati Merzi sebelum membalas, "iya, Nona. Ada apa?"
Merzi mengangguk paham. Dia membuka tutup parfum itu, melangkah lebih dekat pada Ebha.
"Tidak ada. Biar Merzi bantu Ebha menggunakan parfum ini." Merzi bersiap menyemprotkan parfum, tapi tangannya ditahan Ebha.
"Tidak perlu, Nona. Terima kasih. Saya bisa melakukannya sendiri."
Merzi menggenggam botol parfum lebih erat. Senyum luntur sedikit. Dia melihat tangan Ebha yang bersiap mengambil alih parfumnya. "Merzi hanya ingin membantu. Kau menolak, Ebha?"
Suara Merzi berubah datar. Ebha tahu bahwa Merzi adalah anti di tolak. Apalagi yang menolaknya ada dia. Lelaki itu tak punya kuasa selain, membiarkan sang nona muda.
"Saya tidak bermaksud demikian, Nona. Terima kasih sudah menawarkan bantuan." Ujar Ebha menurunkan tangannya.
"Begitu lebih baik."
Tiga kali Merzi menyemprotkan parfum didepan tubuh Ebha. Lelaki itu hanya pasrah menatap lurus ke depan, tak melihatnya.
"Ebha."
"Nona Merzi."
Mereka sama-sama memanggil. Tapi Ebha lebih dulu berdehem dan melanjutkan, "perempuan dahulu."
"Oke." Merzi mundur sedikit untuk meletakkan kembali botol parfum diatas meja. Dia mendongak melihat Ebha yang tak melirik padanya. Dengan gerakan pasti dia melepaskan kardigan kebesaran yang menutup bagian atas tubuhnya.
"Apakah dinding itu lebih menarik daripada Merzi, Ebha?"
Mendengar Merzi yang bersuara, Ebha segera menunduk, "maaf, Nona?"
Mata mereka saling terpaku. Ebha lah yang pertama kali mengalihkan pandangannya, menatap lurus kembali. Bukan hal baru baginya melihat pundak halus Merzi yang terekspos sekarang. Tapi dia harus menjaga sopan santun.
"Apa yang Ebha lihat dari dinding itu?" Merzi kembali bertanya dan ikut menoleh pada apa yang Ebha lihat.
"Tidak ada, Nona."
"Kalau begitu kenapa tidak ingin menatap Merzi?"
Ebha menurunkan kepalanya. Memandang hidung kecil Merzi yang menggemaskan. "Saya menatap nona sekarang."
Merzi tersenyum. Dia berjalan ke samping, berdiri agak jauh dari Ebha lalu berputar pelan diatas lantai. Menunjukkan dress baru yang dipakainya.
"Lihat. Bagaimana gaun baru Merzi? Pas tidak ditubuh Merzi?"
Ebha memperhatikan. Dia mengangguk. "Sangat cantik. Pakaian apapun yang nona pakai akan kelihatan pas."
"Bohong sekali."
"Saya mengatakan yang sesungguhnya, Nona. Tidak mungkin saya membohongi nona."
Benar juga. "Tapi ucapan Ebha terlalu berlebihan." Merzi menunjuk baju Ebha yang masih teronggok diatas kasur. Ebha mengikuti arah telunjuk Merzi. "Baju Ebha tidak akan pas jika Merzi pakai. Terlalu besar. Merzi akan kelihatan jelek memakainya."
Ebha mengernyit sedikit. "Untuk apa nona memakai baju saya?"
Merzi mengangkat kedua bahu. "Tidak tahu, Merzi hanya iseng mengatakannya."
"Baiklah, Nona. Tapi nona pasti kelihatan cantik memakai apapun. Biar pakaian itu kekecilan atau kebesaran."
"Terima kasih penilaiannya, Ebha."
Ini juga yang Merzi sukai dari Ebha yang menjadi bodyguard sekaligus menjadi penilai akan penampilannya.
"Sama-sama, Nona."
"Oiya, Ebha ingin mengatakan sesuatu juga tadi. Apa itu?"
"Iya, Nona. Apakah nona hanya bertanya tentang gaun baru itu?
"Ya, ah— tidak juga. Ada hal lain. Tapi nanti saja. Sekarang giliran Ebha." Merzi duduk kembali diatas kasur. Kakinya dia rapatkan dan mendongak menatap Ebha, menunggu lelaki itu bersuara.
Ebha juga berjalan mendekati kasur. "Maaf sebelumnya, Nona. Saya akan menyimpan baju kotor ini dulu." Ebha menunduk. Wajahnya begitu dekat dengan Merzi karena gadis itu sedikit menduduki celananya.
Merzi suka mencium aroma tubuh Ebha. Dia suka berdekatan dengan Ebha. Dan dia punya kesukaan baru, mencium pipi Ebha.
"Apakah Ebha mempunyai pacar?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Diana
Aduh, kelar baca cerita ini berasa kaya kelar perang. Keren banget! 👏🏼
2025-06-29
1