Sementara di kamar, Bagas perlahan mendekat dan ikut memijat tangan.
Sesekali ia berusaha membangunkan putrinya dengan memanggil nama berulang-ulang.
"Alina ... dengar Ayah?" bisik Bagas ke telinga. Namun, tak ada respon apa pun dari Alina.
"Tidak apa-apa, Om Bro ... eh, Ayah Bro." Brayn tertawa kecil setelah mendapat pelototan dari ayah mertuanya. "Alina hanya butuh istirahat."
Maya mendekat dan mengusap bahu suaminya.
"Ayo, kita tunggu di luar saja. Di sini kan ada suaminya yang menemani. Lagian ada banyak tamu di depan dan tidak enak kalau kita di kamar terus."
Menarik napas dalam-dalam, Bagas akhirnya mengikuti saran istrinya. Mereka berdua keluar meninggalkan Brayn dan Alina di kamar.
Brayn berpindah posisi. Ia duduk di sisi Alina dan membelai puncak kepala sang istri.
Pertama kalinya bisa menyentuh perempuan itu dengan bebas membuatnya berdebar-debar.
Ia mencium punggung tangannya, memijat lembut.
Paras manis itu mampu membuatnya terpaku, memandangi wajahnya seperti candu, tidak ada kata bosan.
Bahkan saat tidur pun Alina masih terlihat sempurna di matanya.
"Aku mencintaimu, Khumayrah-ku. Andai kamu paham," bisik Brayn, mengecup kening. Dalam dan lembut. Tangannya membelai wajah halus itu.
Sentuhan lembut itu sepertinya berhasil membangunkan Alina.
Kelopak mata wanita itu mulai bergerak-gerak. Tampak ada respon melalui gerak jemarinya.
Lenguhan lemah terdengar dari bibirnya. Matanya perlahan terbuka, mengerjap berulang-ulang dengan kesadaran yang belum utuh.
Brayn sedikit memberi jarak sebelum istrinya benar-benar sadar sepenuhnya.
"Kamu sudah bangun?"
Tak ada sahutan. Alina masih memandang ke sekitar dengan raut wajah bingung.
Tangannya terangkat menyentuh kepala yang berdenyut. Beberapa saat kemudian ia baru tersadar bahwa Brayn berada di sisinya.
"Aku kenapa?" tanyanya lemah.
"Kamu pingsan setelah ijab," jawab Brayn pelan. "Apa yang kamu rasakan? Pusing, lemas?"
Alina mengangguk pelan.
"Mau minum?"
"Tidak." Ia mengusap kelopak matanya. "Ibu mana?"
"Di depan. Sedang menemani tamu. Kamu butuh sesuatu? Beritahu aku saja." tanya lelaki itu. Namun, Alina menggeleng dan malah memberi jarak di antara mereka.
"Apa boleh aku ditinggal sendiri? Aku mau istirahat sebentar."
"Yakin?" Brayn bertanya ragu.
Mana mau ia meninggalkan Alina dalam keadaan seperti ini.
"Please! Aku mau istirahat. Mau tiduran dulu sebentar." Kini Alina berbaring dengan membelakangi suaminya.
Mengusap air mata yang mengalir agar tidak sampai terlihat.
"Ya sudah, tapi kalau mau apa-apa bilang, ya."
Ia hanya mengangguk.
Tak ingin memaksa, Brayn akhirnya menuruti istrinya. Ia keluar kamar setelah memastikan Alina tidak apa-ара.
Begitu keluar kamar, Bagas dan Pak Vino sedang bicara berdua. Mereka langsung mendekat menyambut sang pengantin.
"Bagaimana istrimu?" tanya Pak Vino.
"Sudah bangun, Pa. Tidak apa-apa kok. Hanya kelelahan. Sekarang sedang istirahat."
"Alhamdulillah kalau begitu." Pak Vino bernapas lega.
Kedatangan Rafa dan Raka mengalihkan pembicaraan mereka.
Tiga sahabat itu saling memeluk dan saling memberi ucapan selamat sebab ketiganya menikah dalam jarak waktu yang tidak begitu jauh.
"Bagaimana calon Bapak?" Brayn menepuk bahu Rafa.
"Ya gini-gini saja," sahut Rafa terkekeh. "Seharusnya jangan tanya aku, tapi tanya adik iparmu."
Tatapan Brayn tertuju pada Raka.
"Aku belum, Bro. Biar istri bahagia dulu sebelum urus anak."
Brayn meninju lengan adik iparnya, lalu melirik ketiga adiknya yang sedang berjalan ke arahnya.
Zayn, Zahra dan Bima langsung memeluk kakak sulung mereka bersamaan.
"Selamat ya, Kak. Semoga pernikahan ini membawa kebaikan untukmu dan orang-orang di sekelilingmu," ucap Zahra.
"Terima kasih adik kesayanganku." Ia mengusap puncak kepala adiknya yang terbalut hijab panjang menjuntai.
"Karena Kakak sudah menikah, motornya boleh buat aku dong sebagai hadiah," ucap Bima, membuat Brayn melayangkan tatapan tajam.
"Tetap belum boleh! Tunggu cukup umur baru boleh!"
Pemuda itu hanya menggaruk kepala.
Kehadiran Siska mengurai pelukan antara empat saudara itu.
Gadis cantik dengan gamis berwarna lembut itu mendekat. Tersenyum dan mengatupkan tangan di depan dada.
"Selamat, ya. Semoga kebahagiaan selalu melimpahi kamu. Aku akan selalu berdoa untuk itu."
"Terima kasih, Siska." Brayn mengulas senyum. "Aku juga akan mendoakan supaya kamu dipertemukan dengan seseorang yang tepat."
"Aamin."
"Maafkan aku, Sis."
Wanita itu menunduk. Ada bias kecewa terlihat dalam tatapannya.
"Tidak, bukan salah kamu. Aku yang seharusnya minta maaf." Ia mengusap ujung matanya yang basah.
Tanpa disadari Brayn, Alina berdiri di ambang pintu, menatap suaminya dengan bola mata berkaca-kaca.
**
**
"Sayang, sudah mendingan?" Sapaan Bu Resha menyadarkan Alina dari lamunan.
Sang pengantin langsung mengusap ujung matanya yang basah agar tak seorang pun yang melihat. Menggantinya dengan senyum seperti biasa.
"Mama...." Alina langsung memeluk Bu Resha. "Agak mendingan, Ma. Maaf aku membuat repot semua orang."
"Apa sih, tidak ada yang repot. Mama malah khawatir sama kamu, takut kamu sakit." Bu Resha membelai puncak kepala sang menantu. "Kamu masih pucat, Sayang."
"Tidak apa-apa, Ма. Kemarin kurang tidur, makanya lemas."
"Yakin sudah baikan?" tanya Bu Resha hendak memastikan.
Alina menyahut dengan anggukan kepala.
Melihat putrinya sudah keluar kamar, Maya mendekat.
Setelah memastikan kondisi Alina sudah lebih baik, ia menuntunnya menuju tempat yang telah disediakan untuk pengantin, karena ada beberapa prosesi yang ditunda karena pengantin perempuan pingsan.
Mulai dari pembacaan doa bersama, sampai acara sungkeman.
"Selamat, Anakku. Semoga kalian berdua menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahma. Pernikahan itu bukan akhir, tapi permulaan perjalanan kalian. Semoga bisa saling menjaga sampai maut memisahkan." Pak Vino mengusap puncak kepala Alina.
Tak ada sahutan dari Alina.
Fokusnya tertuju pada sebaris kata, 'sampai maut memisahkan'. Hal yang membuat matanya tiba-tiba dipenuhi cairan bening.
"Aamin, Pa," sahut Brayn yang duduk di bersimpuh di sisi Alina.
Pak Vino langsung memeluk anak dan menantunya bersamaan. Mencium kening mereka satu persatu.
"Akhirnya anak sulungku menikah sesuai harapanku. Kalian tidak tahu betapa bahagianya Papa hari ini," ucapnya lagi. "Bahagia selalu, ya. Brayn, utamakan istrimu dalam keadaan apapun."
"Insyaallah, Pa."
Sepasang pengantin itu lalu menyambut para keluarga yang turut memberi ucapan selamat dan doa.
Hadiah pernikahan menumpuk di sudut ruangan. Tidak ada kendala apapun hari itu. Semua berjalan lancar.
Jika Brayn tampak sangat bahagia dengan pernikahannya, berbeda dengan Alina yang terlihat penuh beban.
Hanya senyum di bibir terus merekah agar tak seorang pun tahu rahasia apa yang ada di hati.
***********
***********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments