Bab 2. Tujuh Tahun yang Hilang

Tujuh tahun berlalu, suara papan ketik berdetak cepat di sebuah kantor startup pengembang gim, Zenith Creatives. Laura duduk di balik layar, matanya menatap deretan kode yang berbaris rapi. Wajahnya terlihat tenang, tetapi ada tekanan di balik ekspresi itu.

Pagi itu, sebuah email masuk ke kotak surelnya.

---

Kepada seluruh karyawan,

Diberitahukan bahwa perusahaan akan diakuisisi oleh W-Ware Group dan berpindah pusat operasional ke Jakarta. Bagi staf senior yang ingin tetap bekerja, kami akan membantu proses relokasi.

Hormat kami,

HR Zenith Creatives

---

Jantung Laura berhenti sesaat. Matanya tak lepas dari layar yang menampakkan surel tersebut. Dia membacanya berulang seakan tengah meyakinkan diri bahwa apa yang dibaca keliru.

Jakarta memang lain wilayah dengan Bali. Bahkan beda pulau, tetapi masih satu negara. Entah mengapa ada kebimbangan yang kini menerkam hati Laura, dia akhirnya mengajukan surat pengunduran diri karena enggan kembali ke Indonesia.

Keesokan harinya, Noah Wisesa menatap Laura dari sofa. Lelaki itu memutar cangkir teh hangat di tangannya. Bocah enam tahun dengan rambut cokelat acak-acakan tengah bermain di lantai dengan mainan robot.

“Kamu mau berhenti kerja karena perusahaan pindah ke Jakarta?”

“Aku nggak bisa kembali ke sana, Noah. Aku jauh-jauh pergi ke luar negeri dan memulai baru untuk mengobati luka.” Laura tersenyum kecut sambil memperhatikan putra kesayangannya.

“Luka itu nggak bisa hilang kalau kamu terus lari, Laura. Dan kamu punya anak yang harus kamu besarkan. Perusahaan itu satu-satunya yang stabil sekarang.”

Laura menatap Leon. Bocah itu menoleh dan tersenyum manis padanya. Laura mengusap puncak kepala Leon sambil membalas senyuman putranya tersebut.

“Mama, boleh nggak aku bawa robot ini ke Indonesia kalau kita pindah?” tanya Leon sambil menunjukkan robot kesayangannya.

Pertanyaan sederhana itu menampar Laura. Perempuan tersebut tersenyum kecil. Sebuah anggukan terasa berat dia berikan kepada Leon.

“Boleh, sayang. Kita bawa semuanya.”

Jawaban dari Laura membuat Leon melompat kegirangan. Dia langsung memeluk Laura dan menghujani sang ibu dengan ciuman. Noah tersenyum puas karena bisa kembali bekerja di perusahaan yang sama dengan Laura.

---

Hari itu pun tiba, gedung W-Ware menjulang tinggi di pusat kota. Laura mengenakan blazer hitam, wajahnya tegas, rambutnya digulung rapi. Dia terlihat seperti profesional sejati. Laura melangkah masuk ke ruang pertemuan, bersama para manajer senior.

Seorang pria melangkah masuk. Setelan jas biru tua membungkus tubuh tingginya. Rambut cokelat tua tersisir rapi. Matanya menyapu ruangan dan berhenti di satu titik. Jordan William menatap Laura. Waktu seakan berhenti.

“Selamat pagi. Saya Jordan William, CEO baru kalian. Saya harap kerja sama kita membawa hasil yang maksimal.”

Suara itu membuat Laura terbelalak, perlahan dia mengangkat wajah untuk menatap si pemilik suara. Jordan tidak bereaksi atau pun berkedip. Dia hanya menatap Laura, kemudian langsung duduk di ujung meja rapat.

Suara Jordan terdengar dingin, profesional, tak tersentuh. Namun, saat matanya bertemu dengan Laura lagi, sekilas ada badai di dalamnya. Lain halnya dengan Laura.

Sepanjang rapat berlangsung, keringat dingin mengucur hampir di sekujur tubuh. Celana panjang yang dia remas sejak tadi mulai basah. Noah yang terus memperhatikan Laura sejak tadi akhirnya berbisik dan menanyakan kondisi perempuan tersebut.

"Laura, kamu nggak apa-apa? Kamu sakit? Kamu berkeringat banyak dan tampak pucat."

Laura tersenyum kecut dan menggeleng. Tak ada fokus di matanya. Dia hanya menunduk sepanjang rapat, dan sebisa mungkin ingin segera keluar dari ruangan tersebut.

Perempuan tersebut menyesali keputusannya untuk tetap ikut pindah ke kantor itu. Luka lama yang dulu dia pendam, mendadak kembali basah. Namun, mengingat Leon yang begitu senang mulai bersekolah, membuatnya berpikir keras.

Sampai akhirnya rapat selesai, Laura segera berdiri untuk keluar dari ruangan tersebut. Akan tetapi, suara Jordan menghentikannya.

“Laura, bisa bicara sebentar?”

Laura terpaksa berhenti. Jantungnya berdetak tak menentu. Noah menatap khawatir, tetapi Laura hanya mengangguk kecil. Noah keluar dari ruangan itu, sementara Laura melangkah ke ruang kaca di pojok ruang rapat.

“Jadi dia alasan kamu menghilang tujuh tahun yang lalu?” tanya Jordan sambil menatap punggung Noah yang mulai menghilang di balik pintu.

“Bukan urusanmu," jawab Laura dingin dengan tatapan tajam.

“Aku mencarimu. Aku datang ke rumahmu, ke rumah kakakmu. Kamu hilang tanpa jejak.”

Laura mendekat, penuh kemarahan yang ditahan. Dia menatap tajam Jordan. Jemari perempuan tersebut mengepal kuat di samping badan.

“Setelah kamu berciuman dengan kakakku? Setelah kamu hancurkan kepercayaanku?”

Jordan terpaku. Dia membuka mulut, tetapi Laura tidak membiarkannya bicara.

“Sudahlah, Jordan. Kita bukan siapa-siapa sekarang. Kamu CEO dan aku karyawan. Mari kita jaga jarak.” Laura balik badan dan mulai melangkah menjauhi Jordan.

“Kamu masih secantik dulu. Tapi tatapanmu ... seperti tidak mengenalku lagi.” Jordan tersenyum kecut sambil menatap punggung mantan tunangannya.

Laura berhenti sejenak, lalu melangkah pergi tanpa menoleh. Kini ruangan itu hening. Meninggalkan Jordan dengan hati yang berkecamuk.

---

Sepulang kerja, Laura dan Noah mengajak Leon makan di sebuah restoran Thailand. Mereka duduk di meja paling pojok dekat pintu masuk. Pada hari pertama bekerja, Laura ingin menyenangkan hati anaknya dengan makanan favorit mereka ketika tinggal di Bangkok.

“Mama, kapan kita bisa jalan-jalan ke tempat mainan?” tanya Leon sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.

“Nanti setelah makan, ya, Sayang.” Laura tersenyum lembut, kemudian mengusap puncak kepala sang putra.

Tiba-tiba Leon merajuk. Dia beranjak dari kursi dan berlari menuju pintu keluar. Tanpa sengaja bocah lelaki tersebut menabrak seseorang.

Leon pun mendongak ke arah lelaki yang sudah dia tabrak. Lelaki itu adalah Jordan. Dia berhenti di pintu sambil memegang tubuh Leon agar tidak jatuh.

Bocah itu tersenyum padanya, senyum polos yang sangat familier. Jordan membeku seketika. Pelukannya pada Leon terbuka karena Laura mengambil alih tubuh mungil bocah tersebut. Dia menatap Leon dan Laura yang kini berdiri melindungi anaknya.

“Kamu punya anak?” tanya Jordan dengan alis yang saling bertautan.

“Itu bukan urusanmu.” Suara Laura terdengar begitu tegang dan dingin.

Jordan menatap wajah bocah itu. Rambut, bentuk mata, lesung pipi, semuanya sangat tidak asing. Akan tetapi, sebelum dia bisa bicara lebih jauh, Laura menggandeng tangan Leon.

“Kami permisi," ujar Laura.

Perempuan tersebut berjalan pergi keluar dari restoran. Noah pun beranjak dari kursi. Dia sedikit membungkuk untuk memberikan hormat kepada Jordan yang merupakan atasannya di kantor.

Jordan tidak merespons, sehingga membuat Noah berlalu begitu saja menyusul Laura dan Leon. Sementara itu, Jordan berdiri di ambang pintu, tubuhnya menegang, dadanya sesak. Dia balik kanan dan menatap Laura, Leon, dan Noah yang pergi melalui pintu kaca di hadapannya.

“Anak itu ... kenapa wajahnya mirip denganku?”

Terpopuler

Comments

♡Ñùř♡

♡Ñùř♡

seharus nya enggan kmbali ke jakarta bukan indonesi,karena kan indonesia dan bali bukan beda negara,kan masih sm² indonesia,mf klau aq slh🙏🤭

2025-06-30

1

Esther Lestari

Esther Lestari

ya jelas mirip denganmu lah Jordan....kan anakmu yang tidak kamu ketahui kehadirannya

2025-07-06

1

Teh Yen

Teh Yen

lah iya emng itu nak mu Jordan

2025-07-05

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!