Laboratorium Tersembunyi di Desa

Fajar menyungging lembut saat mobil Profesor Carlos menembus lembah. Kabut pagi bergulung pelan di lembah, menyingkap hamparan sawah hijau berembun, seolah menyambut mereka setelah semalam penuh perjalanan.

Profesor Carlos, dengan tangan mantap di kemudi, mengerling sekilas kepada Robert. Tak perlu banyak kata senyum tipis cukup menggambarkan: mereka hampir tiba.

Robert menghela napas, memandang ke luar jendela dengan rasa kagum yang tak terbendung. “Indah sekali…,” gumamnya pelan, hatinya ringan meski rasa khawatir semalam tak sepenuhnya padam. Pepohonan glodok, kandang sapi, dan asap tungku pagi menyemarakkan udara desa yang benar-benar asing baginya. Jauh dari hiruk-pikuk kota mereka.

Carlos melepas senyum lembut, tanpa melepaskan pandang dari jalan. “Dua hari kita di jalan, Robert.”

Perlahan langit fajar mengusir gelapnya malam ketika mobil Profesor Carlos masih melaju pelan, menyusuri jalan pegunungan yang sepi. Udara dingin pagi bertaut dengan suara mesin. Hening, tapi penuh beban. Robert menatap Profesor dari sudut matanya, mencari tahu jawab atas rasa was-was yang masih menyelimuti.

Tanpa lepas tangan dari kemudi, Profesor Carlos menarik napas dalam, suaranya lembut tapi tegas menembus sepi kabin. “Aku tidak asal mengira.” Ia menoleh ke kaca spion, memastikan tak ada jejak yang mengikuti. “Beberapa malam lalu, aku tak sengaja mendengar pembicaraan bos di laboratorium tempat kita bekerja. Di telepon, ia berbicara dengan seseorang tentang penelitianmu. Kata-katanya jelas: 'Obat ini bisa dipakai,' maksudnya, bisa digunakan untuk menekan mereka yang berkuasa.”

Robert menunduk, mengusap jemarinya yang gemetar halus entah karena ketakutan atau kegembiraan. Ia benar-benar merasa tak memahami. “Kupikir penelitian ini… untuk menyembuhkan, bukan?” suaranya tercekat.

Carlos menyela, kembali menatap jalan. Panorama pagi terbuka: sawah terhampar bening, kabut tipis menyelimuti pepohonan. Suara burung merdu di kejauhan menambah nurani haru Robert.

Profesor melanjutkan, “Obatmu ini bisa mengendalikan sel abnormal. Teknisnya, bisa digunakan untuk memeras pemerintah. Bayangkan, siapa pun yang memegang itu bisa menentukan siapa hidup, siapa mati... atau ya bisa dipakai untuk tujuan kriminal.” Napasnya berat, namun tegas.

Robert menekan tangannya ke dada, merasakan detak keras, antara rasa kagum terhadap ilmunya dan kengerian akan kemungkinan kelam. Ia menelan ludah, menatap lurus keluar jendela. Angin membawa wangi dedaunan. Sekeras apapun dunia, alam memberi ketenangan sejenak.

“Jadi itulah sebabnya engkau membawaku ke lab tersembunyi itu,” katanya lirih.

Carlos mengangguk mantap. “Labku tersembunyi di balik pegunungan agar tidak berada di bawah pantauan orang-orang itu. Di sana, kamu bebas mengembangkan penelitianmu tanpa tekanan dari mafia jahat. Di tempat ini, yang jauh dari pemukiman, di lereng pegunungan yang dingin dan sepi… di sanalah penelitianmu benar-benar bisa dipakai untuk menyelamatkan, bukan menghancurkan.”

Mobil terus menanjak, memasuki jalan setapak berbatu. Sinar matahari pagi membuka tirai kabut, memancarkan kilau harapan di mata Robert. Ia menarik napas panjang, mengelus dada lagi, seolah meresapi setiap inci udara pegunungan yang mengobati keraguannya.

“Baik,” jawabnya perlahan, suara rendah dan mantap. “Mari selamatkan penelitian ini...”

Di antara lembah hijau dan jalanan berliku, mereka melaju—dua jiwa satu misi, jauh dari kejaran kegelapan, menuju sebuah laboratorium yang menjanjikan harapan.

Mereka melaju sedikit lebih cepat saat jalan mulai menanjak, mobil bergoyang lembut melewati kerikil dan akar pohon yang menjorok ke aspal. Matahari pagi makin menaik, menyapu kabut, dan memperlihatkan siluet pegunungan menjulang di kejauhan. Katup dunia yang menyambut gagasan ilmiah dan nyawa yang dipertaruhkan.

“Hutan di kiri kita…,” suara Robert terdengar lirih, “rasanya seperti dunia lain. Sejuk, tenang… bukan seperti di kota, di mana petualangan kita selalu dibayang-bayangi alarm dan suara mesin.”

Carlos mengangguk. “Aku memilih tempat ini bukan hanya karena jaraknya yang jauh. Karena setiap helai angin dan desah pepohonan mengingatkan kita akan tujuan kita sesungguhnya. Semesta seakan mendukung.”

Mereka tiba di jalan setapak sempit, di mana mobil berhenti di depan gerbang batu kasar. Pintu gerbang alami menuju laboratorium kecil yang tersembunyi di lereng pegunungan. Kabut tipis masih menyelimuti, menambah aura misteri dan kedamaian.

Robert membuka pintu, turun perlahan. Saat kakinya menyentuh tanah desa, udara segar menyergap, meresap ke paru-parunya. Hatinya berdebar bukan karena takut, tapi oleh keyakinan yang tumbuh di antara alam yang menenangkan dan kekuatan ilmiah yang siap diperjuangkan.

Matahari pagi telah penuh menebar sinarnya saat mobil Profesor Carlos menepi di depan sebuah bangunan sederhana. Bukan istana raksasa, tapi sebuah laboratorium kecil berpintu kayu, dibingkai oleh tembok batu kasar dan tanaman merambat. Dari balik pintu, muncullah sosok ramping dengan kacamata, langkahnya mantap menyambut mereka di serambi.

Jesika, keponakan Profesor Carlos dan ilmuwan cerdas, tersenyum hangat, menyalami Robert dengan sapaan yang ramah. Seketika, suasana tegang selama perjalanan terasa mereda. Rumput lembap di bawah kaki mereka terasa sejuk, angin pelan seolah membawa harapan baru.

Profesor Carlos memperkenalkan mereka. “Jesika, ini Robert. Teman sekaligus rekan penelitianku. Dia yang penelitiannya sempat terancam oleh mafia dan oknum di laboratorium kota.”

Jesika menatap Robert, sorot matanya tulus penuh empati. “Senang bertemu, Robert. Profesor telah banyak bercerita tentang pekerjaanmu. Di sini, kamu bebas bekerja tanpa ketakutan.”

Sambil berbicara, Jesika mempersilakan Robert masuk ke bagian dalam. Dia menunjukkan kamar tamu yang sudah disiapkan, mengecek sprei, menata bantal, dan memastikan meja kecil di samping tempat tidur dilengkapi lampu baca. Tindakannya cekatan, menunjukkan profesionalisme sekaligus perhatian tulus.

Setelah memandikan diri, Jesika mengantar Robert ke kamar, lalu menatap Profesor Carlos di dekat pintu laboratorium. Suaranya merendah saat dia berbisik, “Om, apa kalian tidak dibuntuti orang?”

Profesor Carlos menoleh, wajahnya tenang namun serius. “Tidak, Jesika. Aku sudah membersihkan jejak kita. Orang luar tidak tahu kalau Robert ada di sini. Lokasinya benar-benar rahasia.”

Jesika menghembuskan napas lega, kemudian mengangguk ringan. “Baiklah. Semoga begini selamanya.”

Cahaya matahari menyusup pelan melalui jendela, menandakan awal hari. Di dapur sederhana, Jesika sibuk memasak sarapan. Aroma roti panggang berpadu dengan bau kopi hangat dan telur rebus. Suara wajan beradu lembut dan desahan kompor membentuk musik pagi di laboratorium terpencil itu.

Ketika sarapan siap, ia melirik ke belakang. “Om dan Robert, mandi dulu ya. Nanti sarapan siap di meja.”

Carlos dan Robert saling berpandangan sambil tersenyum ringan di bibir, lalu mengangguk. Suara air mengalir terdengar dari kamar mandi kayu, sementara di luar Jesika membereskan piring dan alat masak, matanya menyiratkan niat baik dan perhatian tanpa diminta.

Tak lama kemudian, mereka bertiga berkumpul di meja makan kayu di pojok ruang makan. Secarik roti, sepiring telur, dan dua cangkir kopi menghiasi piring masing-masing. Sinar matahari pagi kini memantul di lantai, menambah kehangatan suasana.

Profesor Carlos memecah kesunyian ringan. “Beberapa hari ke depan aku harus kembali ke kota,” katanya sambil meneguk kopi. “Aku perlu ke lab kita supaya kalau nanti mereka tanya, tidak terlalu mencurigakan kalau aku menghilang begitu saja.”

Robert menelan sambil menatap Carlos, ragu terpancar jelas. “Profesor… kau yakin ini aman? Mereka bisa menunggu, mereka punya jaringan…”

Profesor Carlos dengan lembut berkata, “kamu tenanglah. Aku ke kota untuk memantau situasi disana, dan untuk memberi informasi yang akan kukasih tahu ke Jesika.”

Robert menghela napas, menatap secarik roti di atas piringnya. “Aku… sebenarnya takut,” ucapnya lirih. “Sekarang suasananya sudah aman di sini. Kenapa kau harus kembali?”

Profesor Carlos meletakkan cangkirnya, menatap mata Robert dengan tatapan penuh keyakinan. “Aku juga hati-hati. Di kota aku akan menyamarkan keberadaanku seperti biasa. Siapa pun berpikir aku masih di lab sana. Di sini, ada Jesika yang jadi ‘sedikit ibu rumah tangga’, yang akan membantumu dan berkomunikasi dengan aku.”

Jesika menyentuh tangan Robert di ujung meja, memberi semangat. Wajahnya tersiput lembut. “Tenang saja. Om yang paham situasi di kota, aku yang menjamin semua disini. Semua akan baik-baik saja.”

Robert memandang kedua sosok yang di depannya: ilmuwan yang rela mengambil risiko, dan keponakannya yang sigap menjaga. Hatinya terisi keberanian baru. Ia bangkit dari kursi, menatap mereka dengan mata penuh kesungguhan.

“Baik. Aku percaya, Profesor. Jika kau yakin, aku akan fokus di sini. Memastikan penelitian terus berjalan tanpa gangguan.”

Profesor Carlos tersenyum lega, mengangkat secangkir kopi lagi. “Untuk kemurnian ilmu pengetahuan dan menjaga agar tidak jatuh ke orang jahat.”

 

Terpopuler

Comments

私°は Riͥriͣnͫ 𝕴𝖗𝖊𝖓𝖊🔰π¹¹™

私°は Riͥriͣnͫ 𝕴𝖗𝖊𝖓𝖊🔰π¹¹™

jesika bukan pelakor kan /Shy/

2025-06-30

1

lelaki senja

lelaki senja

wah. ini obat yg keren

2025-07-02

0

Bayu.

Bayu.

alurnya bikin penasaran

2025-07-08

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!