HTA3

Kepergiaan Maya membuat Alan mencoba mengalihkan kesepian dengan tenggelam dalam pekerjaannya hingga pukul 20.07 malam. Namun sayangnya dia tetap tidak fokus dengan pekerjaannya. Terganggu dengan kepergian Maya.

Di balik temaram cahaya lampu kantor, Alan duduk termenung sendirian. Wajahnya muram, menyimpan beban masa lalu yang membuatnya trauma akan sebuah pernikahan. Alan memandangi tiket paket liburan honeymoon ke Jepang untuk bulan depan yang sudah ia siapkan bersama Maya. Selama menjadi kekasih Maya, Alan rutin setiap bulan melakukan liburan itu layaknya pasangan suami istri yang sedang kasmaran.

Meskipun sebelumnya Alan sudah dua kali menikah. Ia belum pernah merasakan hasrat sedalam itu terhadap wanita, bukan sekadar keinginan jasmani, tetapi juga kehausan akan kebersamaan dan hanya Maya yang bisa mengerti. Ketulusan hati wanita itu berhasil menjerat hati sang Bos, membuat Alan tenggelam dalam cinta yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ketegangan memuncak saat Jacob memasuki ruangan Alan dengan membawa informasi yang telah ditugaskan kepadanya.

“Pak, identitas calon suami Nona Maya sudah kami dapatkan,” ucap Jacob, menyerahkan berkas yang disusun rapi. “Namanya Adly Hanif, staf administrasi di PT Andara, salah satu anak perusahaan kita di Jawa Tengah. Ayahnya, Bagas Kusuma yang juga mantan karyawan keuangan di PT Anugerah RVC lima tahun lalu."

Alan membaca sekilas data itu, lalu tersenyum kecil, senyum yang meremehkan.

“Pria ekonomi low dan masih dalam lingkaran perusahaan ku?” gumam Alan sinis. “Mustahil dia bisa memberi Maya kehidupan nyaman seperti yang pernah aku berikan.”

Alan melemparkan berkas itu ke meja sambil mendesis lirih,

“Maya itu sudah terbiasa hidup dalam kemewahan... Sial, aku harus bersaing dengan pria sekelas kerikil!” gumam angkuh Alan.

“Terima kasih. Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri,” kata Alan datar mengabaikan Jacob.

Jacob mengangguk, namun sebelum melangkah keluar, ia berkata;

“Oh iya, Pak. Hari ini Nona Maya resmi mengundurkan diri dan telah kembali ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Perlu saya hubungi untuk kembali ke Jakarta?”

Alan menggeleng perlahan.

“Jangan. Aku yakin, dia akan datang dengan sendirinya.”

“Baik, Pak. Saya permisi.”

Setelah pintu tertutup, Alan berdiri membisu di depan jendela. Ia menyalakan sebatang rokok, mengisapnya perlahan sambil menatap gemerlap lampu kota yang bersinar di balik malam. Asap rokok melayang tenang, kontras dengan pikirannya yang penuh gejolak.

Di balik sorot matanya yang tampak tenang, tersembunyi sebuah senyuman tipis, bukan karena bahagia, melainkan keyakinan bahwa semua masih dalam kendali.

“Kita lihat saja, May... Pada akhirnya kau akan datang mengemis lagi untuk ku.”

--

Pukul sembilan malam, Maya tiba di halaman rumah yang telah lama tidak ia kunjungi.

Hawa desa yang sejuk ternyata tidak mampu menenangkan kegelisahan hatinya. Langkah kakinya terhenti saat melihat kedua orang tuanya, Ardi dan Maryam, berdiri menantinya di teras.

Tampak Roy, adik laki-lakinya, mengangkat koper Maya ke dalam rumah. Ia tersenyum kecil saat melihat kakaknya, meski sorot matanya menyimpan kekhawatiran.

“Ibuk, Bapak...” sapa Maya dengan suara pelan dan kaku.

Tatapan ibunya dingin, sorot matanya penuh kekecewaan. Wajah Maryam tidak mampu menyembunyikan luka akibat kabar miring terhadap Maya yang sudah beredar luas di desa mereka.

“Benarkah, Maya?” tanya ibunya lirih, namun menusuk. “Apa yang dikatakan warga...kamu jual diri di kota?”

Maya terpaku. Tubuhnya kaku, jantungnya berdegup tak karuan. Ia belum sempat membuka mulut ketika Roy memotong dengan nada tegas.

“Buk! Mbak baru saja sampai. Biarkan dia istirahat dulu!” ucapnya, membela sang kakak.

Maya menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya, ia masih percaya bahwa Shela akan membersihkan namanya. Ia hanya perlu waktu.

“Itu semua cuma fitnah, Buk. Maya nggak seperti itu,” jawab Maya, mencoba menyembunyikan dan meyakinkan ibunya.

Maya mengerti ibunya baru saja pulang dari rumah sakit. Ia tak ingin kondisi sang ibu makin memburuk karena aibnya.

Namun Maryam masih bungkam. Hingga suara Ardi, ayah Maya, memecah keheningan.

“Kamu ini lebih percaya omongan orang lain daripada anakmu sendiri. Maya kerja banting tulang di kota demi kita hidup layak di kampung ini. Kamu nggak bersyukur?” hardik Ardi.

Maya menunduk, merasa bersalah, ia menyesali perbuatan bodohnya. Maya sudah merobek kepercayaan keluarga yang cukup besar terhadap dirinya.

“May, masuk dulu ke kamar. Istirahatlah,” perintah sang ayah dengan nada lembut.

“Terima kasih, Pak,” ucap Maya pelan, mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.

Sesampainya di kamar lamanya, Maya langsung duduk di kasur tua yang penuh kenangan masa kecil. Ia meraih ponselnya, lalu mengetik pesan kepada Shela.

“Shela, tolong bersihkan namaku. Aku nggak mau keluarga ku menderita karena semua ini, kau boleh temui Alan kapan pun kau mau, aku nggak akan ganggu kalian. Cukup... jangan hancurkan nama baik orang tua ku.”

Beberapa menit kemudian, Shela membalas singkat:

> “Syaratnya, jangan pernah hubungi Alan lagi.”

Jantung Maya terasa diremas. Tapi ia tak punya pilihan.

> “Baiklah, Shel.”

Maya mengirimkan pesan itu dengan berat hati. Bukan karena ia masih mencintai Alan, tapi karena ia merasa bersalah telah menyeret keluarganya dalam pusaran aib .

Maya merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Di luar, suara jangkrik malam dan angin yang menggoyangkan pohon bambu seperti ikut menangisi nasibnya.

Maya mulai larut dalam penyesalan yang menyesakkan dada.

“Apa yang sebenarnya aku dapatkan? Cinta yang tidak pernah terbalas, tubuh yang ternoda, dan harta yang tidak kunjung ku genggam. Justru keluargaku yang harus menanggung malu karena aibku.”

Maya menggertakkan gigi, matanya mulai berkaca-kaca hingga menetas.

“Betapa bodohnya aku… Rela menjadi budak dalam sangkar”

"Dasar perempuan tidak berguna!" hardik Maya untuk dirinya.

Maya dihantui rasa ketakutan, gelisah dan rasa bersalah terhadap keluarganya.

--

Malam semakin larut di Jakarta. Di sudut bar eksklusif yang remang, Alan Andrew duduk sendirian. Kemeja nya kusut, dasinya longgar, matanya merah menahan amarah dan kehilangan. Tangannya memainkan gelas whiskey yang sudah tak bersisa, sementara pikirannya tenggelam jauh ke masa lalu.

Di kejauhan, dua orang pengawal pribadi dan Jacob, asistennya, tetap berjaga. Mereka mengerti, malam ini bukan malam biasa. Alan sedang dalam kondisi terburuknya.

Alan memejamkan mata. Bayangan Maya muncul lagi, tawa lembutnya, sentuhan hangat di pagi hari, dan cara gadis itu memakaikan dasi dengan senyum indahnya. Selalu menjadi penawar manis dikala Alan dalam kepahitan. Semua kenangan itu menghantam batinnya seperti gelombang pasang.

“Kenapa kamu pergi, May...” gumam Alan dalam hati, sesak.

Tiba-tiba, sebuah tangan halus menyentuh bahu Alan. Ia perlahan menoleh. Seorang wanita cantik berdiri di sana, mengenakan gaun merah elegan dan parfum yang menyengat manja menggoda. Senyum genit menghias wajahnya untuk Alan.

Terpopuler

Comments

ᴛᴜᴋɪɴᴇᴍՇɧeeՐՏ🍻

ᴛᴜᴋɪɴᴇᴍՇɧeeՐՏ🍻

bagaimana perasa'n mu Alan setelah di tinggal Maya??? apa kau lebih baik, tapi seperti'y kau mala lebih berantakan, ini baru 1 hari loh

2025-06-22

5

ᴛᴜᴋɪɴᴇᴍՇɧeeՐՏ🍻

ᴛᴜᴋɪɴᴇᴍՇɧeeՐՏ🍻

mana tau Maya kalo seseorang yang di anggap teman teryata adalah musuh qita sendiri 😔😔😔sekarang Shela sudah menunjukan taring'y

2025-06-22

5

☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ¢ᖱ'D⃤ ̐

☠ᵏᵋᶜᶟҼɳσᵇᵃˢᵉ¢ᖱ'D⃤ ̐

serasa ada yg kurang kn klo gak ada Maya...
itulah manusia,dekat serasa gak butuh giliran jauh merasa kehilangan

2025-06-22

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!