Sekarang, yang biasanya sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam, kini Theresia sedang bersenang-senang dengan Bhaskar di sebuah tempat dengan berbagai permainan yang menyenangkan.
Menghabiskan waktu bersama Bhaskar ternyata tidak buruk bagi Theresia, walaupun pada pertemuan pertamanya sangat tidak terduga. Tapi kini ia senang dengan keberadaan laki-laki asing itu.
“Lagi-lagi, Re.” Bhaskar menyemangati Theresia yang sedang bermain basket.
Jumlah poin yang lumayan besar membuat Theresia dan Bhaskar melakukan high five dengan rasa keseruan bermain. Namun tiba-tiba Bhaskar tidak sengaja menggenggam tangan Theresia yang membuat gadis itu memudarkan senyumannya. Ia tidak sadar dengan tangannya yang bertaut dengan Theresia.
“Bhaskar..”
“Ya?” Ia melihat tautan tangannya dan langsung menarik tangannya kembali. "Maaf.”
Theresia sedikit bersikap gelagapan karena suasananya mulai canggung. Ia melirik air hockey yang sedang sepi dan menunjuknya.
“Main itu, yuk?”
Bhaskar melirik ke arah tunjuk Theresia dan tersenyum meremehkan. “Yakin? Gua jago kalau soal itu, nanti kalah nangis.”
“Dih, gua nggak sampe segitunya kali,” balas Theresia.
Mereka menghampiri permainan tersebut dengan Theresia yang tampak paling serius. Bhaskar pun menyeringai gadis itu dan memulai permainannya. Awal yang sangat kuat dalam pertahanan.
Namun beberapa saat kemudian, Theresia lah yang pertama kali masuk. Gadis itu langsung tersenyum penuh kemenangan walaupun ini hanyalah awalan. Bhaskar yang tidak ingin memakan omongan sendiri langsung membalas Theresia bertubi-tubi dengan masuk terus-menerus hingga permainan selesai.
Theresia berdecak kesal dan melirik Bhaskar yang menaik-turunkan alisnya. “Paling cuman beruntung aja.”
“Bilang aja nggak terima,” balas Bhaskar.
Tidak jauh dari mereka, permainan dance dance revolution yang baru saja digunakan anak kecil membuat Theresia tersenyum licik melirik ke arah Bhaskar.
“Coba yang itu, Bhas.” Theresia menunjuk dance revolution yang membuat Bhaskar justru menatapnya.
“Nggak ada yang lain gitu?”
“Kan, mencoba, yuk!” Tangan Bhaskar ditarik Theresia mendekati permainan tersebut.
Jujur saja, Bhaskar sedikit malu. Apalagi saat ia menaiki permainan tersebut banyak arah mata yang tertuju kepadanya. “Ganti ya, Re?”
“Enggak. Ini aja, lihat, tuh. Udah mau mulai, mending fokus dulu,” jawab Theresia yang tersenyum melirik Bhaskar.
Laki-laki itu sesekali melirik sekitarnya karena tidak nyaman dengan pandangan mereka. Walaupun ada beberapa yang buram di kejauhan, tapi saat matanya melihat orang-orang yang bergerombol membuatnya waswas dengan sekitarnya. Ia hanya bisa berharap permainan ini cepat selesai dan keluar dari tempat ini.
Tampak seperti orang yang kewalahan karena harus melihat layar dan di mana kakinya akan menginjak. Bhaskar sangat kaku dalam hal tersebut, jadi tidak heran jika seperti itu. Saat lagu berhenti, Bhaskar langsung turun dan pergi membela keramaian. Ia bernapas lega saat keluar dan menghirup udara segar dalam-dalam.
“Kenapa?” tanya Theresia yang tiba-tiba datang dari belakang.
“Gua nggak suka keramaian,” jawab Bhaskar.
“Ohh.. permainan tadi bikin rame, ya? Maaf.”
Bhaskar melirik Theresia yang sepertinya merasa bersalah. “Nggak apa-apa.”
“Eh! Lihat tuh, itu abangnya tadi yang main dance sama kakak itu.” Samar-samar suara seorang bocah membicarakan Theresia dan Bhaskar terdengar saat bocah tersebut melewati mereka tepat di depannya.
Theresia menahan tawanya yang dapat Bhaskar lihat. “Ketawain aja sekalian. Ayo!”
“Ke mana?” tanya Theresia sembari mengikuti langkah kaki Bhaskar.
“Makan, lo nggak laper? Lo juga belum makan sejak tadi pagi.”
“Ehm... gua langsung pulang aja, ya? Udah malem soalnya,” ujar Theresia
Theresia memang bersenang-senang dengan Bhaskar. Tapi ia tidak akan melupakan dirinya yang merupakan seorang perempuan. Theresia juga memiliki rasa takut terhadap Bhaskar, dia laki-laki dan tidak bagus jika terlalu lama dengan seorang laki-laki yang tidak begitu dekat saat malam.
“Gua anterin,” kata Bhaskar.
“Nggak, deh. Gua bisa sendiri, mending lo juga pulang, orang tua lo nyariin nanti.”
“Nggak ada yang nyariin gua, jadi nggak usah khawatirin gua. Yang gua khawatirin itu elo, cewek-cewek pulang malam sendirian.”
“Gua bisa jaga diri gua sendiri.” Gadis itu langsung melenggang pergi meninggalkan Bhaskar yang menatapnya. "Oh, ya, makasih ya, Bhaskar!"
Meski gadis itu mulai melangkah menjauh meninggalkan Bhaskar, laki-laki itu tersenyum sejenak ketika Theresia berbalik dan berteriak untuk berterimakasih. Tapi dia itu Bhaskar, yang juga seorang keras kepala. Ia membiarkan Theresia pulang sendiri, tetapi dari kejauhan akan terus ia lihat dengan kacamatanya tanpa sepengetahuan gadis itu.
Gua emang bukan siapa-siapa lo, tapi naluri gua menyuruh untuk jagain lo, batin Bhaskar.
Di bawah langit malam berjalan sendiri, namun ada yang menemani di belakang.
...••••...
Sebelum memasuki rumahnya, Theresia menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar. Ia meremas tasnya dan bersiap untuk menerima apa pun yang akan terjadi setelah ia memasuki rumah itu.
“Aku pulang,” kata Theresia sambil melepaskan sepatunya.
“Dari mana lo!” sentak Linsi yang tiba-tiba muncul di depannya dengan wajah yang sedang menahan amarah dan jangan lupakan tatapan kebencian dari matanya.
Theresia tidak menjawab, ia justru melewati Linsi dengan sengaja menabrak bahu kakaknya. Linsi yang kesal sebab tidak dipedulikan langsung menarik pundak Theresia hingga punggung gadis itu terbentur ke dinding dengan cukup keras
“Aduhh! Sakit beg-“
Sesuatu membentur kepalanya yang terasa sedikit sakit di bagian samping karena Mamanya melempari tutup camilan kepada Theresia. Gadis itu pun hanya diam tidak melawan.
“Jangan ngomong kasar sama kakak kamu.” Wanita itu datang dengan menuruni tangga dan wajah judesnya yang selalu terpasang saat melihat Theresia. "Nih, kamu tahu kan apa yang harus dilakuin? Tuh, uangnya di dalam, dan juga jangan kebiasaan keluyuran setelah pulang sekolah, tugas kamu numpuk di rumah!” tekan Mama.
Wanita itu meletakkan wadah camilan yang kosong di meja dan membiarkan tutup wadah tersebut di lantai tanpa ada keinginan untuk mengambilnya. Dengan begitu Theresia sendiri yang akan memungutnya. Ia benar-benar diperlakukan seperti pembantu.
Datang di sambut dengan wajah tidak mengenakkan dan tatapan yang menusuk, sekarang ia harus melakukan pekerjaan rumah setelah perlakuan kasar Linsi yang memuakkan.
Sementara itu, Linsi mengambil keranjang yang berisikan pakaian kotor dari balik pintu belakang dan meletakkannya di depan Theresia.
“Abis beli camilannya Mama Cuciin, dong. Beberapa pakaian gua juga harus ada yang kering, soalnya ada yang gua butuhin.”
Sesudahnya, Linsi pergi meninggalkan Theresia yang menatar nanar ke keranjang tersebut.
“Punya tangan, kan? Cuci aja sendiri. Gua capek, mau istirahat,” balas Theresia.
Mama yang baru saja duduk di sofa langsung dihampiri oleh Linsi yang langsung bergelayut manja. “Maa... There nggak mau cuciin baju-baju aku, mana ada baju yang aku butuhin buat besok.”
“Ya, udah, masakin buat malam dulu, abis gitu cuciin baju Mama juga sekalian ya, Re? Kalau nggak minggu depan kamu nggak ada uang saku.” Tentu saja ancaman Mama berpengaruh untuk Theresia.
Theresia menghela nafasnya lelah dan mengangkat keranjang tersebut. Ia bahkan belum mengganti seragamnya, tapi sudah mendapatkan tugas lagi. Hanya bisa menuruti dan memenuhi keinginan orang rumah sementara ia jarang dituruti.
Malam yang seharusnya digunakan untuk bersantai, beristirahat, belajar, justru harus melakukan pekerjaan rumah. Theresia juga tidak bisa melawannya, ia hanya bisa menurut jika tidak ingin dipotong uang sakunya atau bahkan diusir dari rumahnya.
Gadis itu tengah mengiris beberapa sayuran untuk bahan masakan, tapi suara notifikasi ponselnya membuat ia menghentikan sesi mengirisnya sebentar.
“Masak nggak usah main hape, apa jangan-jangan lo punya pacar, ya?” Linsi yang datang tiba-tiba langsung menyahut ponsel Theresia, tetapi adiknya lebih cepat menghindar.
“Cuman temen, emang kenapa?”
“Ohh... sapa tahu cewek nolep kek lo tiba-tiba punya pacar, kan aneh, dong...” Linsi pergi sembari menertawakan Theresia di dapur.
Setelah mondar-mandir menyiapkan makan malam dan menyiapkan makanan di atas meja, Theresia mengganti pakaiannya hendak pergi keluar memenuhi keinginan Mamanya membeli camilan kacang.
Sesampainya di toko, Theresia menyapa sang penjual yang sudah paham dengan maksud ia datang.
“Beli kacang lagi?” tanya wanita sang pemilik toko.
“Iya, nih, Bu. Kacangnya enak, mangkanya nambah-nambah terus,” jawab Theresia dengan tersenyum ramah.
“Tunggu, ya?” Theresia mengangguk dan melihat-lihat isi toko.
Ia tiba-tiba merasakan ada hal janggal dengan seorang laki-laki dengan Hoodie abu-abu di sudut ruangan yang kepalanya ditutupi tudung bajunya. Ia menepuk bahu orang tersebut, dan ya.. itu Bhaskar yang berbalik dengan tersenyum dipaksakan.
“Ngapain lo? Ikutin gua?” tanya Theresia.
“E-enggak, gua juga mau beli camilan di sini,” jawab Bhaskar dengan melihat-lihat isi toko.
“Ohh.. rumah lo di mana?”
“Jauh dari sini.”
“Lo nggak pulang, ya? Celana lo masih pake seragam, dan cuman pake hoodie di atasan doang. Ngaku lo! Abis ngapain,” tuduh Theresia seraya menunjuk-nunjuk Bhaskar.
“Gua nggak ngapa-ngapain, cuman jalan-jalan lagi aja tadi bentar.”
“Ohh...” Theresia menghampiri depan kasir untuk mengambil pesanan mamanya dan akan membayar. Namun tangan Bhaskar tiba-tiba ada di sampingnya dengan menyodorkan selembar uang merah.
“Ini, Bu,” ucap Bhaskar.
Gadis itu terkejut menatap Bhaskar yang tiba-tiba membayar camilan milik mamanya. Sementara pemilik toko tersenyum usil ke arah Theresia.
“Cowok kamu ya, Re?” goda pemilik toko tersebut dengan memberikan kembalian.
“Bukan, cuman temen aja. Aku duluan ya, Bu.” Theresia langsung menarik tangan Bhaskar pergi, keluar dari toko tersebut setelah meraih uang kembali di meja kasir.
Ia berhenti di sisi jalan saat sudah lumayan jauh dari toko tersebut dan melepaskan tangan Bhaskar. Bhaskar yang bingung dengan sikap Theresia hanya bisa diam dengan memerhatikan gerak-gerik gadis itu.
“Kenapa?”
“Nih, gua nggak mau lo bayarin, udah banyak hal yang lo bayarin sebelumnya. Jadi gua ngerasa nggak enak.” Tiba-tiba Bhaskar mengembalikan uang tersebut ke telapak tangan Theresia. "Udah terima aja.”
Bukannya terjadi sikap memberi dan menerima, malah menjadi aksi pemaksaan dengan pihak pemberi yang ingin memberi sementara pihak yang lain menolaknya dengan gigih.
Lelah dengan penolakan Bhaskar, Theresia menarik napasnya panjang-panjang dan mengeluarkan perlahan dengan melirik laki-laki yang sedang melihat sekitarnya.
“Mending lo pulang deh sekarang, udah malam malah keluyuran,” titah Theresia.
“Oke, setelah gua anterin lo pulang.”
Sontak Theresia terkejut. Jika Bhaskar akan mengantarnya pulang, kemungkinan ada yang melihatnya entah itu Linsi yang biasanya di balkon depan rumah, ataupun mamanya yang terkadang di depan rumah dengan ponselnya.
“Nggak perlu. Lagian juga lo ngapain ngikutin gua sebegitunya sampai gua pulang ke rumah tadi ‘kan? Jujur aja!” Theresia memicingkan matanya kepada Bhaskar.
“Maaf, tapi gua kepo banget soal lo. Tapi jangan takut ke gua, gua baik kok orangnya.”
“Terserah, jangan gitu lagi pokoknya, gua sendiri juga takut kalau diikuti orang,” kata Theresia yang langsung menarik tangan Bhaskar dan memaksakan jemari tangan laki-laki itu untuk menggenggam uangnya.
“Gua duluan, dan lo juga harus pulang,” tunjuk Theresia sebelum berbalik untuk kembali ke rumahnya.
...••••...
...Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments