Bab 4

Mansion mewah milik Keluarga Ximen.

Ruangan luas itu dihiasi perabotan klasik nan elegan, dengan lampu kristal yang menggantung di tengah langit-langit, memantulkan cahaya hangat ke seluruh penjuru ruangan. Damien Ximen duduk di atas sofa kulit berwarna hitam, menyilangkan kaki dengan angkuh. Tatapannya menusuk tajam, memancarkan aura dingin dan penuh tekanan.

"Hingga saat ini masih belum menemukan gadis itu?" tanya Damien, nada suaranya tenang namun menyimpan bara api. Ia menatap Steven, tangan kanannya memegang gelas kristal berisi minuman berwarna gelap.

Steven berdiri di hadapannya, menunduk dengan gugup. "Tuan Ximen, maafkan kami karena terlalu lamban," ucapnya penuh rasa bersalah.

"Butuh berapa lama untuk menemukannya?" Damien menyipitkan mata. "Rekaman CCTV di lokasi kejadian, apakah tidak ada?"

"Tuan, tempat itu adalah luar dari pantauan CCTV," jawab Steven dengan suara hati-hati. "Oleh sebab itu, kami butuh waktu lebih banyak untuk melacak jejaknya."

Damien menghentakkan gelas ke meja marmer di depannya, membuat Steven refleks mundur setengah langkah. "Kau tahu aku tidak punya kesabaran. Dalam dua hari ini, aku ingin melihatnya di hadapanku!" ucapnya dengan nada memerintah. Tangannya meremas syal lembut—milik Barbie.

"Baik, Tuan," jawab Steven dengan cepat, menunduk semakin dalam.

"Pergi!" perintah Damien, lalu menenggak habis minumannya dalam satu tegukan.

Setelah Steven pergi, Damien kembali menatap syal di tangannya. Aromanya masih samar tertinggal, membuat hatinya bergejolak antara marah dan rindu. Ia menatapnya dengan pandangan tajam namun penuh obsesi.

"Di mana pun kau berada... aku akan menemukanmu, Baby," gumamnya lirih, seperti janji yang tak bisa diingkari.

Tempat Tinggal Barbie.

Udara malam terasa lembap dan sunyi. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari saat Barbie melangkah perlahan menuju dapur dengan mata yang masih setengah terpejam. Dia membuka kulkas, mengambil sebotol air dan menuangkan ke gelas kosong. Ia meneguknya perlahan. Baru saja dia hendak meletakan gelas tersebut. suara berat memanggilnya dari belakang.

"Barbie..." seru suara itu.

Tubuh Barbie menegang. Ia menoleh cepat dan mendapati sosok Simon, ayah tirinya, berdiri di ambang pintu dapur dengan senyum aneh yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Kenapa kau ada di sini?" tanya Barbie dengan nada curiga dan kesal. Matanya tajam mengamati pria paruh baya itu yang melangkah masuk ke dalam cahaya lampu dapur.

Simon tertawa pelan, menyeringai. "Barbie, kita sudah lama tinggal bersama. Kenapa masih waspada denganku? Bukankah kita harus lebih banyak berkomunikasi? Lagipula, aku juga tidak setuju kalau kamu menikah dengan Andy Yang. Dia tidak cocok untukmu."

Simon melangkah lebih dekat, mencoba meraih pundaknya.

Barbie mundur satu langkah, menatapnya dengan jijik. "Walau dia adalah brengsek, aku lebih rela menikah dengannya daripada dekat denganmu. Dasar tua tak tahu diri. Tidak tahu apa baiknya dirimu sampai bisa membuat ibuku tertarik padamu."

Ucapannya tajam seperti pisau, menusuk ego Simon. Wajah pria itu berubah, senyum sinisnya berubah menjadi tatapan liar yang berbahaya.

Simon kembali mendekat, kali ini lebih agresif, tangannya terangkat ingin memeluknya.

Namun, Barbie dengan gerakan cepat, ia mengayunkan gelas kaca di tangannya ke arah kepala Simon. Braakkk! Suara pecahan kaca menggema di dapur. Simon terhuyung, darah mulai mengalir dari pelipisnya.

"Sentuh aku lagi... dan kau tidak akan punya kesempatan kedua," kata Barbie dingin, ia kemudian meninggalkan dapur dan kembali ke kamarnya.

Simon hanya bisa menahan amarahnya yang terpendam sambil memegang kepalanya yang mengeluarkan darah.

Kamar Barbie.

Barbie kembali ke kamarnya dengan langkah cepat Ia segera mengunci pintu dan bersandar pada dinding, mencoba menenangkan napasnya yang memburu setelah insiden di dapur. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berjalan ke ranjang, menarik selimut tebal, dan membalut tubuhnya rapat-rapat.

Ia meringkuk, membenamkan wajah ke dalam lipatan selimut sambil berbisik lirih, "Hidung belang... ingin tidur saja tidak bisa tenang."

Namun, ia tak menyadari bahwa bahaya lain sedang mengintainya. Di luar jendela kamarnya, seorang pria berdiri di balkon dalam diam. Pria itu bertubuh tegap, mengenakan pakaian hitam yang membaur dengan kegelapan malam. Dengan sigap, ia membuka jendela perlahan, tanpa menimbulkan suara. Dia adalah Calvin Wu, salah satu anggota terpercaya Damien Ximen.

Gedung Tinggi Milik Damien Ximen.

Di tempat lain, di lantai atas sebuah gedung, suasana terasa mencekam. Ruangan luas bergaya modern itu dihiasi lampu gantung mewah dan perabotan mahal, tapi suasana dingin membungkus seluruh isi ruangan seperti kabut tak terlihat.

Damien Ximen duduk dengan angkuh di sofa berbahan kulit gelap, bermain-main dengan pisau kecil di tangannya, mengamati pantulan cahaya pada bilah tajamnya.

Di hadapannya, lima wanita berlutut dengan wajah penuh ketakutan. Mereka menunduk dalam-dalam, tak berani menatap mata pria itu.

"Tuan Ximen, kami benar-benar tidak tahu ke mana Andy Yang," ucap salah satu dari mereka dengan suara gemetar.

Damien tak menjawab. Steven, tangan kanannya, maju selangkah dan bertanya dengan tajam, "Menurut informasi, Andy Yang sering mencari kalian untuk... pelampiasan. Terakhir kali kalian bertemu dengannya, kapan dan di mana?"

Wanita itu tergagap. "Su-sudah seminggu kami tidak melihatnya. Kami mohon... lepaskan kami. Kami tidak tahu apa-apa, sungguh."

Steven menoleh pada Damien. "Tuan, mereka berlima adalah wanita yang paling sering dipanggil Andy Yang. Dan setiap selesai ‘bertemu’, Andy selalu memberi mereka banyak uang dan perhiasan."

Damien mengibaskan tangan seolah muak dengan aroma parfum murahan dan suara rengekan mereka. "Keluarkan mereka dari sini!" perintahnya dengan dingin.

"Baik, Tuan," jawab Steven, memberi isyarat kepada anak buah lain yang segera menggiring para wanita itu keluar ruangan.

Setelah ruangan kembali sunyi, Damien menatap Steven dengan tajam. "Andy Yang telah melarikan sejumlah uangku. Jika kalian menemukannya—hilangkan kedua tangannya."

"Baik, Tuan," jawab Steven, tanpa ragu.

Beberapa Saat Kemudian…

Pintu ruangan terbuka. Calvin Wu masuk sambil menggendong seorang gadis yang terbungkus selimut tebal. Langkah kakinya mantap, ekspresinya tanpa emosi. Ia membawa gadis itu seperti membawa karung, lalu melemparkannya begitu saja ke lantai.

Bruk!

"Aah!" Barbie menjerit saat tubuhnya terbentur keras ke lantai marmer dingin. Rasa sakit menjalar ke tulangnya, membuat tubuhnya menggeliat kesakitan.

"Tuan, kami sudah temukan tunangannya," lapor Calvin sambil berdiri tegak.

"Namanya Barbie Lu. Usia 21 tahun," tambahnya.

Barbie perlahan membuka matanya, bingung dan cemas. Ia mencoba bangkit sambil memegangi lengan dan bahunya yang memar. Pandangannya berkeliling ruangan mewah dan asing itu, lalu tertumbuk pada sosok pria yang duduk tenang dengan tatapan tajam.

"Ke-kenapa aku ada di tempat lain? Apakah ini… neraka?" gumamnya dengan suara kecil. Tangannya merapikan rambut yang menutupi wajahnya. Tatapannya bertemu dengan pria itu—mata hitam Damien Ximen yang menatapnya tajam.

Damien terpaku, pupil matanya sedikit membesar saat melihat wajah Barbie secara langsung. Gadis yang dia cari selama ini.

Sementara Barbie yang masih syok, menatap Damien dengan heran. "A-apakah dia... malaikat pencabut nyawa?" bisiknya dalam hati, tak tahu bahwa pria itu justru akan mengubah hidupnya selamanya.

Terpopuler

Comments

yuning

yuning

penasaran,apa yang akan dilakukan sama si Damian

2025-06-20

0

Naufal Affiq

Naufal Affiq

lanjut thor

2025-06-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!