Perjalanan menuju perpustakaan terasa cukup panjang. Letaknya berada di sayap timur istana, di lantai dua dari gedung tua yang dulunya adalah bagian dari biara kerajaan kuno. Kini, bagian itu telah direnovasi menjadi perpustakaan pribadi keluarga kekaisaran, hanya bisa dimasuki oleh anggota kerajaan dan beberapa pelayan terpilih.
Begitu Vanessa melewati pintu ganda dari kayu mahoni dengan ukiran lambang kerajaan, aroma khas buku tua dan kayu menguar menyambutnya. Ia hampir menahan napas.
“Astaga…” bisiknya pelan.
Perpustakaan itu sangat luas. Langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi mural langit malam dengan bintang-bintang keemasan yang tampak berkelip ketika cahaya matahari dari jendela-jendela besar mengenainya. Pilar-pilar marmer putih berdiri tegak, menopang balkon lantai dua yang mengelilingi seluruh ruangan.
Rak-rak tinggi dari kayu gelap berdiri rapi, dipenuhi buku-buku bersampul kulit, gulungan perkamen, dan manuskrip kuno yang tersusun dengan presisi. Di tengah ruangan, terdapat area membaca dengan sofa beludru biru tua dan kursi berlengan, lengkap dengan meja ukiran yang dihiasi taplak bordir benang emas.
Lampu gantung kristal tergantung di tengah ruangan, memantulkan cahaya ke segala arah dan menciptakan kesan hangat namun agung.
“Perpustakaan ini lebih mewah dari rumah sakit tempatku bekerja…” gumam Vanessa, nyaris tak percaya.
Di salah satu sisi ruangan, ada jendela besar yang menghadap taman istana, membiarkan cahaya pagi masuk dan membuat debu-debu kecil terlihat melayang indah di udara.
Sera berdiri di samping, memperhatikan reaksi kagum tuan putrinya. Dalam hati ia bertanya-tanya, sejak kapan Ratu Vivienne bisa begitu terpesona oleh tempat ini?
“Jika Anda menginginkan rekomendasi buku, saya bisa memanggil kepala pengurus perpustakaan,” tawar Sera sopan.
Vanessa mengangguk pelan, masih mengagumi sekeliling.
“Tidak kusangka tempat seindah ini tersembunyi di dalam istana,” ucapnya jujur.
Ia pun mulai berjalan perlahan menyusuri rak-rak besar. Jemarinya menyentuh punggung buku satu per satu, seakan mencari sesuatu yang menarik perhatiannya.
Dalam hati, Vanessa berpikir—jika dia ingin mengubah nasib Vivienne, maka memahami sejarah, politik, dan tokoh-tokoh di balik istana ini adalah langkah awal yang paling masuk akal.
Dan mungkin, perpustakaan ini akan menjadi tempat di mana semuanya dimulai.
Vanessa melangkah pelan di antara deretan rak-rak tinggi, matanya menyapu cepat setiap judul yang tertulis di punggung buku. Kebanyakan adalah buku sejarah, filsafat, dan politik, ditulis dengan bahasa kuno yang cukup mudah ia pahami berkat serpihan memori Vivienne yang kini menyatu dengannya.
Namun langkahnya terhenti saat melihat sebuah buku tebal berwarna coklat tua, terletak agak tersembunyi di pojok bawah rak paling kanan. Sampulnya polos tanpa hiasan emas atau lambang kerajaan seperti buku-buku lainnya, hanya ada huruf timbul yang sedikit memudar karena waktu: “Teori dan Praktik Penyembuhan Alami Abad XIII”.
Dahi Vanessa berkerut. Ia berlutut dan mengambil buku itu, meniup pelan debu di permukaannya.
“Buku kesehatan?” gumamnya, membuka halaman pertama.
Lembar demi lembar diselaminya. Isinya campuran antara pengobatan herbal, terapi energi, metode pembekaman, hingga tata cara operasi sederhana—meski sangat jauh dari standar dunia medis modern yang ia kuasai, namun tetap mengundang rasa ingin tahu. Beberapa bagian bahkan menjelaskan penggunaan ramuan untuk menetralkan racun, mengobati luka dalam, dan ritual penyembuhan yang terdengar seperti campuran ilmu pengobatan dan kepercayaan lokal.
Matanya berbinar.
“Kalau ini bisa aku pelajari dan kembangkan… mungkin aku bisa berguna di dunia ini. Tidak hanya untuk Vivienne, tapi juga untuk istana ini,” pikir Vanessa dengan semangat kecil yang mulai tumbuh di dadanya.
Ia membalik halaman dengan perlahan, seperti memegang sesuatu yang berharga. Buku itu memang tua, tapi isinya bisa jadi awal dari sesuatu yang besar. Sebuah jembatan antara dirinya sebagai dokter di dunia modern dan kehidupannya kini sebagai seorang permaisuri di dunia kuno.
“Aneh juga… Tuhan menaruhku di dunia ini, tapi memberiku kemampuan yang tidak relevan. Atau… justru ini yang bisa menyelamatkanku?”
“Yang Mulia?” suara Sera memanggilnya lembut dari kejauhan.
Vanessa menoleh, lalu bangkit berdiri sambil membawa buku itu dalam pelukannya.
“Aku akan membawa buku ini ke kamarku. Aku ingin mempelajarinya,” ucap Vanessa tenang namun mantap.
Sera terkejut, tapi segera menunduk sopan. “Tentu saja, Yang Mulia. Saya akan meminta izin pada kepala perpustakaan.”
Vanessa tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sejak terbangun di dunia ini, ia merasa menemukan arah.
Dan tanpa sadar, langkah kecilnya barusan—memilih satu buku tua di antara ribuan lainnya—akan mengubah takdir kerajaan.
_____
Di tempat lain, tepatnya di bagian timur Taman Lavender Kerajaan Aragon, seorang wanita dengan balutan pakaian khas pelayan istana—gaun sederhana berwarna biru pucat dengan celemek putih bersulam lambang singa bersayap, simbol keluarga kerajaan Leclair d’Aragon—terlihat sedang berjalan pelan di antara hamparan bunga yang sedang mekar.
Dia adalah Selene Lysandra Vexmont, pelayan istana yang kini mulai dikenal oleh banyak kalangan bangsawan karena kedekatannya dengan Kaisar Maxime.
Rambutnya panjang dan bergelombang, berwarna merah tembaga yang memantulkan sinar matahari pagi dengan cantik. Kulitnya seputih susu, mencolok di antara warna-warna cerah taman kerajaan. Tubuhnya mungil, sedikit lebih pendek dibanding wanita seusianya, dan wajahnya—meski tidak bisa dikatakan cantik dalam standar bangsawan—memiliki pesona kebocahan manis dan kelembutan alami yang membuatnya mudah disukai.
Dengan sebuah keranjang anyaman kecil di tangannya, Selene bersenandung pelan. Nada-nada ringan yang dinyanyikannya terdengar seperti lagu rakyat dari desa asalnya. Setiap langkahnya membawa aroma bunga segar yang menempel pada gaun dan kulitnya.
Ia berhenti di hadapan rumpun bunga lili putih dan mawar merah muda, lalu menunduk perlahan, memilih beberapa tangkai yang paling segar dan utuh. Jemarinya yang lentik dan cekatan mulai merangkai bunga-bunga itu menjadi sebuah buket kecil nan indah.
“Kaisar pasti menyukai bunga ini…” gumamnya lirih, hampir seperti doa.
Besok adalah hari yang ia tunggu—hari kepulangan Kaisar Maxime Théo Leclair d’Aragon dari garis depan perbatasan.
Dan Selene ingin menjadi yang pertama menyambut pria itu.
Ia menatap buket bunga di tangannya dengan mata bersinar. Buket itu dirangkainya dengan penuh ketelitian—mawar merah muda melambangkan kasih yang tulus, lili putih lambang kesucian hati, dan bunga forget-me-not biru kecil yang disisipkan di sela-sela, seolah berbisik: ingatlah aku.
“Tidak ada yang lebih menyentuh hati pria selain perhatian yang tulus,” katanya dalam hati sambil tersenyum lembut.
Tentu saja, akan ada banyak pelayan lain yang menyambut kedatangan Kaisar. Akan ada pesta, upacara, dan kebisingan bangsawan yang tak ia sukai. Tapi Selene tidak perlu bersaing dalam keramaian. Ia hanya perlu satu momen kecil—momen yang akan diingat Maxime lebih lama dari tepuk tangan para pengiring.
Bunga di tangan, senyum manis di wajah, dan mata teduh yang akan menatap Kaisar seperti ia satu-satunya cahaya dalam dunia ini.
“Yang mulia, semoga Anda menyukai bunga-bunga ini,” bisiknya pada angin, membayangkan wajah pria itu saat menerimanya.
Ia lalu melanjutkan langkah, menyusuri jalan setapak taman menuju istana bagian dalam, keranjang di tangan dan harapan di dada.
Besok, ia akan mengukir tempatnya… perlahan, namun pasti.
____
Di dalam kamarnya yang megah dan sepi, Vanessa duduk di sofa empuk berlapis kain beludru, dikelilingi cahaya matahari yang menyelinap masuk dari jendela tinggi berhias tirai tipis. Di pangkuannya tergeletak sebuah buku tebal berwarna coklat tua dengan lambang kerajaan yang terukir halus di sampul kulitnya. Aroma kertas tua berpadu dengan semerbak bunga dari taman, menambah nuansa klasik yang sulit ditemui di dunia modern.
Matanya fokus menyisir halaman demi halaman. Buku itu adalah kitab medis abad ini—berisi teori-teori dasar tentang tubuh manusia, pengobatan herbal, terapi darah, dan penanganan penyakit dengan metode kuno yang sebagian besar berbasis pada keseimbangan elemen dan humor tubuh.
“Mereka masih percaya penyakit disebabkan oleh ketidakseimbangan cairan tubuh?” gumamnya pelan, nyaris tak percaya.
Sebagian besar isi buku terasa terlalu sederhana, bahkan keliru jika dibandingkan dengan standar kedokteran modern yang ia kuasai. Ilmu yang ia pelajari di dunia lamanya jauh lebih kompleks—anatomi rinci, prosedur bedah berjam-jam, teknologi medis canggih, hingga farmakologi yang penuh hitungan dan reaksi kimia.
Namun bukan berarti buku ini tak berharga. Justru, dengan latar keilmuan modern yang ia miliki, Vanessa merasa ia memiliki keunggulan besar. Ia bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang tertulis di buku ini, dan bahkan mungkin… merevolusi dunia medis di tempat ini.
Beberapa bagian dalam buku bahkan bertentangan secara langsung dengan ilmu kedokteran modern.
“Mengompres demam dengan air panas?” Vanessa mengernyit, nyaris ingin tertawa.
“Dan mereka menganggap luka bernanah sebagai tanda penyembuhan? Ini gawat.”
Tapi di balik semua keterbelakangannya, buku ini adalah kunci. Ia sedang mempelajari sistem dunia ini. Jika ia ingin bertahan dan membawa perubahan bagi Vivienne—atau bahkan bagi dirinya sendiri—maka ini adalah langkah pertama.
Ia menyandarkan tubuhnya, menutup buku itu sementara waktu dan menatap langit-langit kamar. “Aku bisa memanfaatkan ini. Peluang selalu datang dari kebodohan…”
Vanessa tersenyum tipis. Dunia ini mungkin tertinggal jauh… tapi bukan berarti dia akan ikut tertinggal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
2025-06-22
1