Zahrana memberiku map rapot berwarna hitam yang harus segera kububuhi tanda tangan karena rapot tersebut besok harus segera dikumpulkan kembali.
Kubuka rapot madrasah Ibtidaiyah milik Arini Zahrana, putri sulungku. Kulihat hasil penilaian tengah semester kelas enam yang tertera di sana. Seperti biasa, ia selalu ikut peringkat tiga besar.
Pada penilaian tengah semester kali ini, ia mendapatkan peringkat kedua. Peringkat pertama, kata Zahrana, diraih oleh temannya yang bernama Rama. Semester kali ini Rama sangat semangat belajar. Sementara Zahrana malah sebaliknya. Mungkin ia terlalu kelelahan selama belajar di sekolah. Selama dua bulan ini, ia harus menempuh perjalanan dengan menggunakan sepeda pancal saat pulang dan pergi ke sekolah dengan jarak yang lumayan jauh antara rumah dan sekolah yaitu empat kilo meter. Apalagi kemungkinan pikiran Zahrana juga agak sedikit kacau karena permasalahanku dan mas Anton yang semakin berlarut-larut hingga berujung pisah ranjang seperti ini. Meskipun aku selalu berusaha memastikan pada ketiga anakku, Zahrana, Mumtaz dan Arsenio bagaimanapun keadaan rumah tangga yang kini tengah kujalani, namun aku hanya mampu berharap pada Tuhan, semoga semua yang terjadi tidak memiliki banyak berpengaruh pada pendidikan ketiga anakku. Aku berusaha sebisa dan semampuku untuk tetap memberikan kebutuhan yang terbaik bagi mereka, sesuai dengan kemampuan yang kumiliki saat ini.
Menurutku, memiliki seorang anak yang cerdas, bagiku seperti dua sisi mata uang koin. Ada bahagia, namun dibaliknya juga ada sisi sedihnya. Memiliki rasa bahagia sekaligus bangga karena bisa memiliki seorang anak yang pintar. Namun dibalik itu, ada rasa sedih tersendiri bila orang tua belum mampu memberikan sekolah maupun fasilitas terbaik yang mampu menunjang kecerdasan anak tersebut. Seperti yang tengah kualami saat ini.
Semenjak kepergian mas Anton dari rumah, orang Jawa mengistilahkan purik dari rumah, praktis saja kondisi ekonomi keluarga seakan langsung terjun bebas karena suami tidak mau bertanggung jawab atas semua kebutuhan kami. Aku juga telah mencoba berbagai cara untuk menghasilkan uang tanpa meninggalkan rumah karena masih ada Arsenio. Aku mencoba berjualan makanan ringan di depan rumah. Namun itupun tidak berlangsung lama. Makanan ringan tersebut seringkali habis tak tersisa dikonsumsi oleh anakku sendiri. Modal dan keuntungan yang tak seberapa pun ikut ludes sehingga aku tak bisa melakukan kulakan makanan ringan kembali karena kehabisan modal.
Aku juga pernah mencoba peruntungan lain dengan menjadi reseller makanan ringan kiloan yang berada di desa sebelah. Aku sudah berusaha memosting aneka gambar makanan tersebut, baik di status wa, facebook setiap hari. Namun entah mengapa, pembeli tak kunjung juga menghampiri hingga keuanganku benar-benar menipis.
Aku juga pernah mencoba ikut mengambil pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah seperti melipat tas dari kertas atau ditempatku biasa disebut dengan tas asul-asul yang berupah lima ratus rupiah per lusin. Pekerjaan tas lipat asul-asul adalah menyatukan dua bagian kertas, melipat kertas hingga membentuk sebuah tas, kemudian memberikan kertas dan lem dibagian bawah salah satu ujungnya agar kuat dan menekuk ke dalam salah satu bagian agar terlihat rapi. Aku menjalani pekerjaan lipat kertas tersebut hanya bertahan satu bulan saja karena Arsenio yang begitu aktif kerapkali menumpahkan air pada kertas yang membuatku sering melakukan ganti rugi pada pemilik kertas. Upah yang kuterima tak seberapa, tapi ganti ruginya bisa berkali lipat dari upah.
Aku juga pernah ikut bekerja di cabut tulang ceker atau biasa disebut pabrik cetatu (ceker tanpa tulang) yang memiliki kualitas terbaik dan biasa melakukan pengiriman ke berbagai tempat, baik antar kota maupun antar provinsi. Aku sangat suka bekerja disana karena memperbolehkan Arsenio untuk dibawa. Cara mencabut tulang ceker adalah tulang diwedangi (dikasih air panas agar tulang ceker agak lunak) kemudian tulang ceker tersebut digarit memakai cutter pada bagian tulang kaki dan jari. Dengan menggunakan pinset khusus cetatu, tulang didalam ceker tersebut dicabut dengan perlahan agar tidak merusak kulit ceker. Aku hanya bertahan selama seminggu saja karena tak enak hati bila terus meminjam kendaraan pada tetangga.
Pernah pada suatu hari aku meminta izin untuk meminjam kendaraan pada tetangga untuk mencari Zahrana yang tak kunjung pulang dari sekolah. Aku sangat bingung dan takut bila hal tak diinginkan menimpa putri sulungku, mengingat saat berangkat sekolah pada pagi hari, aku tidak bisa memberikan uang saku padanya karena uang telah habis untuk membeli beras dan lauk saja. Tetapi tetangga mengatakan bahwa tak ada motor dirumah. Padahal dari tepi jendela, aku bisa melihat jelas bahwa motor matic miliknya tengah terparkir di dalam rumah. Aku pun segera sadar diri bahwa motor itu tidak boleh kupinjam. Akhirnya aku hanya bisa kembali pulang ke rumah dan berdo'a semoga Zahrana segera pulang. Tak lama kemudian ia pulang dan membuat hatiku terasa lega. Zahrana segera menjelaskan semua alasannya mengapa ia bisa sampai pulang telat.
"Maaf bu, aku telat sampai ke rumah. Tadi aku kelelahan dan kehausan di dekat toko mbak Mirna. Karena tahu aku kehausan, aku diminta minum es dan makan disana. Maaf ya bu. Aku telah membuat ibu kepikiran dan bingung mencariku," ucap Zahrana yang kutanggapi dengan pelukan erat.
"Tuhan, mengapa Engkau jadikan aku ibu miskin seperti ini? Ibu yang tak mampu menyukupi kebutuhan anak," ucapku dalam hati sambil tetap memeluk putri sulungku
Aku pernah mengalami sesuatu yang tak akan kulupa dalam hidupku. Pada suatu hari aku hanya memiliki uang lima belas ribu rupiah, yang hanya bisa dibelanjakan untuk membeli sekilo beras dan satu bungkus kerupuk. Beras tersebut kubagi menjadi empat dengan berat seperempat kilo per bungkus. Satu bungkus beras kumasak dengan memperbanyak jumlah volume air sehingga menjadi bubur nasi. Saat aku melihat ketiga anakku makan bubur nasi berlaukkan kerupuk, hatiku seakan teriris. Aku seakan merasa bahwa aku tidak mampu menjadi ibu yang baik bagi ketiga anakku karena tidak bisa memberikan asupan makanan yang baik bagi mereka.
Pernah pula saat telah kehabisan uang belanja, aku menjual tabung gas elpiji yang berwarna hijau dan saat memasak, aku berganti di luweng (tungku yang terbuat dari tanah liat yang menggunakan kayu bakar sebagai sumber pembakarnya).
Pernah pula aku membongkar seluruh isi gudang dan mencari aneka barang bekas yang bisa kujual di penampungan rongsokan. Aku mencari aneka barang rongsokan peninggalan almarhum bapak dan mendapatkan uang yang cukup lumayan karena terdapat banyak besi dan logam. Untuk beberapa waktu, aku kerapkali membersihkan rumah sekedar untuk mendapatkan barang rongsokan yang bisa kujual ke grosir rongsokan. Aku berusaha menjual ke grosir rongsokan daripada ke pencari rongsokan yang datang ke rumah karena harga di grosir rongsokan dibeli lebih tinggi bila dibandingkan pencari rongsokan keliling.
Kadang saat aku tengadah menghadap ke langit, aku hanya meminta.
"Ya Rabb, semoga ketiga anakku tak pernah merasakan apa yang kurasa saat ini. Aamiin," ucapku dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments