Firsha bersila di atas kursi kayu yang terdapat di teras kamar kos Milana. Sepulang kerja dan selepas mandi tadi, Firsha mendatangi Milana. Mengajak gadis itu makan mi ayam di teras.
Milana baru siap mandi ketika Firsha datang. Bahkan handuk masih bertengger di kepalanya.
"Kamu gak aneh-aneh saat di interview tadi, 'kan, Milan?" tanya Firsha dengan kunyahan di mulutnya.
Milana menggeleng. Lalu menyuapkan mie ayam yang ia gulung menggunakan garpu.
"Bagus! Jangan membuat masalah kalau kau diterima bekerja di sana." Firsha mengingatkan. Wanita itu menyuapkan mie ayam ke mulutnya sendiri.
Milana melirik Firsha. "Kak Firsha, kenapa gak bilang kalau lowongan kerjanya sebagai asisten koki?" tanya Milana setelah menelan kunyahan mie ayam di mulutnya.
Firsha mengernyit. "Kamu 'kan gak nanya. Cuma nanya ada lowongan kerja di tempatku apa nggak," katanya sembari menggigit acar cabai.
Milana mendengkus. "Aku gak ngerti sama sekali soal dapur, Kak. Yang kutau cuma ... panci, penggorengan, piring, gelas, sendok, dan garpu doang. Masakan yang aku tau caranya masak cuma tahu goreng, mie instan sama masak air doang," ujarnya seraya memainkan mie di depannya, menggunakan garpu. "Besok, aku di tes memasak sama bos, Kak Firsha."
"Tes masak? Mas Rayn gak bilang, tuh." Firsha menarik mie ayam milik gadis berkaus oversize warna peach di depannya itu, ke arahnya. "Ini makanan, Milan! Jangan dimain-mainin gitu dong!" sungutnya.
Milana tak berusaha mencegah, dia membiarkan makanan miliknya berpindah tempat ke hadapan Firsha. Milana membawa kaki bersila, menyangga dagu menggunakan tangan kiri yang ia tumpukan di atas pahanya. Menatap lurus ke depan.
"Lagian ... besok 'kan resto tutup, karena besok adalah hari sabtu di minggu kedua bulan ini," kata Firsha.
Restoran milik Rayn memang memberi cuti libur pada karyawan setiap dua minggu sekali. Sabtu di minggu kedua dan akhir bulan.
Milana membeliakkan mata, menjauhkan siku yang bertumpu pada lututnya dan menoleh pada Firsha seraya berujar, "jadi besok aku datang sendiri, dong! Aduh ... gimana kalau aku gak bisa ngerjain tes masak itu, Kak?!" Milana merengut.
"Kamu coba aja dulu. Berusaha dulu." Firsha menyemangati.
Milana memasang wajah memelas. "Kalau aku gak diterima, gimana?"
"'Kan belum dicoba. Makanya ... bersikaplah yang baik dan manis sama Mas Rayn! Siapa tahu ... bisa jadi nilai plus untuk minus-minus kamu."
Milana makin memberengut. "Enak aja minus-minus! Aku tidak separah itu, ya!" bibirnya mengerucut.
"Apa dong kalau bukan minus? Kamu emang gak bisa semuanya, 'kan? Kerja di salon, dipecat! Spg parfum. Toko sepatu. Percetakan. Juga dipecat!" Firsha mengabsen semua tempat kerja Milana. "Berarti emang kamu gak punya nilai plus dong! Alias minus." Firsha terkekeh-kekeh. "Ya ... cuma wajah cantik kamu ini doang kayaknya yang jadi nilai plus kamu." Kemudian Firsha tertawa nista.
Milana mendengkus, menatap sebal pada wanita yang lebih pendek darinya itu, tetapi tak membalas karena sadar bahwa dirinya memang tidak memiliki bakat atau keahlian apapun.
"Nasib aku tuh sial banget ya, Kak? Semua kerjaan gak ada yang bertahan lama. Selalu aja berakhir dipecat" Milana kembali menyangga dagu menggunakan tangan yang bertumpu pada pahanya.
"Sabar Milan. Mungkin emang pekerjaan itu belum jodoh kamu. Ya ... kamu coba di tempat Mas Rayn dulu, siapa tau kali ini cocok, 'kan?"
Milana mengangguk-angguk. Matanya menatap perempuan muda di depannya yang sudah sangat baik padanya itu.
...******************...
Rayn mendorong troli belanjaannya. Dia sedang membeli beberapa barang kebutuhan resto yang sudah kosong. Biasanya dia akan mengajak salah satu pegawai untuk menemani, tetapi malam ini dia pergi sendiri.
Saking fokusnya Rayn melihat catatan barang yang harus ia beli pada note. Tanpa sengaja menabrak seseorang.
"Maaf," ujar Rayn seraya menatap orang yang ditabraknya.
"Oh! Rayn!" seru orang tersebut sambil menunjuk Rayn.
Rayn mengernyit. "Erik?" katanya ragu-ragu.
"Hei, Bro! Apa kabar? Ya, ini aku. Erik. " Pemuda yang bernama Erik itu menepuk pelan bahu Rayn sambil tersenyum.
Rayn speechless. Tadi pagi bertemu Milana, malam ini bertemu Erik. Pemuda yang menjadi kekasih dari sang pujaan hati Rayn. Milana.
'Kebetulan macam apa ini?' Rayn membatin.
"Aku baik, kau sendiri apa kabar?" Rayn menjawab sekaligus bertanya balik.
Erik tersenyum. "Aku baik juga," matanya melihat ke arah troli milik Rayn. "Belanja? Dengan seseorang?"
Rayn tersenyum. "Sendiri. Kau?"
"Aku juga sendiri." Erik melirik ke arah troli milik Rayn. "Banyak sekali kau belanja, apa kau sudah menikah?" Erik menebak asal, disertai cengiran.
Rayn tertawa pelan. "Ini kebutuhan resto, Erik. Menikah? Memangnya kau pernah melihatku dengan seorang gadis?"
"Resto? Kau bekerja di resto?"
Rayn mengangguk. "Kebetulan, aku mengelola resto milik Papa, karena Kakakku membuka bisnis sendiri di Palembang."
"Wah! Jadi owner resto ya, sekarang. Makin most wanted, nih."
"Bukan owner, hanya mengelola saja. Owner-nya tetap Papaku. Jangan berlebihan. Kau sendiri kerja di mana?"
"Di perusahaan distributor. Punya teman bokap." Erik berjalan beriringan dengan Rayn, menyusuri rak makanan kaleng.
"Kau tau, Rayn? Terkadang ... aku membayangkan, jika tiba-tiba aku mendapat undangan pernikahan darimu," kata Erik sambil terkekeh.
"Seharusnya aku yang membayangkan mendapat undangan pernikahan darimu. 'Kan kau yang memiliki kekasih," balas Rayn sambil terkekeh.
Erik melirik Rayn, lalu berdehem pelan. Tangan kanannya meraih kaleng sarden di rak supermarket.
"Entahlah ... sepertinya aku tidak memiliki kekasih, sekarang," ujarnya kemudian.
Rayn berhenti terkekeh. Menatap pemuda yang berdiri di sampingnya itu dengan tatapan bertanya.
Erik tahu arti tatapan teman lamanya itu, dia menyunggingkan senyum kecil seraya berkata, "Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Milana."
Membuat kerutan dalam muncul di dahi Rayn. "Maksudnya ... kalian putus?"
Erik menghela napas kecil. "Entahlah," jawabnya kemudian. Terdengar tidak yakin. "Kami sedikit ada masalah."
Dahi Rayn berkerut heran. "Masalah? Kalian sedang bertengkar?"
Erik kembali menghela napas, kali ini lebih dalam. "Ada sedikit masalah diantara kami berdua. Sebenarnya menurutku hanya masalah kecil, tapi aku marah dan tidak sengaja memintanya untuk jangan menghubungiku lagi, dia pergi dan aku membiarkannya malam itu, karena kupikir ... dia akan menanggapi itu bukan sebagai hal yang serius, seperti biasa. Aku pernah bilang padamu, 'kan, kalau Milana itu tidak pernah menanggapi segala hal dengan serius," sambungnya. Erik memang pernah bercerita pada Rayn tentang hal itu.
"Kupikir dia akan baik-baik saja pada keesokan harinya. Menemuiku dengan senyuman ... seperti biasa, tapi aku salah." Erik tersenyum miris.
"Dia tidak menemuimu lagi?" Rayn menebak. Diangguki Erik sebagai jawaban.
"Cobalah bicara dengannya, mungkin saja bisa terselesaikan." Saran Rayn.
"Itu sudah lama, Rayn. Sejak hari wisuda kita, aku sudah tidak pernah bertemu atau berhubungan dengannya lagi."
Rayn terkejut mendengar itu. "Sejak hari wisuda kita? Sampai hari ini?"
Erik mengangguk lagi sebagai jawaban. Raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa ia menyesal.
"Apa kau tidak mencoba menemuinya sama sekali setelah itu?"
"Setelah beberapa hari, aku mencarinya di kampus, tapi dia tidak ada. Saat aku tanya pada teman dan dosennya, mereka bilang kalau Milana mengambil cuti. Akhirnya, kubiarkan saja dulu. Mencoba menelponnya berkali-kali, tapi nomerku sudah di-blokir sepertinya. Sejak saat itu, aku berpikir mungkin hubungan kami benar-benar berakhir." Erik berbicara panjang lebar dengan wajah lesu.
'Jadi, Erik tidak tahu kalau Milana sekarang tinggal di indekos dan drop out dari kampus.'
"Kau tidak berusaha menemui di rumahnya?" tanya Rayn. "Kenapa?" tanyanya lagi saat mendapat gelengan kepala dari Erik. Rayn tidak berniat bilang bahwa tadi pagi ia bertemu Milana.
"Milana mengatakan sesuatu dalam pesan yang dia kirim padaku, bersamaan dengan pesan perpisahan kami. Itu yang membuatku tidak memperjuangkannya lagi, dan mungkin memang hubungan kami benar-benar berakhir," jawab Erik seraya tersenyum masam.
Rayn tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Mendengar bahwa gadis yang memiliki hatinya itu tidak lagi menjadi kekasih Erik.
'Haruskah aku senang? Aku memang merasakan himpitan di dadaku berkurang, tapi melihat raut wajah penyesalan di wajah Erik, Membuatku merasa bersalah, jika aku merasa senang,' ujarnya dalam hati.
"Maaf, aku bertanya terlalu jauh," ujar Rayn.
"Santai saja, itu sudah lama." Erik tertawa kecil. "Kenapa kau serius sekali, Rayn." Erik masih tertawa.
"Apa kau benar-benar sudah tidak memiliki perasaan lagi pada Milana dan melupakannya?"
Tawa Erik terhenti. Menatap Rayn yang juga menatapnya. "Aku memang sudah tidak memiliki perasaan lagi padanya, tapi bukankah terkadang saat kita kembali bertemu dengan orang yang pernah kita cintai ... perasaan yang sudah kita anggap hilang, tiba-tiba muncul kembali ke permukaan. Saat ini, aku memang sudah melupakan Milana. Tidak tahu jika aku bertemu lagi dengannya. Siapa yang bisa menebak hati, Rayn." Erik tersenyum.
"Itu artinya ... kau akan kembali pada Milan, jika hatimu kembali memiliki rasa padanya saat bertemu kembali?"
"Bisa jadi, sih. Kemungkinan untuk aku memiliki rasa kembali padanya sangat besar. Kau tahu kenapa?" Erik balik bertanya.
'Ya, aku tahu. Karena mencintai Milana sangat mudah. Gadis itu memiliki pesona yang bisa membuat siapa saja jatuh cinta.' Rayn hanya berkata dalam hati.
"Dia sangat mudah untuk dicintai. Wajahnya yang terlihat innocent, cantik, manis, dan ramah. Membuat siapapun bisa dengan mudah jatuh cinta padanya. Dia selalu bertingkah alami. Semua sikap dan tingkahnya, adalah dia yang sebenarnya," kata Erik dengan yakin.
Rayn menatap pemuda tampan yang berdiri di hadapannya itu.
'Bisakah aku egois sekali ini saja? Dan berharap agar Erik tidak bertemu Milana?'
.
.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
iqbal nasution
alur ceritanya terlalu datar...gampang bosan kalau bacanya, yg lain udah bagus
2025-06-15
4