Akagami Rio

Lima tahun telah berlalu...

Pagi yang cerah menyinari kamar Akagami Rio di dunia barunya. Cahaya matahari menembus tirai jendela, menerangi wajahnya yang kini sudah tumbuh menjadi anak kecil berusia lima tahun.

Rio duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Angin pagi berhembus pelan, membawa ketenangan... tapi juga perasaan aneh yang belum bisa ia jelaskan.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang pelayan keluarga Akagami berdiri di depan pintu kamar.

Tok tok.

“Tuan, apa Anda sudah bangun?” tanya sang pelayan sopan dari balik pintu.

Rio menoleh, suaranya terdengar malas namun tetap ramah.

“Iya… aku udah bangun kok!” jawabnya.

“Kalau begitu, Tuan harus segera pergi sarapan sekarang,” kata pelayan itu lagi dengan sopan.

Rio mengangguk pelan, lalu menghela napas.

"Baiklah..." gumamnya pelan.

Pelayan itu menunduk hormat sebelum pergi, langkahnya menjauh perlahan meninggalkan jejak samar di depan pintu kamar Rio.

Rio menatap pintu yang tertutup, lalu berbalik menatap seisi kamarnya. Ia menggenggam tangannya, mencoba sesuatu yang selama ini diam-diam ia latih sendiri.

“Eyes of Light!” serunya pelan namun tegas.

Seketika, dunia seakan melambat. Gerakan di luar jendela, seekor burung kecil yang biasanya terbang cepat, tampak seperti terhenti, mengepak perlahan seolah berada dalam air kental.

Rio tersenyum tipis, matanya memancarkan cahaya halus.

“Jadi… begini cara kerja skill ini,” gumamnya, kagum dengan kemampuan barunya.

“Gampang dong kalo latihan sama Ayah nanti,” tambahnya dengan nada percaya diri.

Setelah efek skillnya menghilang, Rio melangkah keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan. Di sana, telah duduk dua sosok yang kini menjadi orang tuanya di dunia baru, Akagami Zero sang ayah, dan Tasya sang ibu.

Meja makan tampak rapi dan penuh hidangan. Sang ibu tersenyum hangat saat melihat Rio datang, sementara ayahnya hanya melirik singkat namun penuh makna.

Rio perlahan menarik kursi dan duduk di sebelah ibunya.

“Rio sayang, apa kau tidur nyenyak semalam?” tanya sang ibu dengan senyum hangat, menyuapkan sesendok kecil makanan ke mulutnya.

Rio menatap wajah lembut itu dan tersenyum kecil.

“Iya, Bu… Aku tidur nyenyak semalam,” jawabnya sambil mengangguk pelan.

Di sisi lain meja, ayahnya, Akagami Zero, sedang makan dengan tenang, mata tertutup seolah menikmati setiap suapan.

Setelah beberapa saat, ayahnya berbicara tanpa membuka mata, suaranya terdengar tenang namun dalam.

“Kalau begitu... apa kau masih punya tenaga untuk latihan nanti?”

Rio langsung menoleh ke arah ayahnya. Wajahnya penuh keyakinan, sorot matanya tajam.

“Iya, Ayah!” jawabnya penuh semangat.

Zero membuka sedikit salah satu matanya, menatap putranya dengan lirikan kecil, lalu kembali menutupnya sambil mengunyah.

“Hmph... dasar anak ini. Bisa-bisanya memasang wajah percaya diri begitu,” gumamnya dalam hati, namun tak bisa menyembunyikan sedikit senyum tipis di sudut bibirnya.

Setelah selesai sarapan, Akagami Rio berjalan menuju halaman rumahnya yang luas. Tempat itu memang disiapkan khusus sebagai arena latihan keluarga Akagami, tempat di mana tradisi kekuatan diwariskan dari generasi ke generasi.

Langkah kakinya pelan, tapi sorot matanya penuh dengan tekad.

Ia berdiri di tengah lapangan, lalu menarik napas panjang dan mulai berbicara seorang diri, seolah menyampaikan sebuah janji kepada takdir.

“Aku... Akagami Rio. Nama yang sama di dunia lamaku. Dan sekarang... aku akan memainkan peran sebagai Assassin. Semuanya akan dimulai lima tahun dari sekarang ini,” ucapnya dengan suara rendah, namun penuh makna.

Tiba-tiba, dari sisi lain halaman, Akagami Zero, ayahnya, muncul sambil membawa dua buah pedang kayu. Wajahnya serius seperti biasanya.

“Rio, aku ingin menguji seranganmu lebih dulu,” ucapnya datar, sebelum melempar salah satu pedang kayu ke arah putranya.

Rio menangkap pedang itu dengan satu tangan. Pegangannya mantap. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya.

“Hmm... baiklah!” jawab Rio singkat namun penuh semangat.

Ayahnya mengangkat dagu dan berseru lantang, “CEPAT MAJU!!”

Tanpa menunggu aba-aba lagi, Rio langsung melesat maju, menyerang ayahnya dari depan tanpa mengaktifkan skill Eyes of Light miliknya. Ia ingin mencoba kekuatan fisiknya lebih dulu.

Clak!

Serangan pertama Rio ditepis dengan mudah. Pedang kayu mereka saling berbenturan, menciptakan suara keras yang menggema di halaman.

"MASIH KURANG ITU!" teriak ayahnya dengan suara lantang yang menggema di halaman.

Serangan Rio yang barusan kembali gagal menyentuh tubuh ayahnya. Wajah Rio mulai memerah, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena rasa frustrasi. Ia menggertakkan giginya, lalu mundur beberapa langkah ke belakang, mencoba mengatur napas yang mulai tersengal.

"Haaah... haaah..." napasnya berat, keringat menetes di dahinya, membasahi pelipisnya.

Sementara itu, ayahnya hanya berdiri di tempat dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan nada santai:

"Waduh... kok udah penat aja?" gumamnya sambil menyilangkan tangan.

Lalu ia membuka mata dengan serius dan berkata tegas,

"Sekarang... giliran Ayah untuk menyerang!"

Mata Rio langsung membelalak. Ia mencoba menegakkan badan, meski kakinya terasa berat.

"Apa... Ayah juga akan menggunakan fisik sepertiku?" pikirnya dalam hati.

Namun, sebelum Rio bisa bersiap, sosok ayahnya menghilang dalam sekejap dari tempatnya berdiri. Hanya bayangan tipis yang terlihat melesat ke samping Rio, dan dalam sekejap, sebuah tendangan cepat mengarah ke sisi tubuhnya.

“Ughh!!”

Rio reflek menahan dengan lengan dan pundaknya, terdorong beberapa langkah ke samping. Tapi tubuhnya tetap berdiri meski lututnya bergetar.

"APA TADI ITU?!" serunya terkejut.

Ayahnya muncul tepat di sebelahnya, memegang bahu Rio dengan tangan kuat, lalu menatapnya dalam-dalam.

"Itu... adalah salah satu skill dasar Assassin. Ayah pelajari ini sejak seumurmu," katanya dengan suara tenang namun penuh tekanan.

Rio terdiam. Keringatnya semakin deras mengalir. Nafasnya terengah-engah.

Dan akhirnya, Rio pun berlutut di tanah, kedua lutut menyentuh tanah keras di halaman itu. Bahunya turun naik karena napas yang tak teratur. Di hadapannya, ayahnya masih berdiri tegak, tak terlihat lelah sedikit pun, seolah tubuhnya terbuat dari baja.

Sinar matahari pagi menyinari keduanya. Satu berlutut dengan keringat, satu berdiri seperti bayangan yang tak tergoyahkan.

Terpopuler

Comments

Filan

Filan

Serius Thor, lima tahun kemudian aku bayangkan anak 5 tahun tapi ga masuk ke dialog ataupun narasinya.

Latar belakang Rio hanya manusia biasa yang tidak punya skill hebat. Dari mana dia mendapatkan skill bagus di usia muda?

Kamu harus kasih alasan dan latar belakang agar tidak ada plot hole.

Cerita masih datar belum ada 'sesuatu' entah itu tujuan MC atau pun tentang dunia yang ditinggalinya saat itu.

2025-06-14

2

JustError

JustError

Aku dah datang ya Thor, ceritanya bagus, jadi teringat TBATE. Cuma agak aneh aja nama jepang yang dicampur dengan unsur bahasa lain.
Semangat ya🔥 Kalo sempat datang lagi ke novelku ya

2025-06-13

1

Filan

Filan

Dari mana asal muasal skill ini?

2025-06-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!