Pembicaraan mereka berakhir ketika Marwah memelankan laju Ducati nya.
Setengah berlari, James menghampiri Marwah.
Marwah melepas helmnya , meski masih kesal, tapi seulas senyum mampu dia berikan untuk James.
" Hai James, bagaimana kabar mu?"
" Tidak baik." Tegas James.
" Benarkah? Apa kau sakit? Di bagian mana?" Marwah terlihat khawatir.
" Mmm,,di sini.." Tunjuk James di kepala dan dadanya.
" Kita perlu ke rumah sakit?"
" Tidak. Kepalaku sakit karena kau selalu mengganggu jam tidur ku." Ujar James berpura pura marah." Dan hati ku sakit jika melihat mu seperti orang kesurupan di dalam sirkuit. Kau ada masalah, Ace?"
Marwah tertawa. Dia pikir, James benar benar dalam keadaan tubuh yang sedang tidak sehat.
" Masalah? Ya begitulah. Semua manusia di muka bumi ini punya masalah." Ujarnya menghela nafas berat.
" Bagaimana hari pertamamu?"
Marwah tertunduk lesu. Ingatannya kembali berputar ke beberapa jam lalu.
Mengingat itu, Marwah benar benar kesal. Dia menceritakan semua nya pada James. Tanpa terlewat satu kata pun.
James menghela nafas .
" Kasihan sekali kau."
Marwah mengangguk. " Ya, kau benar. Dan ini semua gara gara si Barra sialan itu...akhhhhh...." Marwah sampai mengumpat karena rasa dongkolnya pada Barra.
" Sudah ku duga, ini semua ulahmu. Ternyata kau benar benar ada di sini, Arion." Batin James.
" Untuk merayakan hari sial mu, bagaimana kalau kita jalan jalan ?"
" Ide mu boleh juga. Ayo.."
Sembari memeluk helmnya, Marwah berjalan di samping James.
" Aku heran padamu. HG Corp, apa yang kau lihat dari perusahaan itu hingga kau mengabaikan Brawijaya?" Tanya James.
Marwah tertawa.
" Aku juga heran padamu. Jelas jelas kau sudah tau jawabannya, masih juga bertanya."
James menggaruk tengkuknya dan tertawa lucu.
" Tapi tetap saja, aku merasa sedikit aneh melihat mu bekerja untuk orang lain ketimbang bekerja untuk perusahaan sendiri. Masalahnya, ini Brawijaya, Ace. Kau sadarkan sebesar apa perusahan opa buyutmu itu? Seantero penduduk benua Asia dan beberapa negara Eropa bahkan sangat bangga bisa bekerja di sana. Dan kau? Hanya dengan alasan mencari suasana baru, atau apalah itu, kau lebih memilih menggunakan otak encer mu untuk memajukan perusahaan lain."
Marwah tertunduk sembari mengulas senyum.
" Kau ada benarnya. Tapi, aku belum di butuhkan di sana. Nanti saja, akan ada saatnya."
" Terserah kau saja." James menimpali.
" Oiya, malam ini kau ada kegiatan?" Tanya James.
" Memangnya kenapa?"
" Aku ingin mengajak mu makan malam."
" Tumben, menang lotre ya." Marwah tertawa renyah.
" Mmm..lotre yang sebenarnya tidak begitu aku harapkan."
" Loh kenapa?"
" Sepertinya, tuan Aryan tidak memberi tahumu."
" Uncle? Apa yang dia katakan?"
James menghela nafas." Bulan depan, tuan Aryan akan mengirim ku ke Indonesia. Menjaga klub speed Devils yang di tinggal dokter Axel."
Marwah berhenti melangkah.
" Tunggu, maksudmu, Uncle Axel berhenti? Kok aku tidak di beritahu."
" Iya, itu yang aku dengar, lebih tepatnya nya mengundurkan diri. Dokter Axel memilih fokus dengan profesinya. Kalau menurutku, dokter Axel berhenti lebih karena dia belum bisa melupakan mendiang istrinya ."
Marwah menghela nafas.
" Ku rasa memang itu alasannya. Kecelakaan di sirkuit beberapa tahun silam yang merenggut nyawa aunty Angel benar benar menyisakan luka yang dalam, apalagi bagi uncle Axel. Bertahan sejauh ini di klub adalah usaha terbaiknya."
" Mmmm...iya, dia begitu mencintai Angel, ku rasa cintanya sudah habis pada mendiang pembalap cantik itu."
" Kasian sekali dia. Berarti kau akan meninggalkan ku?" Marwah seketika lemas saat menatap James. Tatapannya sendu menyiratkan jika dia tidak rela di tinggal sahabat terbaiknya itu.
" Kenapa? Kau mau ikut aku ke Indonesia?" Tanya James tertawa renyah.
" Sebenarnya, aku ingin sekali, hanya saja, aku harus menemani Safa melanjutkan studinya . Kamu ingat kakak kembar ku, kan?"
" Astaga , aku sampai lupa. Benar juga. Kalau tidak salah dia dokter, kan?"
" Mmm... tepatnya calon dokter spesialis obstetri dan ginekologi."
" Wah, kalian berdua hebat." Puji James.
" Jangan terlalu memuji."
*
*
Di kantor HG Corp, ruangan wakil direktur.
Barra masih duduk menatap pintu tempat di mana Marwah melangkah keluar dan membanting pintunya.
" Dia kenapa, Liam?"
Liam mengangkat bahunya. " Saya rasa dia tidak begitu membutuhkan pekerjaan ini."
" Tapi aku membutuhkannya." Potong Barra.
" Tapi, kenapa tuan memecatnya?"
Barra menatap tajam wajah Liam." Apa kau mendengar aku mengatakannya? "
" Mengatakan langsung tidak, tapi tuan mengancamnya. Menurut saya, nona Marwah ada benarnya, dia melamar di sini bukan untuk menjadi sekertaris."
Barra kesal bukan main.
" Jangan memancing kemarahan ku, Liam." Barra sampai menggertak kan gigi saat berbicara.
Liam yang duduk seketika berdiri dalam posisi sempurna.
" Maaf tuan."
Barra mendengus kuat.
" Dashcam , kau sudah menemukan siapa yang melukai si hitam ku?"
" Be..belum tuan." Panik Liam.
" Liam." Ujarnya datar. " Banyak sekali yang mengantri ingin berada di posisimu sekarang, jadi lakukan dengan baik apapun yang saya perintahkan. Kau paham maksud ku, kan?" Geram Barra.
" Saya mengerti tuan." Ucapnya tegas, namun dalam hati, Liam tertawa." Memang yang mengantri banyak, tapi aku tidak yakin mereka bisa bertahan sehari saja dengan mu yang pemarah itu."
Liam mengambil dashcam dan menghubungkannya dengan komputer yang berada tepat di depan sang bos.
Video recording yang merekam kejadian beberapa jam lalu sungguh membuat Barra dan Liam terkejut.
Mereka saling tatap, dan senyum iblis seketika muncul dari bibir Barra.
" Bagaimana, Liam? Aku punya nomor telponnya." Barra tertawa renyah, nampaknya dia sudah punya jalan untuk menyiksa pelaku yang telah melukai kuda besi kesayangan nya.
Liam menelan ludahnya.
Kepikiran dengan apa yang akan menimpa Marwah membuat bulu kuduk Liam berdiri.
" Oh, tidak, apa yang akan terjadi dengan wanita itu? Aku jadi kasian padanya. Tuan Barra tipikal manusia dengan kesabaran setipis rambut di belah tujuh." Liam membatin. Wajah panik Marwah jelas jelas terpampang nyata dari rekaman dashcam yang baru saja dia tonton bersama sang bos.
Beberapa saat kemudian.
" Apakah tuan akan meminta ganti rugi?"
" Menurut mu, itu harus ?"
" Iya, si hitam terluka dan dia butuh biaya besar untuk membuatnya kembali tampan seperti sedia kala."
Barra tersenyum smirk.
" Uang? Ku rasa dia punya banyak. Aku benar, kan?"
Liam mengangguk.
Ya, Liam sempat memperhatikan di saat Marwah berhenti tepat di lampu merah. Motor Ducati yang dia pakai itu berkisar di harga lima puluh lima ribu dolar Singapura atau sekitar tujuh ratus juta rupiah.
" Akh, dia pasti kaya. Tapi , kenapa harus bersusah payah melamar pekerjaan? Bahkan dia harus bersaing dengan banyak orang untuk masuk di HG?" Liam nampak kebingungan.
" Itu tugasmu! Cari tau siapa dia sebenarnya."
" Baik tuan."
*
*
Hal berbeda terlihat di rumah saki mount Elizabeth. Safa terlihat begitu ceria setelah menyelesaikan beberapa tugas yang di berikan dokter senior padanya.
Meski masih tergolong yang ringan, namun itu sudah menjadi kepuasan tersendiri baginya.
" Namamu Safa, kan?" Seorang residen tahun ke dua datang menghampiri.
Safa yang tengah sibuk di depan komputer mendadak berdiri." Iya, dok."
" Pasien di bed tujuh , kau yang mengganti perban nya?"
Di tengah keraguan akan di puji atau di marahi membuatnya mengangguk pelan hampir tidak terlihat.
" I..iya dok."
" Ikut aku."
Safa segera mengikuti residen itu dari belakang.
Jantungnya dag dig dug berdebar tidak karuan.
" Siang Bu." Sapa residen tahun kedua pada pasien yang sehari lalu melakukan tindakan operasi.
" Siang dok."
Residen wanita itu beralih menatap Safa." Angkat bajunya." Perintah nya datar.
Safa mengangkat baju pasien tadi dengan pelan.
" Lihat, apa yang sudah kau lakukan?" Pekiknya tertahan.
Safa menatap perban yang baru beberapa menit lalu dia ganti. Perban dengan plester berbentuk bintang itu membuat sang senior naik pitam.
" Itu perut, Safa, bukan kain kanvas!" Seru residen tahun kedua itu dengan nada kesal. Pekerjaannya sudah sangat banyak dan sekarang di repoti hanya karena sebuah perban.
Safa terdiam, tidak berani membantah.
" Kau tau caranya, kan? Kalau tidak katakan , aku akan mengajarimu."
" I..iya dok. Saya tau."
" Lakukan sekarang, aku akan mengawasi mu, awas saja kalau kau sampai salah." Geramnya.
Safa memakai sarung tangan bersiap membuka kembali perban pasien tersebut. Namun hal tidak terduga terjadi.
Pasien itu justru memegang tangan Safa.
" Jangan di ganti."
Residen itu nampak terkejut, begitupun dengan Safa.
" Tapi, apakah ibu merasa nyaman?" Tanya residen tahun kedua.
" Ini yang kelima kalinya aku di operasi, dan aku belum pernah menemukan seorang dokter yang mengganti perban ku sebaik dia." Ujar pasien paruh baya itu tersenyum tulus pada Safa.
Residen itu jadi risih dan salah tingkah. Setelah berpamitan, dia segera berlalu meninggalkan Safa dan pasien tadi.
" Ibu terlalu berlebihan." Kata Safa sembari memperbaiki letak selimut pasiennya.
" Aku serius. Ooo,,aku lupa, ada satu orang lagi yang pernah menggantinya dan caranya hampir sama dengan mu. Tapi yang aku dengar, dia tidak bekerja di rumah sakit ini lagi."
Safa tersenyum .
" Syukurlah jika ibu menyukainya."
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments
Mardia Emailvivo
ini dia otak encer yg nulis cerita,author kami yg Ter imuct
semoga nnti jagoan nya dua jggn satu si bara...biar seru dan pasti si bara bisa dggn mudah di atasi si Ara
semangat untuk penulis kami,dan jugasemanggat untuk teman pembaca setia
2025-06-12
2
Dewi Rini
kira kira gimana reaksinya kalau si barra tau marwah itu kembar.....kira kira dia pilih yg mana😄..belum apa apa uda mengharap aja bisa jodoh sama si kembar entah itu safa atau marwah....tapi saya rasa barra akan pilih mawar.....ayuk kakak up lagi...gak sabar nihhh😉
2025-06-11
1
Dea Yunia
apakah si pemarah Barra itu jodohnya Marwah,atau malah sebaliknya jodohnya si lembut Safa,,hm
menarik
lanjut Thor
tambah seru
jangan terlalu banyak konflik y 🤭😊
2025-06-11
1