"Hai kakak ... kakak sedang potret apa?"
Ah ... rupanya keponakan Nur sudah sampai sini. Cepat sekali menghilang dari Nur.
"Motret pemandangan, Adik."
"Boleh dong ... kami di foto?"
"Boleh."
Aku arahkan kameraku pada mereka yang bergaya bak seorang peragawan/peragawati. Cocok dengan gaya fotogenic.
Lalu aku memperlihatkan slide foto mereka. Mereka tertawa gembira menyaksikan gaya mereka yang manis.
"Terima kasih, kakak."
"Sama-sama."
"Sudah, adik. Boleh kakak pergi?"
"Kakak rumahnya mana?
Aku hanya tersenyum menatap mereka. Sambil masuk ke dalam mobil. Takut kalau Nur melihatnya.
Ponakan Nur ternyata tak jauh beda dengan Nur kecilku dulu. Mudah akrab dengan orang.
"Da ... da ... Adik. Kapan-kapan kalau kakak ketemu, kalian akan kakak potret lagi."
"Ku tunggu waktu itu, Kakak."
Entah mengapa terlintas dalam pikiranku, untuk menyapa Nur lewat mereka.
"Kakak boleh minta tolong sampaikan salam untuk tante Nur ya ..."
"Dari siapa, Kak?"
"Dari kak Uya."
"Kalau tak lupa, Kak."
Segera ku memasang sabuk pengaman. Dan menyuruh Anas menghidupkan mesin mobil.
"Nas, Yuk."
"Baik, Pak."
Kedua kanak-kanak itupun melambaikan tangan pada kami yang berlahan meninggalkan jalanan yang sepi.
"Kita langsung balikkah, Pak?"
"Ya. aku juga mau terusin pengobatanku. Entah berhasil sembuh atau tidak. Setidaknya aku sudah berusaha."
"Semangat, Pak."
"Ya.Nas."
"Sebenarnya bapak ke sini untuk apa?"
Bahrul tersenyum dan diam cukup lama. Selama ini dia tak berani berbagi cerita pada siapapun. Apalagi tentang pribadinya.
Hanya pada Anas, yang merupakan sopir pripadinya sejak 7 tahun ini, dia agak sedikit terbuka.
"Tak ada apa-apa."
"Anas senang kalau tak ada apa-apa."
"Lalu siapa wanita itu?"
"Calon istriku yang gagal."
Bahrul menarik napas panjang.
"Maksudnya, dia menolak bapak."
"Bukan Nas."
"Lalu?"
"Aku malu terhadap diriku sendiri. Aku ingin sembuh, baru menemuinya."
"Ya, Pak. Anas mengerti."
"Apa nggak keburu diambil orang?"
"Dalam keadaan seperti ini, aku hanya pasrah, Nas."
"Seandainya dia menerimaku. Aku takut dia akan menderita, karena tak bisa memenuhi kebutuhan batinnya."
"Kalau jodoh pasti nggak kemana."
"Moga-moga."
💎
Rupanya cukup banyak bunga turi yang terkumpul. Untunglah ada daun sukun yang cukup lebar jatuh. Dari pohon sokun yang ada di pojok ladang ayah. Sehingga dengan mudah aku bisa membawa semua bunga turi yang kupetik untuk ku bawa pulang. Sebagai lalapan. Yang bisa dinikmati dengan sambal kacang. Pasti lezat sekali.
"Hai, kalian dari mana saja?"tanya Nur mendapati keponakan yang dicari datang menghampiri sambil tertawa.
"Habis jalan-jalanlah tante."
"Kalian ini, cepat sekali jalannya. Tante sampai tak bisa mengejar."
"Maaf tante, habis tante lambat sich."
Nach ... dibilangi malah balik bilangi. Anak sekarang masa kelahiran perioda alpha.
Banyak terkena radiasi alpha, begini jadinya.
"Itu tante, aku tadi ketemu orang, titip salam untuk tante." cerita Novi. Yang membuatku tertawa geli melihat mimiknya yang lucu, sambil badannya digoyang-goyang.
"Namanya siapa?"
"Bilangnya dari kak Uya."
"Kak Uya."
Kak Uya, sebuah nama yang tak mungkin ku lupa. Tapi mengapa sampai sekarang dia tak pernah datang untuk menemuiku.
"Di mana kamu bertemu?"
"Di sana."
Dia menunjuk pada jalanan, yang beberapa waktu lalu, kulihat ada sebuah mobil hitam berhenti di sana. Tapi sekarang tak ada.
Apa benar dia datang. Tapi mengapa tak mau menemuiku.
"Kalian tak salah?"
"Tidak. kalau kakak tak percaya ... tanya sama Noval."
"Benar, Tante. Kami tadi di fotonya."
"Oke ... oke. Tante percaya."
"Sekarang bantu tante, bawa ini semua ke rumah."
"Oke." jawab keduanya riang.
Kuberi masing-masing setelangkup daun sukun yang berisi bunga turi. Dengan bungkusan yang rapi. Agar tak tumpah bila mereka bawa lari. Setelah menerimanya, mereka pergi meninggalkanku seorang diri memetik cabai di tegalan antara pematang sawah. Setelah puas akupun kembali.
Tak dapat kupungkiri mendengar nama kak Uya. Memberiku harapan bahwa suatu saat kami akan berjumpa. Tak salah bila aku menolak laki-laki yang bernama Bahrul tadi malam.
Dengan ringan Nur kembali ke rumah.
Setelah membasuh tangan dan kaki, dia ke dapur, memberikan cabe yang dia bawa ke bu Farhan yang menerimanya dengan senang.
"Kebetulan Nur, cabainya habis."
Kulihat mbak Nadya sudah selesai menyiapan semuanya. Tinggal sentuhan akhir, yaitu sambal dan sayuran sebagai lalapan, baik yang dimasak maupun yang dibiarkan mentah.
Jadi bantuanku mungkin sudah tak diperlukan lagi. Hingga dengan ringan aku berpamitan meninggalkan mereka pergi ke kamar.
Untuk menenangkan hatinya yang mulai terusik dengan lelaki yang selama ini dinantikannya. Dia merogoh di dalam almarinya. Mengambil sebuah kotak kecil. Yang berisikan benda berharga miliknya. Yaitu liontin berbentuk hati.
Dalam hati dia berbisik,
"Kak, kapan kamu datang. Tak tahukah kamu selama ini aku merindukanmu."
"Atau kamu tak mau menemui Nur lagi?"
Setelah puas memandang benda kenangannya. Nur menuju ke kamar mandi. Hendak membersihkan diri. Meninggalkan benda itu tergeletak begitu saja di atas meja.
Tanpa sepengetahuan Nur, bu Farhan masuk ke dalam kamarnya. Menunggu dengan sabar. Sampai Nur keluar dari kamar mandi.
Dia memandang dengan tersenyum liontin yang tergeletak di atas meja.
"Ternyata putriku masih menyimpannya hingga saat ini."
Tak lama kemudian, Nur keluar dari kamar mandi dengan busana yang lengkap tanpa kerudung.
"Ibu. Maafkan Nur. Nur nggak tahu kalau ibu di kamarku. "
"Sudah lamakah, Bu?"
"Ya, Nur."
"Ada apa, Bu?"
"Ada yang ingin aku omongkan sama kamu, Nur."
"Kamu masih menyimpannya, Nur."
Kulihat pandangan ibu tertuju ke liontin itu, sambil senyum-senyum.
Aku menunduk, tak mau menatap ibu yang tersenyum memandangku.
"Duduklah!"
Aku menurut saja. Duduk di samping beliau dengan tertunduk malu.
"Nur, kalau kamu masih menantikannya. Mengapa kamu tinggal cincin pertunanganmu ini di luar?"
Aku terkejut mengapa cincin yang kulepas tadi malam, sekarang telah berada di tangan ibu.
"Maksud ibu?"
"Kamu tak tahu siapa yang melamarmu tadi malam?"
Aku menggelengkan kepala, bingung dengan pernyatan ibu.
"Bukankah dià yang datang tadi malam adalah Bahrul. Sedangkan yang ada di hati Nur hanya kak Uya, Bu." aku menjawab terus terang. Agar aku punya alasan mengapa aku melepaskan cincin itu.
"Nur ... Nur ... jadi sampai sekarang kamu nggak tahu nama lengkap kak Uya-mu itu." ujar ibu dengan menahan tawa.
Ibu membelai punggungku dengan sedikit agak keras menekan.
"Nur ... Nur ... Bahrul itu Uya-mu."
"Jadi yang datang tadi malam adalah kak Uya, Bu."
Ibu mengangguk.
Seketika aku menjadi lemas. Tak kusangka orang yang selama ini kunanti, ternyata telah kutolak mentah-mentah. Aku telah terbawa emosi mendengar kat-katanya yang arogan. Yang mungkin maksudnya bercanda.
Ah ....
Aku benar-benar bodoh.
Apakah karena itu, dia tak mau menemuiku. Hanya mengirim salam padaku melalui keponakanku yang kecil-kecil ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Baihaqi Sabani
yeeeeeeee nur yg mnyesal🤣🤣🤣🤣🤣
2022-09-19
0
Lia Rosita
Aduh gimana dong? Nur minta diralat gitu ke authornya He he he
2021-04-17
1
🍾⃝ ͩSᷞɪͧᴠᷡɪ ͣ
semangat kak😃
2021-04-10
1