Dokter muda yang panik itu bernama Hans. Ia adalah teman semasa kecil Nadine.
Hans pun telah lama memendam perasaannya kepada wanita yang sekarang terkulai lemas tak berdaya, setelah disiram air keras oleh mertuanya sendiri.
Hans memendam perasaan itu hingga saat ini, selama lebih dari 12 tahun!
Dengan wajah cemas, Hans bertanya kepada asisten Arka.
"Hei, ibu tua! Apa yang sebenarnya terjadi kepada Nadine? Siapa yang tega melakukan ini?!" Hans bertanya dengan nada tinggi. Tapi Bu Minah, asisten kepercayaan Arka yang membawa Nadine, hanya menunduk dan diam.
"Cepat bilang... siapa sosok iblis yang tega melakukan ini pada Nadine?! Jawab!" Hans sudah tidak kuat menahan emosinya.
Amarahnya yang meletup-letup melihat sang pujaan hati dengan wajah sudah setengah hancur, disaksikan banyak pengunjung di depan pintu rumah sakit tersebut.
Bu Minah yang paham arti dari pandangan Hans kepada Nadine, tidak berani mengusik cinta dokter itu kepada istri majikannya. Bu Minah memilih diam, tidak menjawab pertanyaan Hans.
Hans segera mendekati Nadine dan meraih pergelangan tangannya untuk mengecek nadi.
"Dia kehilangan banyak cairan. Mungkin lemas, karena bertahan sekian lama untuk menahan rasa sakit selama perjalanan. Kita harus segera membawanya ke UGD!" serunya pada perawat yang sudah sigap di sebelahnya.
"Di-dia... habis disiram air keras oleh mertuanya sendiri!" ucap Bu Minah, yang sudah tidak sanggup menahan kejujurannya.
"Aku tahu hal itu dengan sekali melihatnya! Pertanyaanku berikutnya, kenapa orang tua Arka tega melakukan ini kepada Nadine? Bukankah Nadine adalah wanita yang sangat dicintai Arka?" tanya Hans kepada Bu Minah.
Namun, melihat kondisi Nadine yang sangat lemah tak berdaya, Hans lebih fokus untuk melakukan pertolong pertama secepatnya.
Dengan gerakan sigap dan cekatan, Hans langsung menarik ranjang dorong dan membopong Nadine, lalu meletakkan di atas ranjang tersebut.
Tubuh wanita yang sangat dicintainya itu gemetar hebat, bibirnya bergetar seakan ingin berbicara, "H-Hans..." suaranya lemah, nyaris tak terdengar.
Hans cuma fokus menatapnya dengan penuh rasa khawatir, lalu mendorong ranjang dengan cepat menuju ruang UGD.
"Tolong jangan bicara dulu, ya... Nad! Aku akan segera menyelamatkanmu!" katanya tegas. Sepasang matanya berbinar-binar melihat kondisi tragis dari wajah sang pujaan hati.
Setibanya di ruang UGD, Hans mendapati ruangan tersebut sudah penuh. Ruangan darurat dan juga sebagai pertolongan pertama itu, nampak sesak dengan puluhan pasien, berikut pendamping atau pengunjungnya.
Seorang perawat nampak panik melihat pasien yang sedang dibawa dokter Hans, mencoba menghentikannya, lalu dengan pelan menjelaskan,
"Maaf, dok... sudah tidak ada tempat kosong lagi!" ucapnya, seraya meminta maaf.
Perawat itu pun bingung harus berbuat apa, ditambah ia tidak tega melihat pasien yang dibawa dokter Hans sedang terkulai lemas dengan kondisi wajah melepuh.
"Apa? Tidak ada tempat? Lalu aku harus membiarkan dia sekarat di luar sana?!" Hans membentak perawat itu, emosinya memuncak.
Ia tidak lagi memperdulikan apa omongan para pasien atau pengunjung di ruang UGD tersebut.
Walaupun, beberapa orang di ruangan itu paham, betapa dokter Hans sangat menerapkan kode etik profesionalnya, yaitu dengan mengutamakan pasien dan secepat mungkin memberikan pertolongan pertama.
Hans tidak memperdulikan omogan apapun dan siapaun. Kini, fokusnya hanya untuk Nadine.
Perawat itu terlihat ragu dan sedikit ketakutan oleh bentakan Hans, tapi tak bisa membantah ucapan atau otoritas Hans sebagai dokter berpengalaman di rumah sakit ini.
Tanpa pikir panjang lagi, dengan cepat Hans mengambil sebuah keputusan.
"Siapkan satu tempat sekarang juga! Ini darurat!" katanya, kali ini dengan nada perintah. Beberapa perawat langsung sigap, mereka segera mengatur ulang tempat tidur, memberi ruang bagi Nadine.
-----
Nadine terlihat masih setengah sadar, saat Hans hendak membersihkan luka di wajahnya.
"Hei... kamu itu asistennya Arka, kan?" tanya Hans sebelum membersihkan wajah Nadine.
"I-iya, dok. Kenapa?" jawab Bu Minah dengan gelagapan dan gemetaran.
"Harusnya, jika luka siraman air keras, langsung dibasuh dengan air yang mengalir. Apalagi banyak debu di sekitar luka tersebut. Kamu mengantar Nadine pakai apa, hah?! Tukang ojek?" bentak Hans.
"Ma-maaf, dok. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Setelah disiram, fokus saya hanya membawa nyonya Nadine menuju rumah sakit terdekat, secepat mungkin. Saya membawanya dengan transportasi online. Mohon maaf, mungkin debu itu saat nyona Nadine turun dan berjalan menuju gerbang rumah sakit." ucap Bu Minah seraya meminta maaf.
Kemudian, Hans dengan lembut dan penuh kasih sayang, mengalirkan air disekitaran wajah Nadine. Gunanya, untuk membersihkan terlebih dahulu kotoran dan bekas luka bakar dari air keras itu.
"Tenang ya, Nad! Tahan!" pinta Hans dengan wajah memelas. Ia tak tega melihat pujaan hatinya sedang meringis kesakitan, menahan nyeri karena perihnya siraman air keras ke wajahnya.
Beberapa perawat memegang baskom besar, agar tidak terlalu membasahi pakaian Nadine.
Setelah memastikan sudah bersih, Hans mengusap wajah Nadine dengan kain bersih. Lalu, setelah kering, dokter itu perlahan membalut sebagian wajah Nadine dengan kain kasa.
"Ke...kenapa... kenapa kamu ada di sini?" gumam Nadine dengan nada lirih dan lemas, menatap wajah Hans dengan samar, yang masih sama seperti dulu.
Hans menghela napas, mencoba menahan emosinya, "Kamu lihat sendiri, kan? Aku bekerja di sini, Nad. Sekarang diamlah sebentar, biarkan aku menyelesaikan pekerjaanku!" jawabnya tegas, namun lembut.
Tangan Hans tetap cekatan, membalut area wajah Nadine dengan hati-hati.
Tatapan mata Hans, menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Bu Minah paham dan dapat membaca itu, sebuah kerinduan yang terlalu dalam dan rasa cinta yang begitu kuat terhadap pujaan hati.
Nadine menarik napas dalam-dalam, meski setiap tarikan napas terasa menyakitkan.
Setelah merasa energinya sudah terkumpul sedikit demi sedikit, Nadine coba berbicara dengan sekuat tenaga.
"Hans... Tolong jangan marahi Bu Minah, ya. Ini bukan kesalahannya, kok!" katanya dengan suara bergetar. Walaupun terlihat lemas, Nadine berusaha menengahi situasi dan meredam amarah Hans.
Hans hanya mengangguk pelan, karena ia sebenarnya melimpahkan amarah itu kepada Miranda, Mertua Nadine.
"Kamu butuh perawatan intensif, Nad. Tenang saja, aku akan memastikan kamu mendapat perawatan terbaik di rumah sakit ini." katanya dengan nada lebih lembut dan penuh jaminan.
Hans masih tak bergeming melihat wajah Nadine yang sudah setengah rusak. Kuatnya perasaan serta rasa cinta Hans kepada Nadine, dibuktikan dengan tatapannya yang begitu lama dan lembut kepada istri Arka itu.
Bu Minah sampai menggelengkan kepala dan tak habis pikir, seharusnya dokter muda dan tampan itu langsung membuang muka saat melihat wanita dengan wajah setengah rusak.
Dokter Hans sangat layak mendapat yang jauh lebih sempurna diluaran sana.
Namun, ia justru masih bertahan dengan cintanya. Terpendam selama belasan tahun. Terlebih, wajah pujaan hatinya sudah rusak.
Mendengar hal demikian, Nadine menatap Hans dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih, Hans," gumamnya pelan.
Hans cuma membalas dengan tersenyum tipis, meski hatinya masih penuh amarah, lantaran perbuatan mertua Nadine.
"Jangan mengucapkan terima kasih dulu. Aku belum selesai!" katanya. Ia kembali fokus bekerja, memastikan setiap luka ditangani dengan benar.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments